Yo! Biar gak bingung, baca part sebelumnya dulu, ya. Selamat Membaca!
“Saya rasa pembicaraan kita sudah lama selesai.” Zulfa
membuka percakapan dengan nada dingin dan ekspresi datar. Ia bahkan tak
repot-repot mempersilakan tamunya untuk masuk dan duduk di sofa. Apalagi untuk
menyediakan minum.
Wanita itu tak terpengaruh sama sekali. Berbeda dengan
beberapa malam yang lalu saat bertemu Zulfa dan memanggil seorang wanita tak
dikenal dengan sebutan mama. Kini ia terlihat tenang dan bisa mengontrol
emosinya.
Zulfa bersidekap. Ia menghentakkan kakinya tak sabar. Ia
ingin berkata kasar dan segera mendorong wanita itu keluar dari rumah. Akan
tetapi, ia takut neneknya melihatnya secara kebetulan. Maka dari itu, ia
berusaha menahan dirinya sebaik mungkin.
“Mama hanya datang untuk mengunjungi putriku. Mama hanya
ingin melihatnya. Apakah Mama tak diizinkan untuk melakukan hal itu?” tanya
wanita itu lesu. Mimiknya sendu. Matanya berkaca-kaca dan seulas senyum miris
terukir di wajahnya yang cantik.
Zulfa terbahak mendengarnya. Apa yang baru saja ia dengar?
Sepertinya ia memiliki masalah pendengaran dan perlu mengunjungi dokter THT. “Putri
Anda?” tanya Zulfa agak sinis.
Wanita itu mengangguk mantap. Ia melangkah maju selangkah
dan menatap Zulfa penuh kerinduan. Zulfa menyadari itu, tetapi ia tidak merasa
senang sama sekali. Ia malah merasa ngeri.
“Setahu saya, putri Anda sudah meninggal,” sinis Zulfa
seraya menatap tajam wanita itu tepat di manik matanya.
Wanita itu tetap tenang. Emosinya terkendali. Ia tak kaget
dan tak marah. Ia mengerti apa yang menyebabkan Zulfa mengatakan hal tersebut. Ya,
bisa dibilang putri kecilnya sudah mati di hari itu. Putri kecilnya yang manis.
Kini hanya ada putri kecilnya yang selalu menyimpan amarah dan dendam padanya.
“Mama minta maaf, Nak,” lirih wanita itu pelan. Sebulir
bening jatuh dari sudut matanya.
Sekali lagi, Zulfa terbahak dengan keras. “Maaf?” tanyanya
dengan nada tinggi. “Simpan saja maaf Anda. Maaf yang Anda sampaikan seribu
kali atau bahkan satu juta kali itu tak akan bisa mengembalikan Ayah saya.
Silakan pergi dari sini sebelum saya menyeret Anda keluar,” hardiknya murka.
“Zulfa! Kamu tidak boleh seperti itu, Sayang,” tegur Nayla
lembut. Ia yang tadinya hendak ke dapur, tak jadi karena melihat cucunya tengah
bersitegang dengan seseorang. Akan tetapi, ia tahu bagaimana sifat cucunya itu.
Jika ia bersitegang dengan seseorang, orang itu pastilah ‘dia’. Wanita yang
sudah melahirkan cucunya, Angela.
“Angela, sebaiknya kamu pulang dulu. Biarkan Zulfa tenang,
nanti baru kita bicarakan lagi, ya,” pinta Nayla lembut pada Angela.
Walau wanita itu ingin menggeleng, tetapi ia tahu ia tak
boleh begitu. “Iya, Ma. Nanti Angel balik lagi, ya. Angela pamit kalau gitu.
Lagian, bagi Angela udah cukup kalau udah lihat wajah juteknya Zulfa.” Sebuah
senyum tipis ia berikan pada Nayla.
Nayla mengangguk pelan mengantar kepergian Angela.
