Yo, balik lagi nih aku review novel. Kalau kalian nyari novel yang penuh dengan bawang, novel ini aku sarankan buat kalian. Atau kalau kalian lagi down dan butuh teman seperjuangan, kalian boleh juga baca novel ini. Menurutku, nilai novel ini 4/5.

 

Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku kasih nilai yang tinggi banget buat novel ini. Kalau ditanya, aku bakal jawab novel ini related banget sama kehidupan. Di sini kita bisa melihat perjuangan dan juga harapan. Penasaran ini novel apa? Yuk, mari intip.

 

Judul               : Rooftop Buddies

Penulis            : Honey Dee

Genre              : Young Adult

ISBN                : 978-602-03-8819-9

Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama

Halaman         : 264 halaman

Blurb              :

Buat Rie, mengidap kanker itu kutukan. Daripada berjuang menahan sakitnya proses pengobatan, dia mempertimbangkan pilihan lain. Karena toh kalau akhirnya akan mati, kenapa harus menunggu lama?

Saat memutuskan untuk melompat dari atap gedung apartemen, tiba-tiba ada cowok ganteng berseru dan menghentikan langkah Rie di tepian. Rie mengira cowok itu, Bree, ingin berlagak pahlawan dengan menghalangi niatnya, tapi ternyata dia punya niat yang sama dengan Rie di atap itu.

Mereka pun sepakat untuk melakukannya bersama-sama. Jika masuk ke dunia kematian berdua, mungkin semua jadi terasa lebih baik. Tetapi, sebelum itu, mereka setuju membantu menyelesaikan “utang” satu sama lain, melihat kegelapan hidup masing-masing… Namun, saat Rie mulai mempertanyakan keinginannya untuk mati, Bree malah kehilangan satu-satunya harapan hidup.

 

 

Novel ini mengisahkan tetang pertemuan dua orang yang hendak melompat dari atap gedung apartemen karena menganggap—mungkin saja—kematian lebih indah daripada tetap hidup. Itulah alasan mengapa mereka menjuluki persahabatan mereka dengan nama rooftop buddies. Pertemuan di atap dengan tujuan yang sama, tetapi dengan alasan yang berbeda. Akan tetapi, membuat akhir dari keduanya menjadi indah dan berwarna.

 

Rie atau Mirielle, gadis berusia 17 tahun dan seorang pengidap kanker, memilih untuk menyerah akan kehidupannya. Berjuang melawan kanker, menurutnya itu sangat menyakitkan dan ia tak sanggup untuk melakukannya. Ia pun berencana mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari atap. Saat hampir melompat, ia dicegat oleh seorang pria.

 

Bree atau Brian, pemuda berusia 23 tahun, memilih menyerah pada hidup karena berpikir bahwa mati lebih mudah daripada hidup. Hidupnya yang  berantakan membuatnya ingin menyerah, kakaknya meninggal dan ibunya sakit. Ia pun berencana melompat dari atap sebuah apartemen, tetapi saat sampai di sana, ia melihat seorang gadis remaja yang berada di atap dan hanya mengenakan piyama.

 

Bree menegur gadis itu karena mengiranya tidur berjalan. Namun, gadis itu mengaku bahwa ia ingin bunuh diri. Mereka berdua lantas berkenalan dan memutuskan untuk bunuh diri bersama. Sebelum melompat, mereka sempat turun dan berbincang sejenak, bahkan sempat terlibat sedikit perselisihan mengenai nama panggilan untuk pertemanan mereka. Bree dengan nama suicide buddies, sedangkan Rie dengan rooftop buddies. Walau akhirnya perdebatan nama itu dimenangkan oleh Rie.

 

Saat hendak melompat, lagi-lagi niat mereka terbatalkan. Kali ini, bukan karena adanya teman bunuh diri bersama. Akan tetapi, karena Rie sendiri lah yang menghentikan acara itu. Gadis itu terlihat takut, ia pun memutar otak agar keduanya mengurungkan niat untuk lompat. Kemudian, berakhir dengan bertanya keinginan terakhir Bree sebelum meninggal.

 

Bree sendiri yang memang sudah capai akan hidup, mengatakan bahwa ia tak memiliki keinginan apapun lagi. Berbeda dengan Bree, Rie malah memiliki begitu banyak keinginan yang ingin ia lakukan sebelum meninggal. Bree pun mengalah dan membiarkan Rie untuk menuliskan keinginannya pada secarik struk belanjaan yang didapatkan dari saku jaketnya.

