"Ngapain kamu di sini?" Giana duduk bersila di dekat Ariani yang tengah memakan sarapan. Matanya menatap datar pada Erina yang juga tengah makan. 

Ariani mencubit paha Giana kecil membuat gadis itu meringis kesakitan. "Kamu ini. Emang paling juara kalau berperilaku dingin," tegurnya.

Giana hanya mengangkat bahu tak acuh. Sementara itu, Erina masih makan dengan lahap. Sejujurnya, ia sudah terbiasa dengan sikap Giana yang cuek bahkan cenderung tak pedulian itu. Jelas saja, ia sudah mengenal Giana sejak mereka kelas 1 SMP. Dan selama itu pula, ia ingin berteman dekat dengan gadis itu.

Walau pada akhirnya, mereka malah berakhir seperti musuh saat Angga dituduh sebagai pembunuh. Itu terjadi karena Giana mendorongnya menjauh dan memintanya untuk tak mempedulikannya. Bahkan gadis itu menyuruhnya untuk mengikuti orang lain untuk mengucilkannya saja.

Dan ia menggunakan hal itu untuk melakukan sesuatu yang melewati batas. Wajar jika Giana yang sempat hangat padanya malah berbalik menjadi dingin. Ia tak akan mempermasalahkannya karena ini memang kesalahannya. 

"Kalian kalau dilihat-lihat, cocok banget jadi temen. Hubungan love-hate kalian ngegemesin banget," komentar Ariani setelah memperhatikan adiknya dan Erina cukup lama. Ia yakin, siapa pun yang melihatnya bisa merasakan seberapa besar rasa kepedulian mereka terhadap satu sama lain. Namun, kepedulian itu tak ditunjukkan secara gamblang karena terhalang oleh tembok yang bernamakan gengsi.

Giana yang baru saja minum, tersedak oleh perkataan sang kakak. Ia terbatuk-batuk. Sekilas, ia melirik Erina yang tersenyum lebar. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Anak yang aneh, pikirnya. Walau begitu, ia bukannya membenci hal itu. Anehnya, ia merasa hangat. 

"Terserah kakak aja. Ayo olahraga!" ajak Giana seraya memakai sepatu, lalu berlari keluar rumah. Disusul oleh Ariani dan Erina yang tersenyum puas melihat Giana yang salah tingkah seperti itu. Sepertinya, es batu yang ada di dalam tubuh itu telah mencair.



#agustusrawspunyacerita
#mencobauntuktidakrindudenganeventini31


"Kakak gak video-in mukanya Om Jordy pas penangkapan kemarin?" Giana merapikan masker wajah milik Ariani. Kini, mereka tengah melakukan perawatan kulit di rumah kecil mereka. 

Ariani menahan dirinya agar tak tertawa. "Dek, nanti muka kakak keriput. Jangan diingetin!" Ariani mencoba mengalihkan pikirannya dari mimik kaget Jordy sewaktu ia mengira ia telah berhasil mengacaukan Giana. Padahal, yang terjadi adalah sebaliknya. 

Giana menyusun rencana yang bagus untuk melancarkan serangan balasan. Ia tahu dari Hendy bahwa di hari itu, Jordy akan diangkat menjadi direktur perusahaan. Maka dari itu, ia menyerahkan bukti pada polisi sehari sebelumnya agar mereka menangkap Jordy tepat di upacara pelantikannya.

Giana sengaja membuat Jordy merasa di atas angin dengan merasa bahwa ia sudah memiliki segalanya. Berpikir bahwa semua rencananya telah berhasil. Padahal, tidak. Ia sangat puas saat anak buah Jordy menyeretnya menuju Jordy yang tengah diringkus polisi. 

"Ah! Sayang banget! Mukanya Om Jordy tuh lucu banget, tau, Kak!" Giana terbahak puas mengenang momen tersebut. 

Jordy tak tahu, isi amplop pink yang membuatnya marah itu. Sebenarnya sudah ia duga akan datang. Ia sengaja pergi ke sana karena ingin melihat upacara peringkusan Jordy, bukan karena masuk ke dalam jebakan. Menyenangkan rasanya ketika melihat wajah tak percaya musuh yang mengira bahwa ia menang padahal sudah kalah telak.

Giana mendesah lega. Ia senang bisa kembali ke rumah miliknya. Ia lebih senang di rumah yang memuat kenangan dirinya berserta ayahnya. Bukan karena ia tak menyukai rumah sang nenek. Ia hanya ingin merasakan keberadaan sang ayah di sekitarnya melalui rumah ini. 

Dan berhubung semua masalah mereka sudah selesai. Hari ini, ia dan sang kakak memutuskan untuk memanjakan diri dengan melakukan perawatan kulit. Ariani sudah membeli beberapa jenis skincare yang sekiranya cocok untuk kulit mereka. Maka dari itu, kini mereka bersantai sembari mengaplikasikan benda tersebut. Tentunya, sambil mengenang kemenangan mereka.

#agustusrawspunyacerita
#tigapuluhhariakusudahrajinmenulis


Giana menelusuri koridor ramai dengan amarah yang menggelegak. Di tangan kirinya terdapat selembar kertas beserta sebuah amplop pink yang sudah kusut. Kakinya melangkah mantap menuju kamar nomor 088. Ia membanting pintu dengan kuat hingga wanita yang tengah merias seorang pria terlompat kaget.

"Saya peringatkan! Jangan pernah mengusik saya dan orang-orang saya lagi, jika Anda masih ingin melihat matahari terbit," ancamnya.

Pria itu bersiul pelan. "Wah! Takut!" ejeknya sembari tersenyum miring. 

Erina muncul dari belakang dan menarik Giana keluar dari kamar itu. "Kamu gila?! Keluar!" Erina menyeret Giana yang jauh lebih kurus darinya dengan mudah. Ia paham mengapa Giana marah, tetapi langsung mendatangi sumber masalah tanpa persiapan seperti ini namanya bunuh diri. Apalagi mereka langsung masuk ke dalam kandang singa.

Erina menyeret Giana, memaksa gadis itu mempercepat ayunan langkahnya lantaran ada beberapa pria berbadan kekar yang mengikuti mereka. Dalam hati, ia mengutuk Giana yang begitu mudah terprovokasi oleh surat ancaman dari Jordy sampai-sampai meladeni undangannya dalam resepsi pelantikan direktur perusahaan milik Jordy.

Giana menarik tangan Erina dan berbelok menuju sebuah koridor sepi. Di sana, sama sekali tak ada orang. Erina menggeram marah. Sudah masuk ke kandang singa, Giana malah mencari jalan sepi. Ia yakin, gadis itu sudah gila.

"Tenanglah! Memangnya aku bodoh?!" bisik Giana saat Erina berusaha keluar dari tempat itu sebelum mereka terkepung.

Erina mendelik tajam. "Apa?! Rencana bunuh diri?!" sinis gadis itu takut. Ia menyesali tindakan impulsifnya yang mengejar Giana tanpa pikir panjang.

Giana mendorong Erina masuk ke dalam sebuah ruangan yang berisi alat-alat pembersih ruangan. Tangan kurusnya langsung membekap Erina tanpa memberi kesempatan untuk gadis itu memprotes. "Diamlah! Kalau tidak mau mati bersama lebih baik diam saja!" bisiknya pelan. Walau terlihat tenang dari luar, Erina tahu bahwa Giana tengah gelisah. Terbukti dengan tangannya yang bergerak aktif meremas seragamnya.


#agustusrawspunyacerita
#janganadakatamenyerahdiantarakita

Giana menghela napas berat begitu matanya menangkap gerbang sekolah. Hari ini, hari pertama ia menjadi siswa kelas XII dan rasanya ia sangat malas. Walau semua urusannya telah selesai, bukti telah diserahkan pada pihak berwajib dan nama ayahnya sudah bersih. Tetap saja, kenangan buruk setahun terakhir mengenai perundungan tak hilang dari benaknya.

"Neng Giana," tegur Jono, satpam sekolah, saat melihat Giana hanya menghela napas berat di depan gerbang. 

Giana tersenyum tipis. "Pagi, Pak. Semangat kerjanya," ujarnya lantas melangkah masuk ke dalam dan masuk ke dalam lautan manusia. Ia melangkahkan kakinya yakin menuju deretan kelas XII IPA, lalu mencari namanya di daftar nama yang tertempel di depan pintu.

Ia merasa beruntung karena tak perlu berjalan jauh. Kelas pertamalah yang menjadi kelasnya. Dengan mantap, ia melangkah menuju sudut ruangan dan mendaratkan bokongnya di sana. Ia menelungkupkan kepalanya di atas lipatan lengannya.

"Giana, ini ada surat buat kamu." Sheryl menyerahkan sebuah amplop pink pada Giana dan diterima oleh gadis itu dengan alis terangkat.

Sebuah cibiran meluncur dari bibirnya. Kekanakan sekali, pikirnya. Ia lantas melempar amplop pink tersebut ke dalam laci. 

"Baru hari pertama aja udah dapat surat cinta," goda Erina yang baru saja sampai. Gadis itu memilih untuk duduk di sebelah kanan Giana.

Giana tak mengacuhkannya dan memilih untuk kembali menelungkupkan wajahnya di dalam lipatan tangan. Sampai suara Erina kembali mengganggunya. "Baca dong, Na. Kan aku penasaran siapa pengagum rahasia kamu."

