Om Danu


Giana menyeruput coklatnya seraya bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang dimainkan di cafe itu.  Jemari kurus itu mengetuk permukaan meja kayu tersebut dengan irama teratur. Kepalanya mengangguk mengikuti irama lagu. Sesekali, tangan kurus itu mengetuk layar ponselnya guna melihat sudah berapa lama ia berada di sana.

Helaan napas kasar meluncur dari hidungnya. Bibir tipisnya sudah siap untuk mengomel. Dengan mimik tak sabaran, ia membuka ponselnya. Kemudian, men-dial sebuah nomor terakhir yang kemarin malam ia hubungi. 

Sembari menunggu sambungan telepon terhubung, Giana mengigiti kuku jarinya dengan gemas. Ini sudah ketiga kalinya menelepon, tetapi telepon tersebut tak ada yang mengangkatnya. Helaan napas gusar, lagi-lagi meluncur dari bibir. 

"Gimana, sih, Om Danu? Nyebelin banget! Udah satu jam lebih aku nunggu, tapi batang hidungnya belum kelihatan juga," ujar Giana memulai sesi mengomelnya. Tangannya sibuk men-dial kembali nomor tersebut.

Padahal, ia mengira Danu--sahabat sang ayah--bisa membantunya. Namun, apa yang ia dapatkan sekarang? Tak ada. Pria itu memang menyetujui untuk bertemu dengannya. Akan tetapi, hampir 2 jam lamanya ia menunggu--bahkan ia pun sudah menghabiskan 3 gelas coklat dan mendapatkan tatapan tak senang dari para pelayan cafe--pria itu tak kunjung datang.

Cukup sudah! Jika Danu tak ingin menemuinya, ia yang akan menemui Danu dengan kedua kakinya sendiri. Besok, sepulang sekolah, ia akan mencoba mencari rumah pria itu. Seingatnya, Angga pernah mengajaknya ke rumah Danu sekali. Semoga saja ingatannya bisa menuntunnya dengan benar karena ia yakin Danu mengetahui perihal nama yang tertulis di halaman belakang buku coklat itu.



#agustusrawspunyacerita
#tetapnulisdiharipenggunatangankiriInternasional


0 comments:

Posting Komentar