 

Rie menuliskan 11 keinginannya dengan patuh, yaitu :

  1. Alerawi
  2. Perjalanan darat yang seru
  3. Dancing in the rain
  4. First Kiss
  5. Jatuh Cinta
  6. Break the rules
  7. Being Famous
  8. Belajar nyetir
  9. Punya pacar
  10. Makan 10 jenis hamburger sekaligus
  11. Melihat matahari terbit dan terbenam di tempat yang sama

1. 

Setelah menuliskan daftar keinginan, Bree pun memutuskan untuk melompat. Akan tetapi, dicegah oleh Rie. Rie mengatakan bahwa mereka harus melakukan semua hal yang ada di daftar tersebut agar nantinya tak menjadi gentayangan sebagai arwah karena belum melakukan keinginan terakhirnya. Walau dengan menggerutu, Bree tetap memenuhi keinginan Rie.

 

Di saat keduanya sedang melakukan keinginan terakhir itu, keduanya menjadi dekat. Rie menjadi tahu kisah Bree yang membuat Bree memilih keputusannya untuk bunuh diri. Ia juga menemukan sosok kakak yang bisa dijadikan sandaran pada sosok Bree. Ia menjadi sangat bergantung pada Bree.

 

Bree sendiri terlihat tak masalah dengan sikapnya. Bree selalu menuruti semua keinginan Rie. Ia tak pernah marah walau sering mengeluh. Keduanya melakukan petualangan yang seru bersama sambil saling mengenal satu sama lain.

 

Namun, semua menjadi rumit saat Bree hendak memenuhi keinginan Rie untuk belajar menyetir. Saat gadis itu mencoba menyetir, seorang pengendara sepeda motor mengalami kecelakaan tunggal di depan mobil Bree dan tewas di tempat. Ia merasa amat ketakutan dan hal itu membuat penyakitnya bertambah parah hingga harus dilarikan ke rumah sakit.

 

Ternyata, saat ia sadar, ia mengetahui fakta bahwa sang adik juga dirawat di rumah sakit yang sama. Adiknya, Jojo, mengalami infeksi saluran pernafasan dan keadaannya kritis. Ia pun memaksa untuk menjenguk Jojo dan saat Jojo melihatnya, Jojo berpesan padanya agar melanjutkan bagian hidup yang belum sempat ia jalani.

 

Di mulai dari sini, kisah ini mulai menyesakkan. Rie yang takut berjuang, dipaksa berjuang oleh adiknya. Namun, saat dihadapkan pada kematian, ia juga merasa ketakutan. Ia pun memaksa Bree agar terus menemaninya. Bree pun berjanji padanya untuk terus menemaninya sampai Rie tak membutuhkannya lagi.

 

Bree membantu Rie bangkit, begitu juga sebaliknya. Rie membantu Bree bangkit dari keterpurukannya. Kisah tentang perjuangan, harapan, dan ketakutan Rie ini sangat menyentuh.

 

Awalnya, aku berpikir bahwa karakter Rie ini sangat menyebalkan. Namun, kalau kita lihat lagi dia masih remaja berusia 17 tahun dan menderita penyakit kanker. Ia juga harus menjalani sesi kemoterapi yang menyakitkan. Semua ini membuatku mengerti mengapa karakter ini bisa bersikap begitu menyebalkan.

 

Satu yang kusukai dari novel ini, karakter di dalamnya benar-benar hidup. Mereka sangat nyata hingga aku bisa merasakan kepedihan serta kesakitan mereka. Itulah kenapa aku memberikan nilai yang cukup tinggi untuk novel ini.

 

Berikut merupakan quote yang ada di dalam novel ini :

Keberanian terhebat adalah saat kamu memutuskan untuk tetap hidup dan menghadapi semua. Bertahanlah, selama masih bernapas harapan itu akan selalu ada. Harapan memang milik orang-orang hidup.