Tangan Giana meraba lacinya dan menyeret amplop itu keluar. Lalu meletakkannya di atas meja tanpa mengatakan apapun. Erina membuka amplop tersebut dan langsung berteriak kaget. Tangannya dan tubuhnya gemetar hebat. Serta wajahnya memutih sempurna.

Giana segera menyambar isi amplop pink itu dan melihatnya. Matanya terbelalak lebar dan ia mengepalkan tangannya kuat. "Sial!" makinya sebelum menyambar seluruh barangnya dan berlari keluar kelas.



#agustusrawspunyacerita
#rawsbatch3bukankalengkaleng


"Na, ini titipan temen kamu." Ariani menyodorkan bungkusan hitam itu pada adiknya. Aura panas masih meliputi sang adik hingga ia pun menepuk bahu adiknya pelan. "Dia kan udah minta maaf. Kamu gak mau maafin?"

Giana menoleh menatap Ariani. Membuka mulutnya, tetapi tak ada yang bisa ia katakan. Kakaknya tak tahu seberapa parah tindakan Erina padanya. Dan ia juga tak ingin membongkar hal itu pada sang kakak. "Sudahlah! Lupakan!" desah gadis itu malas.

Melalui sudut matanya, Giana meliring kantongan hitam itu. Rasa penasaran mendorongnya membuka kantong tersebut. Sebuah USB dan buku coklat miliknya. Padahal ia sudah sempat stress akibat buku coklat yang hilang ini. Ternyata malah ada pada musuhnya.

"Loh? Bukannya itu buku kamu?" Ariani mendekat, lalu menyambar buku yang membuatnya penasaran setengah mati itu.

Giana mengangguk. Sekarang, ia tak mempermasalahkan lagi Ariani mau membaca buku itu atau tidak. Ariani sudah terlanjur terlibat, malah menurutnya lebih baik sang kakak tahu. "Itu buku harian Papa. Aku menemukannya di dekat lokasi kejadian pembunuhan itu. Sepertinya polisi melewatkan itu, jadi aku mengambilnya. Di dalam, sudah aku kumpulkan berbagai macam bukti. Baca saja," ujarnya memberi tahu.

Tanpa disuruh pun, Ariani sudah membuka lembar demi lembar. Matanya terasa panas dan dadanya bergemuruh hebat. Ternyata, selama ini, adik yang ia kira hanya terpuruk sembari mengunci diri di kamar setelah kabar sang ayah menjadi pembunuh malah giat mengumpulkan bukti. 

"Maaf. Maafin kakak karena gak tahu apa-apa," isaknya sambil menundukkan kepalanya menyesal.

Giana menonjok pelan lengan Ariani. "Udah! Jangan nangis! Nanti rumah nenek banjir. Kita lagi sembunyi di sini, bukannya mau ngerusakin rumah nenek. Nanti bisa-bisa nenek bangkit dari kubur buat jewer telinga kita gara-gara rumahnya kita buat banjir," seloroh Giana membuat Ariani terkekeh kecil.

Ia sudah mempelajari semua bukti yang Giana kumpulkan, serta USB—bukti kejahatan lain yang dilakukan Jordy. Kini saatnya melakukan serangan balasan.

#agustusrawspunyacerita
#kukejarmimpisampaikebulan

"Kenapa Om bantuin kami?" Giana tak bisa tak mencurigai asisten Jordy—Hendy. 

"Aku yang minta sama Papa buat bantuin kamu," potong sebuah suara yang amat sangat dikenali oleh Giana. 

Jemari Giana mengepal kuat. Ia langsung berdiri dari duduknya. Wajahnya memerah, urat-urat lehernya pun menonjol. "Apa? Apa yang kamu rencanakan?" Matanya menatap tajam pada Erina yang muncul dari balik punggung Hendy dengan mengenakan pakaian training dan bersimbah keringat.

Gadis itu membungkukkan badannya. "Maaf atas perbuatanku selama ini," ujarnya terdengar tulus di telinga Giana.

Giana mendengkus. Tanpa mengatakan apa pun, ia berbalik dan meninggalkan ruang tamu. Kini, mereka sedang berada di rumah mendiang nenek Giana. Ariani yang melihat adiknya pergi begitu saja setelah mendapatkan permintaan maaf hanya bisa tersenyum tak enak.

"Dia pasti sudah memaafkanmu, kok," hibur Ariani pada Erina yang terlihat kecewa.

Danu muncul dengan wajah bengkak membuat Erina meringis tanpa sadar. Walau begitu, ia tetap mengucapkan salam pada Danu yang dibalas dengan anggukan singkat. Danu beralih pada Ariani. "Adik kamu kenapa lagi?" Pandangan Danu beralih ke arah yang dilalui oleh Giana sebentar sebelum akhirnya menoleh dan mendapati Hendy berada di ruangan itu. Danu segera mengambil posisi siaga.

Ariani langsung menariknya duduk. "Om Hendy orang baik," ujar Ariani memberi tahu.

Danu tak meragukan itu. Ia mengenal Hendy semasa mereka kuliah. Ia tahu Hendy baik, tetapi saat ini Hendy berada di kubu musuh. "Kamu lupa dia siapa?"

Ariani hendak menjelaskan, tetapi dicegah oleh Hendy. "Wajar kalau Danu curiga. Aku juga tak bisa menyalahkannya. Seharusnya kamu juga tak boleh menurunkan kewaspadaanmu seperti ini," jelas Hendy penuh sesal.

"Aku ke sini hanya ingin menyerahkan ini. Putriku yang memintanya, ia bilang ini sebagai permintaan maafnya pada Giana karena telah memperlakukannya dengan buruk selama ini. Ini adalah sesuatu yang kalian perlukan." Hendy menyerahkan sebuah kantongan kecil berwarna hitam.



#agustusrawspunyacerita
#akumasihsemangatnuliswalauditerpaombakmager

Mata Jordy bergerak liar menatap satu per satu pria yang ada di sana. Sementara para pria bersetelan hitam itu saling melirik tak percaya. Giana mengeluarkan pisau lipat yang sempat ia masukkan ke saku belakang celananya sewaktu dalam masa pelarian. Dalam hati, gadis bertubuh kurus itu terbahak puas melihat Jordy yang kalap menuduh semua pria yang ada di sana.

Giana bergerak sepelan mungkin selagi Jordy sibuk dengan pengkhianat itu. Walau ia merasa sedikit bersalah pada para pria itu, tetapi ia lebih merasa bersyukur karena bisa lepas sejenak dari kebrutalan Jordy. Sebenarnya, strategi ini ia tak berharap akan berhasil. Ia hanya menebak saja dari gerak-gerik Jordy.

Jordy selalu merasa gelisah ketika ia melihat ada yang lebih kuat darinya, lalu dengan kekuasaannya yang ada, ia akan menekan orang tersebut hingga orang itu tak bisa berkutik. Ia juga sering menunjukkan kekuatan dan kekuasaannya di sembarang tempat dan itu biasanya hanya dilakukan oleh orang-orang yang kurang percaya diri. Jordy juga selalu terlihat gelisah dan curigaan seolah tak ada satu pun yang ada di pihaknya.

Giana merasa sedikit bersyukur karena kegiatan memperhatikan Jordy selama sepuluh hari selama ia disekap berbuah manis seperti ini. Memang benar, selalu ada pelangi setelah hujan. Mungkin ini ungkapan yang cocok untuk digunakan saat ini.

"Om Danu? Om bisa jalan?" bisik Giana pelan.

Danu mengangkat wajahnya yang bengkak di sana-sini. Sebuah anggukan samar pria itu berikan. Seluruh tubuhnya linu, ia bahkan sudah tak bisa merasakan lagi ujung jarinya. Akan tetapi, kabur dari neraka ini lebih penting. Maka dari itu, ia harus bergerak dengan tubuhnya yang sudah remuk itu.

Ariani memapahnya dan berjalan di depan. Giana berjalan di belakang untuk mengawasi. Jalan keluar hanya ada satu. Dan bodohnya Jordy, ia malah melalaikan pengawasannya dari sana. Langkah Giana sempat terhenti saat tatapannya bertabrakan dengan asisten Jordy. Walau begitu, pria itu hanya mengangguk kecil seolah mempersilakannya pergi. 



#agustusrawspunyacerita
#rawsfightersmemangpalingkece


Pria itu menarik kuat rambut Giana hingga kepalanya mendongak ke belakang. Ariani menggeleng kuat serta memohon-mohon agar sang adik tak dilukai. Akan tetapi, pria itu tak mengacuhkannya. Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi kanan Giana hingga sudut bibirnya sobek. Pipi kanannya bahkan sudah mulai membengkak.

Namun, sorot mata Giana tak pernah terlihat takut. Gadis itu bahkan menantang sorot bengis itu dengan berani. Sebuah seringaian tercetak jelas di wajahnya yang mulai membengkak membuat pria itu semakin berang. 

Bisa-bisanya anak bau kencur seperti Giana tak memiliki rasa takut padanya. Aura dan keberanian gadis itu tak lindap dilahap oleh kekuatan dan kekuasaannya. Dan hal itu, amat sangat mengusik egonya yang tak mau dikalahkan oleh siapa pun.

"Ah! Bukti!" bisik gadis itu manis. "Jangan lupakan fakta kalau bukti bisa dihapus! Tapi ... bukti juga bisa dibuat," bisiknya membuat rahang pria itu mengeras.