-Honey Dee-


#jurnalhydramates
#jurnal_hm_desember
#jurnal_hm_minggu_ke2 
#pojokbacaHydra

Yo, Gengs! Balik lagi, nih. Kali ini, kita bakal bahas tentang novel Memoar Sherlock Holmes (walau lebih tepat dikatakan kumpulan cerita pendek dari pada novel). Siapa sih yang gak tahu Sherlock Holmes? (pasti ada lah, weh. Kan gak semua orang suka misteri thriller). Yap, Sherlock Holmes, detektif yang terkenal itu, loh. Dia selalu memakai metodenya sendiri dalam menyelidiki kasus.




Judul                           : Memoar Sherlock Holmes

Penulis                       : Sir Arthur Conan Doyle

Penerjemah               : Dra. Daisy Dianasari

Penerbit                     : PT Gramedia Pustaka UTama

Genre                         : Misteri

ISBN                           : 978-979-22-8000-5

Halaman                    : 408

Tahun Terbit             : 2012

 

Jadi, di seri buku kali ini hanya berisi 11 kasus yang pernah dikerjakan oleh Sherlock Holmes. Buku ini ditulis dari sudut pandang Dr. John Watson dengan cara seolah-olah ia sedang mendongengkan kasus-kasus tersebut kepada orang lain.

11 Kasus yang ada di dalam buku ini di antaranya :

  •    Kuda Pacuan Silver Blaze
  •       Wajah Kuning yang Mengerikan
  •       Pegawai Kantor Bursa
  •       Kapal Gloria Scott
  •       Ritual Keluarga Musgrave
  •       Tuan Tanah di Reigate
  •       Si Bungkuk
  •       Pasien Rawat Inap
  •       Penerjemah Bahasa Yunani
  •   Dokumen Angkatan Laut
  •   Kisah Penutup

Tidak semua kasus dari 11 kasus di atas menemui keberhasilan, walau tak bisa dikatakan gagal juga. Namun, saat akhir dari kasus Wajah Kuning yang Mengerikan, Sherlock sempat mengatakan sesuatu pada dr. Watson. Dia mengatakan bahwa agar jika suatu saat Sherlock merasa begitu bangga atau yakin pada kesimpulan yang ditariknya, dr. Watson diwajibkan untuk membisikkan kembali kasus tersebut sebagai pengingatnya.


Kasus Wajah Kuning yang Mengerikan cukup mengejutkan akhirnya. Jika mengikuti dari awal kasus, siapapun akan mengatakan bahwa kesimpulan yang ditarik oleh Sherlock masuk akal dan tidak salah. Akan tetapi, kasus itu membuat kita berpikir kembali karena tak semua hal yang terlihat masuk akal memang benar adanya.


Lalu, kasus yang paling kusuka adalah kasus Kuda Pacuan Silver Blaze. Pada kasus ini, Sherlock pernah mengatakan pada dr. Watson bahwa mereka memiliki apa yang tidak dimiliki oleh para penyelidik atau polisi, yaitu imajinasi.


Awalnya, aku tidak mengerti apa hubungan antara imajinasi dan kasus. Namun, setelah membaca kasus pertama itu, aku mengerti memang ada hubungannya. Sherlock mereka semua adegan yang mungkin terjadi atau memang sudah terjadi dengan menggunakan imajinasinya. Dan, itu memang berguna untuk penarikan kesimpulan akhir dari semua kasus-kasus yang ditangani olehnya.


Di buku ini, diceritakan bahwa seluruh keluarga Holmes memiliki kemampuan yang sama. Dan juga, dikatakan bahwa sang kakak—Mycoft Holmes—ternyata lebih hemat kemampuan analisisnya dari pada dirinya. Namun, Mycoft tidak menyukai menyelidi di lapangan, dia lebih senang berdiam diri di suatu tempat sembari membaca. Itulah yang menyebabkan Mycoft tak menyelidiki kasus seperti Sherlock.


Dikisahkan juga bahwa Sherlock pernah beberapa kali meminta bantuan pada Mycoft untuk sekedar bertukar pikiran dan meyakinkan dirinya bahwa ia sudah menarik kesimpulan yang tepat. Dan, Mycoft juga beberapa kali memberikan kasus yang menarik untuk dikejakan oleh Sherlock, contohnya Penerjemah Bahasa Yunani.


Kisah terakhir buku di dalam buku ini merupakan cerita tentang akhir dari petualangan Sherlock Holmes. Di Kisah Penutup, dikisahkan bahwa Holmes melawan salah seorang penjahat elit dan paling hebat yang dapat menandingi kemampuan Holmes—Professor Moriarty.


Walau sempat mengecoh Professor Moriarty dan berhasil  lepas dari pengawasan pria tua licik itu—dengan bantuan Mycoft tentunya. Ia sempat hidup beberapa saat dalam persembunyian bersama dr. Watson dengan menganggap itu merupakan liburan mereka. Pada akhirnya, keberadaannya diketahui oleh Professor Moriarty saat ia sedang berjalan-jalan bersama dr. Watson di sekitar penginapan yang ia tempati.


Professor Moriarty mengirim sebuah catatan dengan menggunakan seorang bocah lelaki kecil untuk membuat dr. Watson menyingkir dari Sherlock. Sherlock menyadari hal tersebut dan tetap tetap meminta dr. Watson pergi. Ia tak ingin melibatkan teman baiknya di pertarungan yang mempertaruhkan nyawa. Saat dr. Watson menyadari itu merupakan jebakan, ia langsung kembali ke tempat Sherlock terakhir berada, tetapi tak menemukan siapa pun di sana selain tongkat milik Sherlock dan sebuah kotak korek api yang berisikan surat untuknya.


Begitulah akhir dari kisah detektif hebat itu. Ia mengorbankan nyawanya dan pergi bersama dengan penjahat kelas kakap agar London menjadi tempat yang damai. Namun, tak banyak dari masyarakat London yang mengetahui kebenaran tersebut.

 

Jujur, ini seri Sherlock Holmes pertama yang aku baca. Dan, aku suka. Kalau ditanya nilai untuk seri ini, boleh dibilang 9/10. Yap, setinggi itu karena aku suka. Dan dari seri ini, aku bakal bergerak ke seri-seri yang lainnya. (Jangan tanya kapan, karna aku juga pengen secepatnya.) Satu hal yang paling kusukai dari metode penyelidikan Sherlock adalah dia membuka semua kemungkinan, bergerak dengan menggunakan berbagai fakta yang ada. Dia juga seorang yang teliti dan pintar menganalisis. Sangat logis dan juga imajinatif.

p.s : Ini hanya penilaian pribadi aku. Bukan berdasarkan survey yang aku bikin dari temen-temen lainnya.




#jurnalhydramates
#jurnal_hm_desember
#jurnal_hm_minggu_ke1
#day14
#pojokbacaHydramates




Sebelumnya


Sore itu, ia menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berhenti sekolah. Ia bercerita, saat olimpiade waktu itu—tiga minggu sebelum ia memutuskan berhenti kuliah—Fikri datang menemuinya dan mengatakan bahwa ia ingin menjalin hubungan dengannya.

 

Liliana—yang memang pada saat itu menaruh rasa pada Fikri—langsung menyetujuinya tanpa pikir panjang. Di malam terakhir karantina, Fikri mengajaknya jalan-jalan. Liliana merasa bahwa itu merupakan hari paling bahagia untuknya hingga insiden itu terjadi. Fikri membawanya ke kelab dan mencekokinya alkohol.

 

Liliana yang memiliki toleransi rendah pada alkohol langsung mabuk. Kesempatan itu digunakan Fikri dengan baik. Fikri membawanya kembali ke hotel dan menidurinya. Satu minggu setelahnya, ia mengetahui fakta bahwa Fikri melakukan hal tersebut karena taruhan dengan teman-temannya. Tentu saja Fikri yang memenangkan taruhan tersebut. Ia bahkan member bonus video kepada teman-temannya.

 

Liliana marah dan kecewa, tetapi tak bisa melakukan apa-apa. Ia bahkan terlalu malu untuk menceritakan semuanya pada Bintang. Ia memilih bersikap biasa saja dan melupakan semuanya. Di saat ia hampir bangkit, hidupnya sekali lagi hancur. Ia mengetahui bahwa ia mengandung. Orang pertama yang mengetahui hal itu selain dirinya adalah dokter sekolah mereka.

 

Dokter tersebut melapor pada pihak sekolah. Selanjutnya, sudah bisa ditebak seperti apa jalan ceritanya. Ia diminta untuk memilih keluar sendiri atau dikeluarkan. Tentunya ia memilih pilihan yang aman, keluar dengan keinginannya sendiri. Setelah hari itu, ia meratapi nasibnya selama beberapa waktu. Kemudian, ia mencoba bangkit. Bekerja di sana sini demi mendapatkan uang untuk persalinan dan kehidupan sehari-harinya.