Tangan kekarnya semakin kuat mencengkram rambut Giana hingga gadis kening gadis itu berkerut. Sementara itu, Ariani menelan ludahnya susah payah. Ia ingat, adiknya sempat berbisik padanya sewaktu mereka tertangkap. Giana memintanya untuk jangan khawatir karena ia memiliki rencana. Apa ini rencana yang ia maksud?

"Anak bau kencur kayak kamu tahu apa? Hah?!" hardik pria itu geram. Matanya melirik ke kanan dan kiri seolah mencari sesuatu atau seseorang. "Apa yang kamu lakukan?!" bentaknya hingga membuat urat-urat di lehernya menonjol keluar.

Dengan tenang, Giana mengangkat bahunya tak acuh. "Entahlah! Coba tebak! Bukankah Anda lebih pintar dari saya, Tuan Jordy?" ejek gadis itu setenang mungkin.

Pria itu menengang. "Da-dari mana ...?"

Giana terkekeh. Umpannya telah menarik perhatian sang ikan. Ia hanya perlu menunggu sembari memberikan rangsangan kecil agar sang ikan mendekat dan mengigitnya. 

"Entahlah! Mungkin ...," Giana menarik napas sejenak. Menatap satu per satu anak buah Jordy, lalu berhenti di tangan kanan pria itu cukup lama. Ia mengedipkan sebelah matanya. "ada pengkhianat."


#agustusrawspunyacerita 
#staystrongtothebone24

Giana memberontak hebat. Ia menggerakkan seluruh tubuhnya dengan kuat. Tangannya terkepal. "Dasar Iblis! Apa yang mau kamu lakukan?!" hardiknya marah saat tangan kekar itu mencengkram dagu sang kakak yang tengah menggigil.

Ariani terisak pelan. Detak jantungnya menggila. Ini kesalahannya karena mereka tertangkap. Andai ia tak ceroboh hingga mengekspos keberadaan mereka, pasti kini mereka masih di dalam pelarian.

"Berhenti! Aku mohon! Berhenti!" teriaknya histeris. Ia sudah tak tahan lagi melihatnya. Air matanya berurai melihat keadaan Danu yang babak belur.

Kini, tubuh pria itu sudah bersimbah darah. Wajahnya bahkan sudah tak berbentuk lagi akibat bengkak dan lebam di sana sini. Kedua kelopaknya membesar, begitu juga dengan pipinya. Pria-pria itu benar-benar memukulinya hingga sekarat.

"Berhenti!" teriak Giana kuat. Tangisnya pecah. "Gak! Gak! Om!" isaknya begitu melihat tubuh Danu terkulai lemas. Dada pria itu bahkan sudah tak bergerak lagi. Padahal semenit sebelumnya masih terlihat pergerakannya walau pelan.

"Maaf. Maaf. Maafin Giana, Om. Giana minta maaf. Gara-gara Giana." Giana menatap pria bengis di hadapannya tajam. "Akan kupastikan kau membayar seribu kali lipat dari ini!" ancam gadis itu seraya menatap tajam pria tersebut.

Pria itu hanya tertawa meledek. "Kau? Wah! Coba lihat anak bau kencur ini!" desahnya kehilangan kata akibat kekurang ajaran Giana. 

"Iblis!" desis Giana tajam. "Kau akan menerima balasan 1000 kali lipat dari ini," janji gadis itu. "Aku akan memastikannya! Bahkan jika itu di alam baka sekalipun!" desisnya.

Kedua mata Giana memerah dengan air mata yang terus mengalir deras. Urat-urat di tubuh kurusnya menonjol semua. Wajah hingga telinga gadis itu memerah. Tangan gadis itu terkepal hingga buku jarinya memutih.

"Coba saja kau sentuh kakakku semili saja. Aku pastikan akan membuatmu membayarnya! Nyawamu saja tak akan pernah cukup untuk membayar nyawa Papa, Om Danu, dan juga Om Jeffrey yang sudah kau bunuh itu," desis gadis itu tajam.


#agustusrawspunyacerita
#anakrawsrajinwalausibuk

Ariani mengerjapkan matanya beberapa kali, menyesuaikan penglihatannya dengan cahaya yang mendesak masuk. Setelah beberapa saat, matanya terbuka sempurna. Tubuhnya mendadak membatu saat menyadari ada sebuah tangan yang menggenggamnya. Matanya menatap pada genggaman tersebut. 

"Ah!" pekiknya menatap tangan yang amat sangat ia rindukan dengan haru. Ia mempererat genggaman tersebut hingga tangan kurus itu memberontak.

"Kak, sakit tau! Kayak gak pernah pegangan tangan aja," tegur sebuah suara yang amat sangat ia rindukan.

Tanpa pikir panjang, Ariani langsung menerjang tubuh itu hingga mereka berdua jatuh berguling di tanah. Sedetik kemudian, tubuhnya ditarik kuat ke belakang hingga pelukannya terurai. Belum sempat ia memprotes, sebuah telunjuk menempel di bibirnya disertai dengan nada peringatan agar ia diam.

"Diamlah! Kakak akan menarik perhatian singa lapar," bisik Giana di telinganya. Melihat sang kakak mengerutkan kening tak mengerti, kedua sudut bibirnya berkerut. "Ah! Kakak emang lemot!" ungkapnya membuat sang kakak memelototinya. Namun, ia hanya mengangkat bahu tak peduli.

"Kita harus hati-hati! Kalian berdua mau tertangkap lalu dibunuh?" tegur Danu yang gemas dengan interaksi kakak beradik tersebut. Bisa-bisanya mereka berdua berselisih di situasi yang genting ini. Jika kedua malaikat milik temannya tewas, bagaimana ia bertemu dengan temannya nanti? Dalam hati, ia mengutuk nasib Angga yang begitu sial. Bisa-bisanya ia yang baik malah terlibat dengan si iblis.


"Kita gak akan ketahuan kok, Om. Aku punya rencana," ungkap Giana percaya diri.

Danu menatap Giana sinis. Ingin sekali ia menjewer telinga gadis muda itu. Ia masih kesal saat mengingat bagaimana gadis itu tiba-tiba menerobos masuk ke dalam rumah dan membangunkannya. Kemudian, memerintahnya untuk menggendong Ariani yang tengah sakit. 

Mereka berlari sepanjang malam menghindari orang-orang bersetelan hitam. Mengendap-endap bak maling. 

Senyum menghiasi wajah gadis itu. Dengan percaya diri yang berlebihan ia berseru, "Bersembunyi sambil menyusun rencana berikutnya."


#agustusrawspunyacerita
#hariduaduatetapmenulisdanberdoa


Ariani merasakan guncangan hebat pada tubuhnya. Ia bisa merasakan tubuhnya bergerak dengan cepat, tetapi bukan karena kakinya sendiri. Kelopak matanya yang tertutup, perlahan memisah. Matanya menangkap gedung-gedung yang bergerak cepat. Ah! Bukan gedung yang bergerak, tetapi dia.

"Cepat! Cepat! Mereka bakal kejar!" desak sebuah suara yang amat sangat ia rindukan. Tangannya terulur, berusaha menggapai tubuh kurus yang sedang bergerak cepat. Perlahan, jarak mereka terbentang.

"Tidak," lirihnya pelan, "Giana!" isakannya pecah tak terbendung.

Tangan kurus itu membekap mulutnya. "Diamlah, Kak! Kakak mau kita tertangkap dan mati?" bisik gadis itu gemas.

Kedua sudut bibir Ariani tertarik. Tangan itu terasa hangat. Ia mengambil tangan tersebut dan menggenggamnya kuat. "Jangan tinggalin aku lagi," bisiknya penuh permohonan. 

Seulas senyum penuh sesal diberikan oleh gadis itu membuat Ariani buru-buru menggeleng. Ia tak bermaksud menyalahkan adiknya karena pergi. Bukan! Bukan seperti itu. Ia hanya ingin menghadapi semuanya berdua.

"Mulai sekarang kita akan sama-sama terus, Kak," janji Giana membuat Ariani mengangguk puas.

"Hei! Tangan kalian menghalangi pandanganku! Ariani, jika kamu tak ingin jatuh, lepaskan dulu tangan adikmu!" titah sebuah suara bariton membuat tubuh Ariani menegang.

Ah! Ternyata ia bergerak dengan cepat karena digendong oleh Danu. Ia pun segera melepaskan tangan adiknya dan meminta maaf. Akan tetapi, tunggu! Apa yang terjadi di sini? Hal terakhir yang ia ingat ....

"Ah! Ternyata  ini mimpi. Kalau mimpi aku gak mau bangun lagi," seru Ariani ketika mengingat kegiatan terakhirnya. Hal terakhir yang ia ingat adalah Danu menyuruhnya untuk beristirahat karena suhu tubuhnya meningkat drastis. 

Ia ingat ia masuk ke kamar Giana dan mencium aroma tubuh Giana yang tertinggal di bantal dan selimutnya. Ia juga ingat mimpi sebelumnya di mana ia bertemu dengan ayah dan adiknya untuk merayakan ulang tahun mereka.

Helaan napas gusar tertangkap oleh gendang telingat Ariani. Ia bisa mendengar bahwa Giana juga ikut mencibirnya. "Dasar! Ternyata dia masih ngehalu," ejek Giana pedas seraya melirik sang kakak lelah.