 

Dua tahun lalu, Fikri mendatanginya dan meminta maaf padanya. Sekaligus memberi kabar yang membuatnya hancur sekali lagi. Fikri mengatakan padanya bahwa pria itu mengidap HIV dan meminta gadis itu untuk sekalian memeriksakan dirinya. Liliana mengikuti saran pria itu demi meyakinkan bahwa dirinya serta sang buah hati baik-baik saja. Demi melakukan pengecekan penuh, ia meminjam uang pada tetangga-tetangganya.

 

“Hari itu, aku tahu kalau aku juga penderita. Selain HIV, ternyata aku mengidap kanker usus. Untungnya, Bulan bersih. Waktuku sudah gak lama lagi. Aku juga sudah mencoba mencari panti asuhan yang baik untuk Bulan,” tutup Liliana dengan senyum miris.

 

“Aku aja,” tawar Bintang impulsif.

 

Liliana menggeleng tegas. “Jangan merusak masa depan kamu demi Bulan, Tang. Aku sayang kamu, sama seperti aku sayang Bulan. Aku akan berusaha cari cara agar Bulan tetap bahagia dan nyaman meski aku gak ada.”

 

Bintang menggeleng tegas. “Gak! Aku bisa! Aku yang akan jaga Bulan gantiin kamu. Ya?” pinta Bintang. Ia tak akan mau kehilangan Liliana lagi, atau seminimalnya peninggalan Liliana. Ia pasti bisa merawat Bulan dengan baik. Dan hal itu tak akan merusak masa depannya.

 

“Jaga anak itu gak gampang, Tang. Walau Bulan anaknya penurut, tapi tetap aja susah,” jelas Liliana lembut. Ia sungguh tak ingin menyusahkan temannya. Liliana menarik napas panjang, mendadak napasnya terasa sesak dan perutnya terasa sakit. Sebuah ringisan pelan meluncur dari bibirnya.

 

Bintang panik. Ia menurunkan Bulan dari pangkuannya dan segera mendekati Liliana. Namun, gerakannya terhenti saat Liliana mengangkat tangannya dan menggeleng pelan. “Aku gak apa,” lirihnya dengan suara yang lemah dan serak. Seulas senyum ia tarik untuk menenangkan Bintang yang masih cemas.

 

Bulan sendiri sudah mendekati Liliana dan menggenggam tangan kurus itu. Kedua mata bulat dan besar itu menatapnya khawatir. “Mama, atit?” Tangan mungil itu menarik tangan kurus Liliana dan menggenggamnya pelan selama beberapa saat. Lalu gadis kecil itu meminta Liliana membungkukkan badannya dan langsung dituruti Liliana. Bulan langsung mengalungkan lengan mungilnya di leher Liliana.

 

Bintang tersenyum melihat interaksi hangat antara sahabatnya dengan putri kecilnya. Hari itu, kondisi Liliana memburuk dengan cepat. Ia menyadari bahwa selama Liliana bercerita, gadis itu menahan rasa sakit agar ia tak khawatir walau akhirnya ia ambruk juga.

 

Januari 2023

 

“Mami! Aku dapat ranking 1, lho!” pamer seorang bocah kecil sambil mengacungkan rapornya. Wajahnya berseri saat berlari menuju seorang wanita dewasa  yang mengenakan blazer hitam. Wanita itu berjongkok dan menyambutnya ke dalam pelukan hangat.

 

Bintang tersenyum lebar dan mengecup kening Bulan dengan sayang. “Bagus! Anak pintar! Ayo, hari ini kita mau kunjungi mama, ‘kan?”

 

Bulan mengangguk tegas. Hari ini merupakan hari peringatan Liliana. Berhubung Liliana memilih untuk dibakar dan abunya dilarung ke laut, setiap tahunnya, Bintang selalu mengajak Bulan untuk mengunjunginya. Liliana meninggalkan mereka tahun lalu, ia juga berhasil meyakinkan sahabatnya bahwa ia bisa menjaga Bulan dengan baik tanpa harus merusak masa depannya. Oleh karena itu, selama ia bersama dengan Liliana ia berusaha sekeras mungkin tamat dengan cepat dan mendapatkan pekerjaan yang baik.