#agustusrawspunyacerita
#sepuluhharimenjelangfinish


Seorang gadis menggeliat kecil di sebuah ruangan gelap. Matanya meneliti ruangan tersebut dengan saksama. Di sudut ruangan terdapat sebuah lemari, di tengah ruangan terdapat sebuah meja kayu kecil, dan seluruh lantainya dilapisi dengan karpet yang cukup tebal dan lembut. Gadis itu mencoba untuk duduk.

"Ah! Kau sudah bangun rupanya," desah sebuah suara bariton. Tubuh gadis itu menegang tanpa bisa dicegah. Matanya terpancang pada pintu yang baru saja ditutup oleh seorang pria seusia ayahnya. 

"Pagi, Om," sapa gadis itu seceria mungkin. Ia lantas menatap sekeliling yang gelap dan meralat sapaannya. "Maksud saya, malam, Om."

Pria itu terbahak kuat hingga membuat gadis itu merinding. Tubuhnya menggigil ketakutan. Pria itu mengikis jarak di antara mereka. "Sebaiknya kau tidur lagi sekarang karena aku juga ingin tidur. Sudah dua malam aku tak bisa tidur." Pria itu mengacungkan sebotol obat tidur yang baru saja ia dapatkan dari apotek.

Gadis itu menggeliat hebat. Bibirnya terkatup dengan rapat saat pria itu berusaha memasukkan sebutir obat ke dalam mulutnya. Semakin kuat ia memberontak, semakin kuat pula cengkraman pada dagunya. 

"Hah! Dasar! Padahal kukira kau anak yang manis. Tak kusangka kau begitu keras kepala sama seperti ayahmu. Sebaiknya kau telan ini dengan keinginanmu sendiri atau aku akan melakukannya secara kasar," ancam pria itu membuat gadis kurus itu menelan salivanya susah payah. 

Ia memejamkan matanya, berusaha mengkalkulasi tindakan mana yang lebih menguntungkan dirinya. Akhirnya, ia pun memilih untuk menelan pil tidur tersebut tanpa paksaan. Walau tentu saja, ia berencana akan memuntahkannya nanti.

Beberapa saat berlalu, pria itu menegak 2 butir pil tidur dan air putih. Tak lama, terdengar napas teratur yang meluncur dari hidungnya. Gadis itu memuntahkan kembali pil tidur yang ia tahan di belakang lidah. Setelahnya, ia bergerak dengan hati-hati menuju lemari. Ia mengambil pisau dan memotong tali tersebut. Selama proses pemotongan tali, gadis itu harus merelakan tangannya teriris karena tak bisa melihat.



#agustusrawspunyacerita
#daripadagalautanggaltuamendingannulissaja




"Anakmu?" Danu mengikuti pandangan Jeffrey pada Ariani yang ada di belakangnya. Perlahan, kepalanya menggeleng. Aura sendu menyeliputinya membuat Jeffrey menampilkan mimik heran. "Lantas?"

"Angga," Danu menyingkir ke samping agar Ariani bisa memberi salam. Ariani membungkukkan badannya dan tersenyum tipis pada Jeffrey yang mengangguk kecil.

Jeffrey mengalihkan pandang kembali ke Danu. "Siapa yang meninggal?" tanyanya seraya melihat ke kanan dan kiri. Tak ada pelayat yang terlihat di sana. Hanya ada Ariani dan Danu. "Jangan-jangan ...." Jeffrey menutup mulutnya tak percaya.

Danu pun menceritakan kejadian buruk yang menimpa keluarga Angga, termasuk si bungsu yang kini menghilang entah ke mana. Ia juga menceritakan bahwa mereka telah melapor pada polisi. Akan tetapi, laporan tersebut tak ditanggapi dengan alasan mungkin saja itu adalah gejolak pemberontakan anak remaja hingga mereka menemui jalan buntu. 

Jeffrey mendengar semuanya dalam diam. "Ah, Giana ini sepertinya mirip sekali dengan Angga," desahnya seraya membayangkan kembali wajah Angga. 

Ariani terkekeh. Orang yang belum menemuinya bahkan tahu bahwa Giana sangat mirip dengan Angga. Perasaannya sedikit lebih ringan sekarang. 

"Tenang saja! Adikmu sangat mirip dengan ayahmu. Dia pasti baik-baik saja sekarang," ungkap Jeffrey seraya tersenyum tipis. Matanya kemudian beralih pada Danu. "Ini mengingatkanku pada waktu itu," ungkapnya seraya bernostalgia.

"Ah! Maksudmu pas Angga dikira kabur setelah gak sengaja merusak toko orang padahal dia kerja part-time di bioskop?" tanya Danu membuat tawa Jeffrey pecah. 

Kedua pria itu kemudian menceritakan secara singkat pada Ariani apa yang terjadi saat itu. Angga muda sangatlah bandel. Ia sering melakukan sesuatu karena rasa penasaran. Pernah sekali, ia ikut tawuran dan tanpa sengaja merusak meja dan kursi sebuah warteg saat melakukan aksi tersebut. Lalu, pria itu menghilang selama beberapa waktu. 

Secara tak sengaja, Danu dan Jeffrey yang tengah mencari film baru, menemukan Angga yang sedang bekerja di sana. Angga pun menjelaskan hal tersebut. Setelah 3 bulan bekerja, Angga kembali.



#agustusrawspunyacerita
#janganberhentimencintailiterasi




Rasa gelisah semakin mencekik Ariani begitu terbangun dari mimpinya. Kakinya mengayun cepat menuju kamar sang ayah. Ariani menggedor pintu itu dengan heboh. "Om! Om Danu!"

Ariani terus menggedor pintu kamar tanpa henti. Danu yang berada di dalamnya segera membuka. "Ada apa?" tanya Danu setenang mungkin, berharap ketenangannya bisa menulari gadis itu.

"Giana bilang temen om dan Papa, 'kan?" todong Ariani membuat Danu berkerut bingung. Setelah satu menit penuh mencerna maksud perkataan Ariani, ia mengangguk pelan. "Om tahu gak siapa temen yang Giana maksud?"

Danu menggeleng pelan. Ariani menemui jalan buntu. Helaan napas lelah meluncur dari bibir pinknya. Kakinya melangkah lemas menuju ruang tamu. Danu yang tahu bahwa gadis itu kembali menemui jalan buntu pun mengekorinya dalam diam.

"Kamu sama sekali gak tahu apa-apa? Apa selama ini adik kamu gak bertingkah aneh?" Danu berusaha menggali informasi.

Ariani terdiam. Kapan adiknya tak bertingkah aneh? Ia akan sangat bersyukur jika adikknya sehari saja bisa bertingkah normal. "Giana selalu bertingkah aneh, Om. Sama kayak Papa," jelasnya seraya mengenang tingkah aneh bin ajaib dua orang yang paling berharga dalam hidupnya.

Danu mengangguk mengerti. Ia paham betul apa yang dimaksudkan oleh Ariani. Saat tengah berpikir, ponsel milik Ariani berdering, dari nomor tak dikenal. Ariani segera mengangkatnya berharap itu dari adiknya.  Akan tetapi, ia harus menelan pil pahit yang bernama kekecewaan. Itu dari kepolisian yang memberitahunya bahwa mereka menemukan jasad sang ayah di sebuah gudang di tempat terpencil.

Danu menemani gadis itu untuk mengambil jasad sang ayah. Mereka berdua mengurus pemakaman dengan cepat. Banyak sekali bisik-bisik yang menyayat hati, tetapi Ariani mengabaikan itu semua. 

"Loh? Danu?" Seorang pria berkaos putih mencegat langkah Danu.

"Jeffrey!" seru Danu kaget, "sudah lama sekali tak bertemu denganmu. Apa kabar?" Mata Danu menangkap ada beberapa wajah yang ia kenal semasa kuliah. Sepertinya mereka sedang melayati salah seorang teman mereka sekaligus reuni kecil-kecilan.

#agustusrawspunyacerita
#menulisharikedelapanbelasyukjanganmalas


Ariani meringkuk di atas kasur Giana,  kepalanya menempel pada bantal yang biasa digunakan oleh Giana. Sebelum air matanya meluncur, ia menyekanya dengan cepat. Matanya terpaku pada kelendet di meja. Terpampang kalender bulan Agustus dengan tanggal 17 dilingkari dengan spidol merah serta ditandai bintang.

"Selamat ulang tahun, Kakak jelek," bisik Giana membuat Ariani menoleh cepat. Di ambang pintu, Giana berdiri dengan senyum lebar di wajahnya. Sebuah cake yang sudah dihiasi lilin dibawa masuk oleh gadis itu.

Ariani tersenyum, segera bangkit dari posisinya. Ditepuknya pelan kasur itu. "Kamu juga. Selamat ulang tahun. Kita tiup dulu lilinnya atau mau tunggu papa aja?" tanya Ariani bersemangat.

Sejujurnya, ini agak menggelikan, mereka bertiga, berulang tahun di hari yang sama. Entah bagaimana bisa ini terjadi, Ariani sama sekali tak mengerti. Walau begitu, ia merasa senang. Karena hari-hari seperti ini merupakan hari paling bahagia dalam hidupnya. Mungkin, sedari awal mereka memang ditakdirkan untuk menjadi satu keluarga yang amat sangat kompak—bahkan sampai tanggal dan bulan lahir.