 

Kini, ia berhasil. Ia tinggal bersama dengan Bulan dan mengadopsi Bulan secara resmi. Orang tuanya pun tak menolak Bulan—itu adalah bagian yang paling penting dan melegakan baginnya. Orang tuanya menyayangi Bulan seperti cucu mereka sendiri.

 

END


#jurnalhydramates
#jurnal_hm_desember
#jurnal_hm_minggu_ke1
#day12
#cerbung



Sebelumnya


“Ini!” Mata Bintang membelalak lebar dan tangannya bergerak menutup mulutnya saking tak percayanya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Mendadak, dadanya terasa sesak. Ia sangat mengesalkan mengapa Liliana sama sekali tak mengatakan apapun padanya. Padahal ia selalu menceritakan semua hal pada Liliana hingga hal sepele seperti ia melihat orang yang membuang ingus sembarangan.

 

“Lili!” bentak Bintang gemas membuat Liliana yang hendak menggendong bocah kecil berusia sekitar 4 tahun menegak dengan cepat.

 

Liliana berbalik dan menatap Bintang dengan mata terbelalak lebar. “Bin-Bintang?” serunya kaget. Kakinya melangkah mundur dengan pelan, setelah menilai situasi sejenak, Liliana membalikkan badannya dan langsung menyambar bocah kecil itu dan masuk ke dalam rumah. Namun, ia terlambat, Bintang lebih cepat darinya.

 

“Kamu mau ke mana?” tanya Bintang. Wajahnya mengeras melukiskan seberapa besar rasa kecewanya pada Liliana. Gadis yang sering mengatakan bahwa ia sahabatnya malah kabur—bukan hanya sekali, tetapi dua kali—setelah melihatnya. “Kenapa kabur terus? Memangnya aku hantu?” tanyanya tak terima.

 

Liliana menelan ludah gugup. “Bu-bukan kayak gitu,” sergah. Liliana menatap kakinya yang sedang ia tending-tendangkan ke lantai—kebiasaannya ketika cemas ataupun gugup. Bibir bawahnya ia gigit hingga merah.

 

“Kita kan sahabat, Li. Kamu bebas cerita apa aja ke aku,” ungkap Bintang pelan. “Aku bakal bantu kamu sebisa aku, kalau pun gak bisa. Setidaknya aku mau ngeringanin beban kamu dengan mendengar apa uneg-uneg kamu sekarang,” jelas Bintang mengungkapkan apa yang ia ingin ungkapkan sejak tahun lalu.

 

Air mata Liliana menetes mendengarnya. Isakan kecil pun mulai meluncur dari bibirnya. “Ini anakku.” Liliana memulai percakapan dengan menunjukkan wajah bocah kecil yang amat manis itu. Kedua matanya besar menatap polos dan penuh keingintahuan pada Bintang membuat kedua sudut bibir Bintang tertarik lebar. Pipinya yang tembam membuat siapa saja ingin mencoba menjawilnya barang sekali saja.

 

Bintang pun tak kuasa menahan keinginannya itu, disentuhnya pipi gembil itu dengan gemas. “Halo, Manis. Namanya siapa, Sayang?” tanyanya sembari mendekatkan wajahnya pada anak lucu itu.

 

Mata besar itu sempat melirik Liliana sebentar, lalu menatap Bintang kembali dengan perasaan ingin tahu. “Ulan,” ucapnya dengan suara cadelnya.

 

Kening Bintang berkerut dalam. Huh? Ulan? Bulan? Wulan? Mulan? Begitu banyak nama berputar di otak Bintang. Fokus Bintang terpecah ketika mendengar suara kekehan merdu yang amat sangat ia rindukan.

 

“Bulan. Namanya Bulan,” ujar Liliana setelah berhasil meredakan tawanya.

 

Bintang mendengkus sebal, tahu bahwa yang tengah menjadi objek tertawaan adalah dirinya. Sementara, Bulan menatap ibunya dengan padangan heran. “Kan wajar aku bingung. Coba kamu pikir, seberapa banyak nama anak cewek yang berakhir dengan Ulan?” sungut Bintang. Walau bersungut, gadis itu terlihat senang. Terbukti dengan senyum yang masih belum luntur dari wajahnya. Tangan putih mulusnya pun masih sibuk memainkan pipi gembil Bulan.

 

“Halo, Bulan. Kamu cantik, persis mama kamu,” pujinya sambil menoel-noel pipi Bulan dengan gemas. “Aku mau gendong,” gumam Bintang gemas.

 

Refleks, Bulan merentangkan kedua tangannya pada Bintang. Bintang sempat bingung sejenak, sebelum akhirnya menggendong Bulan karena Liliana menyerahkan bocah kecil itu padanya.

 

“Namanya Bulan karena aku selalu ingin merasa dekat sama kamu,” jelas Liliana tanpa diminta. “Waktu aku ikut olimpiade Fisika itu … Kak Fikri ….” Suara Liliana menghilang ditelan isak tangis.

 

Bintang mengulurkan tangannya yang bebas untuk menepuk pundak Liliana. Ia paham sekarang, rumor yang ia dengar di sekolah, bukan rumor semata. Rumor bahwa Liliana menggoda Fikri saat olimpiade Fisika dan berakhir hamil. Namun, pastinya kenyataannya berbeda dengan itu karena ia kenal dengan Liliana. Ia juga tahu bagaimana berengseknya Fikri.

 

“Fikri,” desis Bintang marah, “aku pasti bakal bikin perhitungan sama kamu,” lanjutnya lagi penuh dendam.

 

Liliana memegang lengan Bintang pelan membuat Bintang menatapnya gemas. Liliana menggeleng pelan. “Aku dengar, Kak Fikri kena HIV. Keadaannya semakin buruk karena dia juga nyentuh obat-obatan terlarang.”

 

Napas Bintang tercekat. “Jadi kamu?”

 

Liliana mengangguk pelan. Matanya menatap Bulan penuh kasih dan juga kesedihan. “Waktuku tak begitu banyak lagi,” ujar Liliana sambil lalu seolah hal tersebut bukanlah apa-apa.

 

Tangan Bintang terkepal kuat. Giginya bergemeletak kuat. Ia berjanji dalam hati, setidaknya ia harus melayangkan satu pukulan kuat di kepala Fikri kalau tidak bisa menghajarnya habis-habisan.

 

Liliana mengusap lengan Bintang lembut. Ditariknya masuk Bintang ke dalam rumah kontrakannya. Walau luarnya terlihat kotor, tetapi di dalamnya sangat nyaman dan juga bersih serta rapi, khas Liliana. Bintang memangku Bulan sembari memainkan rambut hitam legamnya yang masih pendek.



TBC


#day12
#jurnalHydramates
#cerbung




Sebelumnya


“Aku ....” Liliana menunduk, menatap kedua kakinya yang sedang ia sepak-sepakan ke atas lantai. Kedua jemarinya saling melilit cemas.

 

Di sebelahnya, Bintang memandanginya dengan gemas. Digenggamnya kedua jemari yang saling melilit itu dengan kedua tangannya hingga membuat Liliana mendongak dan menatapnya heran. Seulas senyum ditariknya lembut. Ia pun tak mengatakan apa seolah menunggu Liliana-lah yang memecah keheningan terlebih dahulu.

 

Senyum Bintang menular pada Liliana. Bahunya kini sudah tak setegang tadi. Kedua tangannya pun sudah berhenti saling melilit. Kakinya juga sudah berhenti menendang. Ia menatap Bintang, lalu menatap lurus ke depan; ke arah langit biru yang mulai berubah menjadi jingga.

 

“Aku—“ Liliana menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak. Kedua matanya mulai berkaca-kaca dan memerah dengan cepat. Liliana mendongak sebentar, mencegah kristal bening yang mulai mendesak turun. “Sepertinya aku harus berhenti sekolah,” ujarnya cepat dan sangat pelan, hampir menyerupai bisikan.

 

Namun, kalimat itu terdengar begitu jelas di telinga Bintang. Ia langsung menatap Liliana heran. Apa maksudnya itu? Setahunya, Liliana tak pernah memiliki masalah apapun. Ya, mungkin masalah biaya sekolah, tetapi itu selalu tertutupi dengan beasiswa prestasi yang diraih oleh gadis itu.

 

“Kenapa?” lirih Bintang lemah.

 

Liliana hanya mengangkat bahunya dan tersenyum tipis. “Begitulah,” desahnya pelan. “Itu terjadi begitu saja,” lanjutnya lagi dengan suara yang terdengar sangat jauh.