Giana berjalan mendekat. "Ah! Iya. Aku lupa ternyata ini hari ulang tahun Papa juga," desah gadis itu lemas. 

"Apa katamu?!" seru sebuah suara bariton. Angga muncul dengan kemeja putih dan celana hitam, lalu memiting leher putri bungsunya gemas. "Dasar anak nakal!" tegurnya seraya melotot. Walau begitu, siapa pun yang mendengarnya tahu bahwa teguran itu hanyalah kelakar semata sebab nada yang digunakan sangatlah lembut. Ia bahkan mengecup kening putrinya lembut.

Ariani segera bergabung dalam pelukan tersebut. "Aku kangen kalian," lirihnya sendu. Angga mengusap puncak kepala Ariani sayang.

Pelukan itu diurai oleh Angga. "Ariani, kamu kuat. Kamu pasti bisa melewati ini semua. Kamu tahu, 'kan? Apa pun yang kamu lakukan, Papa akan selalu dukung kamu."

Giana masuk di antara Angga dan Ariani, lalu mengangguk tegas. "Iya. Jadi, mending sekarang kakak bangun dan bersemangat lagi. Aku selalu dukung kakak. Maafin aku, ya."


#agustusrawspunyacerita #merdekahatikudenganmenulis


"Sebenarnya apa yang sedang dilakukan Giana?"

Danu menghela napas panjang. Ia tahu, ia tak bisa lagi menyembunyikannya dari Ariani sesuai permintaan Giana. "Dia hanya bilang, dia ingin bebas," ujarnya sembari memutar ulang kembali percakapannya dengan Giana beberapa hari lalu.

****

"Om, ini Giana. Anaknya Angga. Om ingat, 'kan?" tanya Giana begitu teleponnya tersambung.

Danu mengangguk. Tentu saja, mana mungkin ia melupakan malaikat kecil--ceria dan penuh semangat--milik Angga. Ia bahkan pernah berniat untuk mengasuh malaikat kecil itu 12 tahun yang lalu. "Ada apa, Na?" 

"Ini bukan percakapan yang bisa diselesaikan lewat telepon, Om. Bisa kalau Giana ketemuan sama Om aja?" 

Danu terdiam sejenak. Serahasia apakah percakapan ini sampai-sampai gadis kecil itu tak ingin membicarakannya lewat telepon. Rasa penasaran menggelitiknya membuatnya menyetujui permintaan gadis itu. Mereka berdua berjanji untuk bertemu di cafe yang dekat dengan rumahnya. 

Akan tetapi, di hari perjanjian, rekan kerjanya malah tertimpa kecelakaan sehingga ia tak bisa menemui Giana. Sialnya, di hari itu, ia lupa mengisi batre ponselnya. Maka dari itu, ia tak bisa mengabari Giana. 

Sehari setelah itu, Giana mendatangi rumahnya. Namun, karena ia masih mengurus dokumen kecelakaan kerja temannya, ia tak sempat bertemu dengan gadis itu. Ia hanya menerima pesan yang dititipkan gadis itu pada tetangganya. Secarik kertas yang berisi tulisan tangan yang rapi.

Om, Giana ingin membebaskan Papa dan Kakak. Giana nemu petunjuk. Dia teman Om dan Papa, tapi Giana belum pernah berjumpa dengannya. Giana harap, Om mau membantu Giana bertemu dengannya.
p.s : Tolong jangan kasih tau kakak. Beban Kakak sudah banyak, Giana hanya ingin membebaskan kakak dari salah satu bebannya.



#agustusrawspunyacerita
#tengahbulanjangankasihkendor16



Ariani mengetuk-ngetuk jarinya gusar. Pagi sudah tiba, tetapi sang adik pun belum sampai rumah. Selaman ia bersama Danu menunggu kepulangan sang adik. Namun, tak terlihat batang hidung gadis kurus itu.

Danu melambaikan tangannya di depan wajah Ariani. "Sebaiknya kamu tidur," ujar pria itu membuat Ariani menggeram marah. 

"Mana bisa saya tidur di saat saya gak tahu adik saya ada di mana? Apa dia baik-baik aja atau tidak? Bahkan saya belum bisa membuat laporan kehilangan karena ini belum 2x24 jam," keluh gadis itu seraya menatap tajam sahabat sang ayah.

Ia bisa melihat Danu sudah lebih segar dan bersih. Tadi pagi, Danu sempat tidur sebentar setelah membersihkan diri. Ariani juga sudah membalurkan salep pada luka-luka Danu. Danu menghela napas lelah. 

"Om tahu kamu khawatir, tapi untuk sekarang tidak ada yang bisa kamu lakukan. Istirahatlah! Om akan pergi ke warung depan untuk membelikanmu sarapan." Tanpa mau repot menunggu jawaban Ariani, Danu melangkah pergi.

Dua puluh menit kemudian, ia kembali dengan tiga bungkus nasi. Ia menyerahkan satu bungkus pada Ariani dan membuka sebungkus untuk dirinya sendiri. "Untuk Giana kalau-kalau dia pulang," jelasnya saat Ariani menantap heran nasi yang satunya.

Selesai makan, Danu meminta Ariani untuk istirahat. Ia juga mengingatkan gadis itu agar meminta izin pada atasannya agar ia tak ditegur. Ariani jelas menolak usulannya untuk istirahat dan bersikeras ingin menanti sang adik saja.

"Jangan keras kepala! Kamu bisa sakit, Ariani. Aku akan pergi sebentar untuk mencari adikmu. Sebaiknya kamu istirahat saja," ujar pria itu lembut seraya mendorong Ariani masuk ke dalam kamar.

Ariani meragu. Bolehkah ia istirahat di saat tak ada kejelasan kabar mengenai sang adik? Tanpa dikomando, bayangan Giana yang berdarah-darah menyapa otaknya. Ia berbalik dan menatap Danu yang sudah hampir menutup pintu.

"Om Danu!" panggilnya membuat Danu menoleh, "sebenarnya apa yang sedang dilakukan Giana?"


#agustusrawspunyacerita
#limabelasharimenulistelahkulalui


Ariani menghela napas gusar. Sudah pukul 9 malam, tetapi Giana masih belum pulang. Kakinya bergerak gelisah dengan kedua tangan bersidekap di depan dada. Berulang kali ia mengecek ponselnya yang menampilkan ruang obrolan antara dirinya dengan sang adik. Percakapan itu sudah terjadi sejak satu setengah jam yang lalu, tetapi sang adik masih belum menampakkan batang hidungnya di rumah. Mau tak mau, ia pun merasa gelisah. 

Perasaan gagal menjadi kakak kembali menyerangnya. Bukan sekali dua kali ia merasa seperti ini. Ia sudah sering merasakan perasaan ini karena setiap ada masalah Giana lebih sering menunjukkan sifat dewasanya. Gadis itu lebih senang menyelesaikannya sendiri baru menceritakannya, sama seperti sekarang.

Ayunan langkah Ariani terhenti saat mendengar suara langkah yang berhenti tepat di depan pintu. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dengan kasar. Namun, ia harus menelan kekecewaan saat melihat yang datang bukanlah sang adik, melainkan seoarang pria yang seumuran sang ayah.

"Om Danu?" lirihnya tak yakin lantaran kondisi pria itu terlihat berantakan. Badannya dipenuhi dengan darah kering dan juga lumpur. Cetakan jejak sepatu menempel di seluruh tubuh pria itu dengan pola tak beraturan. "Apa yang terjadi, Om?" tanya Ariani cemas.

"Giana! Di mana adikmu itu?" Danu tak menjawab pertanyaan Ariani, malah menerobos masuk dan memeriksa setiap ruangan di rumah itu. Tak menemukan Giana di mana pun, ia berbalik dan mencengkram kuat bahu Ariani. "Adik kamu ada di mana, Ariani?" tanyanya panik.

Ariani menggeleng lemas. "Adek gak bisa dihubungi, Om. Sudah dari satu setengah jam yang lalu adek bilang udah mau sampe rumah, tapi belum sampe juga. Om kenapa? Terus kenapa datang-datang tanyain adek?" desak Ariani sudah tak tahan lagi.

"Sekarang itu gak penting, Ariani. Kita harus cari adikmu terlebih dahulu. Kamu tahu biasanya dia ke mana?" tanya Danu membuat Ariani terdiam. 

Biasanya Giana ke mana? Pertanyaan yang sangat sederhana, tetapi ia tak tahu jawabannya.

#agustusrawspunyacerita
#tetapnulisdiharipramuka



Giana menyeruput coklatnya seraya bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang dimainkan di cafe itu.  Jemari kurus itu mengetuk permukaan meja kayu tersebut dengan irama teratur. Kepalanya mengangguk mengikuti irama lagu. Sesekali, tangan kurus itu mengetuk layar ponselnya guna melihat sudah berapa lama ia berada di sana.

Helaan napas kasar meluncur dari hidungnya. Bibir tipisnya sudah siap untuk mengomel. Dengan mimik tak sabaran, ia membuka ponselnya. Kemudian, men-dial sebuah nomor terakhir yang kemarin malam ia hubungi. 

Sembari menunggu sambungan telepon terhubung, Giana mengigiti kuku jarinya dengan gemas. Ini sudah ketiga kalinya menelepon, tetapi telepon tersebut tak ada yang mengangkatnya. Helaan napas gusar, lagi-lagi meluncur dari bibir. 

"Gimana, sih, Om Danu? Nyebelin banget! Udah satu jam lebih aku nunggu, tapi batang hidungnya belum kelihatan juga," ujar Giana memulai sesi mengomelnya. Tangannya sibuk men-dial kembali nomor tersebut.

Padahal, ia mengira Danu--sahabat sang ayah--bisa membantunya. Namun, apa yang ia dapatkan sekarang? Tak ada. Pria itu memang menyetujui untuk bertemu dengannya. Akan tetapi, hampir 2 jam lamanya ia menunggu--bahkan ia pun sudah menghabiskan 3 gelas coklat dan mendapatkan tatapan tak senang dari para pelayan cafe--pria itu tak kunjung datang.

Cukup sudah! Jika Danu tak ingin menemuinya, ia yang akan menemui Danu dengan kedua kakinya sendiri. Besok, sepulang sekolah, ia akan mencoba mencari rumah pria itu. Seingatnya, Angga pernah mengajaknya ke rumah Danu sekali. Semoga saja ingatannya bisa menuntunnya dengan benar karena ia yakin Danu mengetahui perihal nama yang tertulis di halaman belakang buku coklat itu.



#agustusrawspunyacerita
#tetapnulisdiharipenggunatangankiriInternasional



Giana menuangkan isi kresek yang ia dapatkan dari hasil belanja barusan. Berbagai macam snack, roti, coklat, dan permen jatuh berserakan di atas meja. Ariani yang baru saja keluar dari kamar mandi menatap adiknya heran.

"Kamu ngapain, Dek?" tanya Ariani seraya berjalan mendekat.

Giana tersenyum puas sembari memamerkan jajanannya, "Pesta." Tangan kurusnya menarik sang kakak agar duduk bersila di atas lantai. 

Kening Ariani terlipat dalam. Bingung, tentu saja. Ia sama sekali tak mengerti apa yang ada di dalam kepala kecil itu. Akan tetapi, bertanya pun percuma. Ia sudah hafal bagaimana tabiat adiknya. Adiknya itu, pasti tak akan pernah menceritakan apa pun padanya sebelum ia sendiri yakin. Biasanya, adiknya akan menceritakan padanya, bila ia rasa perlu. Untuk sementara, ia akan mempercayai Giana saja karena gadis itu memang cukup--bahkan sangat--bisa dipercaya.

Sembari memasukkan sekeping keripik ke dalam mulutnya. Senandung senang meluncur dari bibir tipis Giana. Matanya berbinar senang seolah sudah memenangkan lotre triliunan rupiah.

"Kamu habis menang lotre?" Ariani mengunyah sekeping roti kering seraya meneliti mimik sang adik. 

Giana tersenyum senang. "Ho oh," jawabnya. Memang tak sepenuhnya bohong. Baginya, titik terang dalam kasus pembunuhan yang mencoreng nama sang ayah merupakan lotre yang sangat besar. Di balik nada membandel itu, ternyata tertulis sebuah nama. Nama yang sangat ia kenali dan ia akan mengunjunginya besok.



#agustusrawspunyacerita #tetapproduktifsambilrebahan


Giana meremas kertas penuh coretan itu dengan geram. "Dasar! Jalan buntu!" keluhnya sebal. Tangannya terulur ke bawah kasur. Dikeluarkannya buku coklat itu dan ditatapnya tajam.

Helaan napas lelah meluncur dari bibirnya. Giana mengetuk-ngetukkan pulpennya gemas di atas meja. Tangan kanannya menjambak rambutnya frustrasi. Ia sudah bolak-balik ke TKP, tetapi ia tak memiliki bukti tambahan apapun. Bukan hanya itu saja, ia bahkan sudah pergi ke kantor polisi yang tentu saja langsung diusir. 

Bagi para aparat penegak hukum itu, dia yang masih berjabatan siswi SMA hanya pengganggu jika berada di sana. Alhasil, baik di TKP maupun di kantor polisi, ia tak mendapati bukti tambahan. 

Giana menggigit bibir bawahnya gemas, dibukanya buku coklat itu dengan hati-hati. Matanya menelusuri setiap tulisan dan foto yang tertempel di sana dengan saksama. Saking seringnya ia lihat dan baca, ia bahkan sudah hafal setiap letak tulisan dan gambar di seluruh halaman yang ada di buku tersebut.

Tiba di halaman terakhir, alis gadis itu berkerut dalam. "Apa ini?" gumamnya bingung. Tangannya terulur untuk menggosok noda berwarna kecoklatan tersebut. Matanya berbinar saat mendapati ada tulisan di balik nada kecoklatan itu. Kuku-kukunya semakin aktif menyingkirkan noda membandel.

"Ini ...," desahnya tak percaya. Giana langsung menutup buku coklat itu dan mengembalikannya di bawah kasur. Kemudian, menyambar jaket dan berlari keluar rumah. 

#agustusrawspunyacerita
#sebelashariakusudahberjuang



Ariani mendaratkan bokongnya di atas kasur Giana. Giana menghentikan kegiatan menghapal dan melirik kakaknya sejenak. Setelahnya, ia kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Bibir pinknya aktif berkomat-kamit disertai dengan tangan kurus yang turut aktif menuliskan apa yang ia ucapkan.

"Dek, kamu belajar model apaan, sih?" Ariani tak tahan untuk tak menggoda cara belajar sang adik yang menurutnya lucu.

Giana menoleh dan menatap tajam Ariani. Ia lantas mendengkus sebal. Kemudian, diam saja. Mengabaikan Ariani yang terbahak puas. Lima belas menit berlalu, tak ada lagi yang membuka percakapan. Yang terdengar di ruangan 3x3 meter itu hanyalah suara Giana yang masih sibuk menghapal materi yang akan diujikan besok.

Ariani membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sepasang matanya menatap lurus pada sang adik yang masih sibuk berkomat-kamit hingga gadis itu merasa terganggu. Helaan napas panjang ia tarik sebelum berujar dengan nada lucu, "Kak, kakak gak takut bola mata kakak bisa jatuh terus gelinding ke bawah karena terlalu lama pelototi aku?"

Gemas dengan ucapan sang adik, Ariani segera bangkit dan mencubit pipi kanan Giana. "Kamu ini! Anak nakal!" omelnya yang hanya dibalas cengiran lebar oleh Giana. Setelah puas, Ariani pun melepaskan cubitan tersebut.

"Kak, sebelah kirinya belum. Nanti pipi aku gemuk sebelah. Sini, nah!" Giana mencubit pipi kiri Ariani gemas dan langsung saja dihadiahi jitakan. 

Keduanya pun memutuskan untuk menyudahi kekonyolan mereka. Tak ada bagusnya melanjutkan hal ini karena salah-salah bisa saja terjadi perang besar-besaran. Ariani meneliti isi meja Giana dengan saksama, seolah mencari sesuatu.

"Buku coklat?" tembak Giana membuat Ariani mengalihkan pandang pada sang adik. Malu tertangkap basah, Ariani hanya memamerkan senyum lebarnya. "Kakak penasaran?" tanya Giana pelan. 

Tanpa ragu, Ariani mengangguk. Giana menghela napas panjang, tahu bahwa ia sudah tak dapat menutupi hal tersebut lagi. Ia pun mengambil duduk di sebelah sang kakak. "Buku itu jendela pengetahuan, Kak," ujarnya disertai tawa puas sembari berlari meninggalkan sang kakak.

#agustusrawspunyacerita
#janganmauditikungmalasdisepertigabulan


Giana mendesah lega begitu badannya yang kaku menempel sempurna di kasurnya. "Memang kasur sendiri itu yang paling nyaman," desahnya sebelum terbang menuju alam mimpi. 

Sebuah ketukan lembut mendarat di pintu putih Giana. Namun, karena dirinya sudah sangat lelah dan tenggelam terlalu dalam di alam mimpi, ia tak merasa terganggu sama sekali. Setelah lima menit penuh diketuk tanpa menghasilkan jawaban, Ariani mendorong pintu putih itu pelan.

Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Niat untuk mengajak adiknya makan pupus sudah begitu mendapati sang adik pulas. Tahu adiknya pasti merasa lelah, ia pun memilih untuk membiarkannya saja. Walau ia khawatir karena adiknya baru sampai rumah dan sepertinya belum makan, tetapi ia tak ingin memaksa adiknya makan dalam keadaan setengah sadar.

Kedua kakinya mengayun ringan menuju ranjang Giana. Ditatapnya hangat wajah tidur yang terlihat damai itu. "Mimpi indah, Dek," bisiknya, lalu mengecup kening adiknya ringan. Karena masih belum puas menatap wajah manis adiknya, ia memutuskan untuk duduk bersila menghadap sang adik.

Ariani tak tahu sudah berapa lama ia di posisi itu hingga sebuah suara menegurnya. "Kak, aku gak bakal kabur, loh."

Ariani tertegun. Ia tertawa kecil menanggapi candaan adiknya. "Ya, kali aja, 'kan? Kamu pura-pura tidur, eh, malah kabur," selorohnya membuat mata Giana terbuka sempurna.