 

Kepala Bintang terasa kosong. Ia sungguh tak mengerti. Ia bahkan tak bisa mempercayai pendengarannya barusan. Akan tetapi, semua yang ia dengar adalah kebenarannya. Esoknya, ia tak menemukan Liliana di mana pun di sekolah itu. Bahkan, saat ia bertanya pada guru-guru pun, mereka hanya bisa menggeleng pelan dengan senyum miris yang melekat di wajah mereka.

 

Kekecewaan dan amarah menyelimutinya dengan cepat. Ia merasa dikhianati oleh Liliana karena gadis itu tak mengatakan apa-apa dan malah menghilang begitu saja. Pamit pun tak dilakukan oleh gadis itu.

 

Satu minggu penuh, ia mencari Liliana ke sana ke mari, bahkan sampai menyambangi rumahnya—yang ternyata sudah kosong entah sejak kapan. Bintang memilih untuk melanjutkan hidupnya dan mencari teman baru. Walau awalnya sulit, tetapi ia mulai terbiasa dan dengan cepat akrab dengan anak-anak yang lainnya.

 

@_@

 

Desember 2020

 

“Aku kan sudah bilang kalau aku bisa sendiri.”

 

Bintang berjengit mendengar suara bernada tinggi itu. Selang beberapa detik, ia langsung menoleh ke asal suara karena ia sangat mengenali suara tersebut. Tiga meter dari tempatnya berdiri, seorang gadis berpakaian lusuh dengan rambut dicepol asal-asalan tengah menyambar sebuah kantongan besar berwarna hitam dari tangan seorang pemuda.

 

“Lili?” desis Bintang kaget.

 

Gadis itu menoleh saat mendengar namanya didesiskan dengan nada penuh kerinduan. Wajahnya memutih saat melihat gadis seumurannya yang amat dikenalinya itu. Panik, ia pun meninggalkan semua barang dagangannya dan berlari menghindar.

 

“Lili!” teriak Bintang kaget melihat Liliana berlari menjauhinya. “Liliana!” panggilnya sekali lagi, tetapi sahabatnya itu terus berlari tanpa menoleh sama sekali. Beberapa kali, gadis itu menabrak orang dan berbalik serta membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf.

 

Napas Bintang terengah. Ia meraup oksigen sebanyak yang ia bisa sebelum lanjut menganyunkan kakinya dengan cepat menyusul Liliana—yang ia yakini juga merasa kelelahan. Setelah merasa pasokan oksigennya sudah cukup, Bintang melangkahkan kakinya mantap menyusuri arah yang sebelumnya dilalui oleh Liliana.

Kini, ia tak lagi memanggil gadis itu, ia hanya mengikuti gadis itu diam-diam. Beberapa menit yang lalu, ia mendapati Liliana menarik napas dengan terengah-engah sambil menatap sekeliling dengan was-was. Beruntung, tempat itu cukup ramai hingga ia tersembunyi di balik keramaian. Ia bisa melihat Liliana yang menolehkan kepalanya dengan heboh untuk mencari jejaknya dan saat tak menemukan jejaknya Liliana menarik napas lega.

 

Bintang tersenyum kecil. Liliana, temannya, masih sepolos dulu. Ia tak mau repot-repot untuk mengecek dengan benar jika sudah merasa yakin. Gadis itu cenderung ceroboh dan masa bodoh. Walau begitu, ia baik hati dan pintar makanya Bintang sangat menyayanginya.

 

Diam-diam membuntuti Liliana seperti ini membuat Bintang menyadari bahwa amarah dan kekecewaannya sejak 5 tahun lalu sudah habis terkikis begitu melihat wajah Liliana. Liliana yang keras kepala dan lebih menyukai mengerjakan semuanya sendiri walau kelimpungan sangat ia rindukan.

 

Sudah satu jam penuh Liliana berjalan menuju ke dalam gang-gang sempit di balik pasar. Semakin dalam Liliana berjalan, semakin kotor dan becek pula tempatnya. Walau Bintang tak menyukai sesuatu hal yang kotor, ia tetap membuntuti temannya itu tanpa memedulikan sepatu putihnya mulai menghitam dijilat lumpur.

 

“Ini!” seru Bintang tak percaya.

 



TBC

 

 

#day11
#jurnalHyramates
#cerbung