Giana menatap Ariani selama beberapa detik. Tangannya merentang terbuka, siap menerima pelukan. Ariani pun segera masuk ke dalam pelukan tersebut. Giana menumpukan kepalanya pada perut Ariani yang langsing. "Ululu ... kakakku yang manja," ledeknya membuat Ariani mencubit hidungnya gemas. "Baru ditinggal seminggu aja udah kangen," lanjutnya lagi membuat cubitan di hidungnya semakin keras.

"Karna kamu udah tahu kakakmu ini manja, kamu harus hidup selamanya, ya, sama kakak," ujarnya seraya tertawa kecil.

"Tentu saja. Rumahku cuma satu," ujar Giana serius. Ya, kini mereka hanya memiliki satu sama lain. Tak ada lagi yang lain. Papa dan Mama telah pergi ke tempat yang jauh, meninggalkan mereka berdua.

#agustusrawspunyacerita
#harikesembilanmenulisditemanicemilan


Giana lagi-lagi hanya bisa menghela napas lelah. Entah sudah berapa kali ia pergi ke sungai terdekat untuk mengambil air. Dan selalu, saat ia kembali dari mengambil air. Ia pasti akan disuruh untuk  kembali lagi dengan alasan air yang tadi diambilnya telah dipakai untuk keperluan lain. Rasa malas dikerjai, membuat gadis itu memilih duduk di bebatuan yang ada di sungai tersebut.

Ia mencelupkan kakinya yang sudah bebas dari balutan sepatu dan kaus kaki ke dalam air. Rasa dingin menjalar dari telapak kakinya menuju seluruh tubuhnya membuat panas di hatinya perlahan mendingin. Seulas senyum terbit di wajahnya melihat pemandangan hutan. Pemandangan ini mengingatkannya dengan kebiasaan keluarga kecilnya. Kerinduannya pada alam pun membuncah.

Mata gadis itu terpejam. Ia menghidup dalam aroma embun yang memenuhi hutan. Bau tanah yang basah pun tak mau ketinggalan menyapa indra penciumannya. Suara kicauan burung-burung kecil bak nyanyian pun menyapa telinganya. Tak tertinggal suara arus air sungai yang terdengar bak musik mengalun lembut. 

Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Ia yang tengah bersantai, tiba-tiba didorong kuat hingga tercebur masuk ke dalam sungai. Masa nerakanya kembali dimulai lagi. Lagi-lagi, Erina datang untuk mengganggunya.

"Heh! Kamu disuruh ambil air, malah main air," hardik gadis itu galak.

Giana tersenyum miring, ia segera bangkit berdiri. Tak lupa, ia menyiramkan air sungai itu pada Erina dan teman-temannya sebelum keluar dari sungai. "Nih! Ambil nih air," ujarnya. Setelahnya, gadis itu berjalan gontai menuju tenda dengan membawa ember yang sudah penuh terisi air.



#agustusrawspunyacerita
#harikedelapanidedanmagerbalapan


Giana mengambil buku bersampul coklat miliknya dan menatapnya beberapa lama. Menimbang apakah harus ia bawa ke mana-mana ataukah lebih baik ditinggal di rumah saja. Namun, jika ditinggal di rumah, bisa saja Ariani akan membuka dan membaca isi buku tersebut. Padahal, buku ini memiliki isi yang cukup berbahaya.

Setelah menimbang cukup lama, ia menyelipkan buku tersebut di bawah tumpukan bajunya di lemari setelah membungkusnya dengan salah satu baju miliknya. Ia yakin, Ariani tak akan menyangka bahwa buku itu ada di sana karena Ariani selalu menyimpan sesuatu di tempat yang benar, tak seperti dirinya yang sering menyembunyikan sesuatu di tempat aneh.

Walau begitu, ia tetap tak begitu yakin Ariani akan menyerah untuk menemukan buku tersebut. Apalagi setelah sempat melihat isi buku tersebut. Ia harus memikirkan hal lain sebagai pengalih perhatian Ariani selama ia pergi camping. Giana mengambil ponsel, lalu menggulirkan layarnya menuju platform dengan logo dengan bentuk seperti kamera polaroid berwarna merah. Senyumnya terkembang melihat tampilan beranda platform tersebut. "Ini dia!" serunya senang.

Tanpa menunggu waktu lama, ia segera mencari tahu mengenai drama baru yang dimainkan oleh Park Jinyoung GOT7--Devil Jugde. Setelahnya, ia mencari tahu drama tamat lainnya yang dimainkan oleh penyanyi sekaligus aktor tampan itu. Setelah membuat daftarnya, ia meletakkannya di atas meja belajar sang kakak. Tak lupa ia menulis catatan kecil.

'Jangan kangen aku! Ngebucin aja sama si gans Jinyoung <3'



#agustusrawspunyacerita
#hariketujuhnulistetapkutempuh


Ariani mengintip dari balik celah pintu kamar yang tak tertutup rapat. Rasa penasaran mendorong kakinya melangkah masuk diam-diam. Ia menghampiri adiknya yang tengah sibuk menuliskan sesuatu pada sebuah buku coklat yang ada sejak Giana mengatakan akan berubah. Kepalanya mengintip dari bahu adikknya.

Kedua matanya membelalak lebar saat mendapati berbagai potongan foto yang ia yakini merupakan TKP pembunuhan yang dituduhkan pada ayah mereka. "Kamu dapat dari mana ini, Na?" tanyanya kaget.

Giana menoleh, kedua tangannya bergerak cepat menutup buku bersampul coklat itu. Ditatapnya sang kakak sejenak. Aura tegang menyeliputi kedua kakak beradik itu selama beberapa menit. Apalagi tak ada yang bersuara. 

Giana menyelinap dari bawah kungkungan lengan sang kakak, lalu berjalan menjauh. Diletakkannya buku bersampul coklat itu ke atas lemari. Ariani mengejarnya. "Berikan," todongnya seraya mengulurkan telapak tangannya terbuka.

Giana mendengkus, "Ambil saja sendiri kalau kakak bisa." Setelahnya, gadis itu berjalan menjauh dari sang kakak dan mendaratkan bokongnya di atas kursi yang ada di ruangan tersebut.

Ariani berdecih. Tatapan sebal ia berikan pada sang adik. Dalam hati, ia terus mengomeli adiknya. Walau ia sudah berjinjit untuk memaksimalkan tinggi badannya dan mengulurkan tangannya sepanjang mungkin. Ia tetap tak bisa menggapai buku sakti sang adik. Tak hilang akal, ia mengambil kursi dan meletakkannya di depan lemari tersebut. 

Mata Giana membelalak kaget saat melihat sang kakak menggunakan alat bantu, ia segera berdiri dan berlari, menyambar buku tersebut. Kemudian, berlari ke luar rumah. "Belum saatnya kakak tahu," ujarnya meninggalkan sang kakak yang hanya bisa bengong.



#agustusrawspunyacerita
#harikeenamyukbisayuk


Giana yang masih berkutat dengan buku coklatnya, menatap ke luar jendela. Keningnya berkerut saat melihat tetes air yang menempel pada jendelanya. "Hujan," gumamnya kecil. Matanya ia alihkan pada jam dinding yang ada di kamarnya. Jarum pendeknya berada di antara angka lima dan enam, sedangkan jarum panjangnya sudah melewati angka tujuh menuju angak delapan. 

Kakinya yang tadinya terlipat, membuka lebar, lalu ia gunakan untuk menopang tubuhnya. Kakinya melangkah menuju pintu depan, sebelum keluar. Tangan kurusnya menyambar sebuah payung berwarna hitam. Dengan gerakan ringan, ia membuka pintu. Sebelum meninggalkan rumah, ia menguncinya. 

Langkah ringannya membawanya menuju depan gang rumahnya. Keadaannya tak begitu gelap lantaran lampu jalanan sudah dihidupkan. Sembari menunggu, Giana bersenandung kecil mengikuti alunan yang menyapa gendang telinganya. Matanya terpejam, menghirup aroma tanah yang naik akibat gerimis padat ini. 

"Lagi apa, Dek?" Sebuah suara familiar menyapanya, membuat matanya terbuka. Binar senang terbit begitu saja di manik coklatnya.

"Nungguin kakak," jawabnya pada Ariani yang sudah masuk ke dalam lindungan payung. 

Ariani mengacak rambut Giana sayang. "Aduh! Manisnya adek kakak. Udah mandi belum?" tanyanya saat melihat seragam putih abu-abu masih menempel sempurna di tubuh kurus sang adik.

Giana tersenyum, lalu menggeleng. "Ini sekarang mau mandi," ujarnya membuat kening Ariani terlipat.

"Sekarang? Di sini?" tanyanya.

Giana mengangguk mantap. "Tentu aja! Kan udah ada shower alaminya," balasnya seraya menutup payung hitam tersebut. Tak perlu menunggu waktu lama, tangisan kecil bumi pun mengguyur mereka berdua. Malam itu, keduanya menari di bawah guyuran gerimis yang padat.


#agustusrawspunyacerita
#nulisteruspantangmundurbiareksisdiharikelima



Giana membongkar album foto yang mengabadikan momen-momennya bersama sang ayah. Kedua sudut bibirnya tertarik saat melihat selembar memori yang memuat dirinya saat masih kecil berlumur tepung yang tengah digendong oleh sang ayah, lalu di samping kiri ayahnya Ariani memeluk seraya tersenyum lebar ke arah depan.

***

"Papa! Aku mau cake," pinta seorang gadis cilik sembari memanjat kaki sang ayah yang tengah duduk menonton televisi.

Angga menunduk dan segera mengangkat malaikat kecilnya. "Kok tiba-tiba, Sayang?" tanyanya heran.

Pipi di wajah mungil itu menggembung kesal. Ia yakin ayahnya pasti melupakannya. Hari yang sudah ia tunggu-tunggu dari seminggu yang lalu. Lima belas menit telah berlalu, ayah dan anak itu masih diam. Giana kecil pun sudah tak tahan lagi, tangisnya pecah membuat sang kakak yang baru saja pulang sekolah segera berlari masuk sembari berteriak panik.

"Adek! Kamu kenapa?" Bahu Ariani merosot lemas saat melihat sang ayah ada di rumah. Ia kemudian menatap sang ayah meminta penjelasan. Akan tetapi, sang ayah hanya mengangkat bahu seraya menggerakkan bibir membentuk kata "cake" berulang kali. Ariani menepuk keningnya kuat.

Mampus! Bisa-bisanya aku lupa, batinnya panik.

"Adek, kita bikin aja, yuk. Sekarang kita bikin cake ulang tahun adek. Semalam kakak udah beli bahannya. Lebih seru buat sendiri, loh," bujuk Ariani membuat senyum sang adik kembali terkembang. Sepasang ayah anak itu pun menghela napas lega, merasa beruntung karena membujuk Giana merupakan pekerjaan yang mudah.

***

"Ah! Itu dia! Foto!" seru Giana senang, lalu berlari keluar kamar. Hampir saja ia menabrak Ariani yang baru masuk ke rumah. Beruntung refleks sang kakak cepat.

#agustusrawspunyacerita
#harikeempatmasihsemangatnuliswalauidekabur


Giana menghela napas lelah. Matanya menekuri selembar formulir itu dengan malas hingga sebuah suara menegurnya. 

"Hei, anak pembunuh! Kamu jangan ikut! Siapa tahu nanti kamu bakal membunuh salah satu dari kita di acara camping itu," ujar seorang gadis berpenampilan modis walau hanya memakai seragam putih abu-abu.

Giana memilih untuk tak menghiraukannya, tak ada gunanya. Ia juga malas mengikuti acara tersebut, tetapi apa daya jika itu harus diikuti oleh semua murid. Untuk biayanya, ia sama sekali tak masalah. Selain karena tabungannya masih ada, ia juga masih melakukan freelance berbagai pekerjaan.

"Sekarang kamu sudah budek, ya?" maki gadis itu kesal. 

Giana kembali memilih untuk tak mengacuhkannya. Ia hanya diam sambil menatap formulir tersebut. Helaan napas lelah meluncur turun dari bibir tipisnya. Ia malas jika harus masuk ke hutan. Walau dulunya, ia dan kakak serta ayahnya sering berkemah di setiap liburan sekolah. Ia sama sekali tak masalah jika diajak oleh sang ayah ke hutan belantara mana pun.

***

"Papa!" Angga yang baru saja pulang langsung menangkap Giana yang melompat ke pelukannya. "Cuti Papa sudah diterima?" tanya gadis itu penuh harap.

Angga muram membuat gadis kecil yang ada di pelukannya ikut muram. Walau begitu, sedetik kemudian, keceriaan kembali menghiasi wajah mungilnya. "Gak apa, kok. Kita kan bisa jalan-jalan lagi liburan semester depan," ujar gadis kecil itu riang.

Ariani mengambil alih Giana dari gendongan sang ayah. "Iya, Na. Lagian walau gak jalan-jalan ke luar, yang penting 'kan kita tetap bertiga," ujar Ariani seraya menjawil hidup adikknya gemas.

Angga terbahak, puas mengerjai kedua putrinya. Ia pun mendorong kedua putrinya masuk ke dalam kamar. "Sana kalian beres-beres. Kita bakal jalan-jalan ke hutan. Nanti kita camping di sana. Gimana? Senang, 'kan?"

Besoknya, Ariani hanya bisa menganga melihat tempat tujuan mereka. Angga benar-benar membawa mereka entah ke belantara mana. Ia bahkan tak tahu berapa jam mereka duduk di dalam mobil. Hanya satu hal yang ia rasakan, bokongnya kebas. Sesampainya tempat tujuan, ia pun kehilangan kata-kata akibat pemandangan yang mereka jumpai di sana sini hanyalah pepohonan tinggi.


#agustusrawspunyacerita 
#hariketigatetepnulisbiarpunmager

Ariani mengintip dari balik celah pintu kamar sang adik. Ia melihat adiknya lagi-lagi sibuk dengan buku tua bersampul coklat itu. Samar-samar, memorinya mengatakan bahwa ia tahu buku apa itu. Akan tetapi, ia benar-benar tak bisa mengingatnya untuk saat ini. Selintas ide jail muncul di benaknya.

Kaki rampingnya menuntunnya menuju ruang tengah. "Na! Giana!" panggilnya pelan. Kedua sudut bibirnya tertarik saat mendengar balasan sang adik yang sudah bisa ia tebak.

Ariani menggigit bibir dalamnya agar tawanya tak pecah dan menyembur keluar. Mulutnya terbuka, tetapi ucapannya terpotong oleh Giana.

"Cuma tes kuping, kok," sela Giana cepat yang entah kapan sudah berdiri bersandar di tembok kuning itu sembari memperhatikan Ariani. "Candaan kakak basi, nah!" lanjutnya lagi.

Walau begitu, keduanya tertawa lepas. Candaan yang mereka lakukan semasa sang ayah masih ada. Candaan terakhir yang mereka lakukan di hari terakhir sang ayah berangkat dan tak kembali lagi hingga saat ini.

****

"Kalian baik-baik, ya! Ariani yang semangat hari pertama kerjanya! Giana belajar yang benar. Jangan mengkhayal terus!" pesan Angga pada kedua putrinya.

Giana dan Ariani segera meletakkan telapak tangannya di dahi masing-masing hingga tawa ketiganya pecah berserakan memenuhi ruangan tersebut. Angga yang sudah selesai mengikat tali sepatunya pun berdiri. Menepuk bokongnya beberapa kali, lalu meregangkan otot. 

"Papa pergi, ya," pamitnya dengan senyum cerah—secerah matahari pagi.

"Papa!" panggil Ariani membuat Angga menoleh dengan sebelah alis terangkat. Setelah menunggu satu menit penuh, Ariani tak mengatakan apa pun hingga ia pun melangkah balik menuju rumah. 

"Cuma tes kuping, kok," canda gadis itu. Sekali lagi, tawa memenuhi ruangan tersebut. Angga hanya bisa menggeleng pelan melihat kelakuan dua putrinya. Walau begitu, ia tersenyum lebar.

"Kuping Papa masih bagus. Kalau udah gak bagus nanti kalian harus temenin Papa buat beli kuping baru, ya," seloroh Angga membuat kedua putrinya mengacungkan jempol. Setelahnya, ia pun benar-benar pamit bekerja.


#agustusrawspunyacerita
#nulisharikeduagabolehbaper

Tangan kurus itu aktif menggunting kertas beberapa lembar kertas warna-warni berisi tulisan, lalu menempelkannya pada bukunya. Senyum kecilnya terkembang puas saat melihat hasil karyanya yang rapi. Setelah selesai, ia membereskan sisa kertas yang tak digunakan lagi dan membuangnya ke dalam tempat sampah. Kemudian, tangan kurusnya bergerak cekatan menyusun kembali semua perkakas yang ia gunakan tadi pada tempatnya.

"Selesai," desahnya puas. 

"Kamu ngapain, Na?" Pintu putih yang tertutup rapat itu diketuk dari luar. Suara lembut memanggilnya hingga ia menyimpan buku tersebut dengan terburu-buru sebelum membuka pintu.

Pintu terbuka dan menampilkan sesosok wajah murah senyum dan cantik. "Aku gak ngapa-ngapain, kok, Kak." Seulas senyum tipis ia hadiahkan pada wanita yang berselisih umur 10 tahun dengannya itu.

"Kalau gak ngapa-ngapain kenapa pintunya ditutup rapat gitu, Na?" Lagi, sang kakak bertanya lantaran tak dapat menyudahi rasa penasarannya.

Giana menggeleng. "Hanya sesuatu. Aku ingin berubah. Aku gak bisa terus kayak gini, 'kan, Kak?" 

Sendu dirasakan oleh keduanya. Ariani mengusap lembut puncak kepala adiknya. Ia mengangguk mantap. Mereka memang harus berubah. Sesuatu harus dilakukan. Mereka tak bisa hidup dalam terus dengan label "anak pembunuh". 

"Harus, dong. Kita harus berubah. Mari kita pindah dan cari lingkungan di mana kita bisa hidup tenang," ajak Ariani lembut.

Giana menggeleng tegas. "Bukan. Itu namanya melarikan diri. Sudah cukup kita melarikan diri, Kak. Ayo kita kumpulkan senjata untuk memberikan serangan balasan."

Ya, cukup sudah mereka diam dan menerima semua cacian yang dilemparkan untuk mereka. Tak ada alasan mereka harus menerima itu semua. Jika mereka diam saja, mereka akan digilas habis oleh manusia-manusia kelaparan itu. Mereka harus bertindak, mengumpulkan senjata sebanyak mungkin untuk membalikkan keadaan.


#agustusrawspunyacerita
#yuknulisbarengrawshari1