Selepasnya, ia menatap cucunya dengan sayang. Ia menarik Zulfa ke dalam
pelukannya. Ia tahu Zulfa sedang tidak baik-baik saja saat ini. Selalu seperti
ini, jika gadis itu bertemu dengan ibu kandungnya. Zulfa selalu akan kehilangan
arah.
Beberapa malam lalu juga, walau gadis itu tak cerita
padanya. Gadis itu menunjukkan tanda-tanda yang sama. Tubuh Zulfa bergetar
hebat. Napas gadis itu terengah-engah dan wajahnya pucat. Nayla menepuk pelan
punggung cucunya seraya mengelus rambutnya sayang.
“Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Bernapaslah dengan
benar,” pinta Nayla lembut.
Zulfa memejamkan matanya. Berbagai ingatan buruk masa
kecilnya saling bertumpang tinding. Teriakan, tangisan, dan erangan kesakitan
memekakkan telinganya. Zulfa melenguh pelan. Kepalanya terasa amat sangat sakit
seolah baru saja dihantam oleh palu raksasa. Ia merasakan jantungnya seolah
diremas oleh tak kasat mata. Tubuhnya perlahan semakin lemas hingga ia menyerah
pada rasa sakit dan takut itu.
“Zulfa!” seru Nayla panik. Beberapa anak yang memang sedari
tadi mengintip dari balik tembok berhamburan keluar.
“Permi—“ Sapaan itu terputus saat melihat orang yang
dicarinya terkulai lemas di pelukan seorang nenek-nenek serta dikelilingi oleh
beberapa anak kecil berbagai usia. Noah berjalan cepat menuju tempat gadis itu
dan langsung mengangkat tubuhnya.
“Mari, Nek. Biar saya bantu antar ke rumah sakit.” Noah
berbalik menuju pintu keluar. Akan tetapi, bajunya ditarik oleh adik-adik
Zulfa. Noah berbalik dan menatap anak-anak itu dengan padangan heran.
“Om, mau bawa Kak Zulfa ke mana?” tanya Rangga penuh curiga.
“Rumah sakit,” jawab Noah singkat, lalu berbalik lagi.
Namun, lagi-lagi langkahnya harus terhenti karena Rangga menghadangnya.
Bocah kecil yang berusia 14 tahun itu merentangkan tangannya
lebar-lebar dan menatap Noah tajam. Nayla yang melihat itu segera
menginterupsi. “Maaf, boleh tolong bawa Zulfa ke kamarnya saja?” tanyanya
lembut.
Alis Noah berkerut tak mengerti. Nayla tersenyum lembut. “Tak
apa. Tolong bawa Zulfa ke kamarnya saja. Dia hanya perlu istirahat. Bukan
masalah besar,” jelas Nayla tak mengungkapkan seluruhnya.
Noah mengangguk pelan. Walau ia tak kenal nenek yang ada di
hadapannya, tetapi satu hal yang ia tahu. Wanita tua itu merupakan nenek
kesayangan Zulfa. Keluarga kandung Zulfa satu-satunya. Dan ia yakin wanita itu
pasti lebih apa yang harus dilakukan dengan Zulfa saat ini.
“Terkadang, Zulfa memang akan seperti ini. Beberapa hari
yang lalu, setelah pulang bekerja. Ia juga seperti ini. Penyebabnya hanya satu,”
ungkap Nayla muram. Mimiknya menggelap begitu netranya menatap Zulfa yang tak
sadarkan diri.
“Kalau saya tidak salah. Anda adalah pemuda yang
mengantarkan Zulfa pulang beberapa malam yang lalu, ‘kan?” tanya Nayla sembari
tersenyum sopan. Ia menggiring pemuda itu keluar dari kamar Zulfa dan menuju
ruang tamu.
“Ya, Nek. Itu saya. Kalau boleh tahu, Zulfa sakit apa, ya?”
tanya Noah hati-hati tanpa mengabaikan sopan santun.
“Nenek tak bisa menceritakan cerita lengkapnya padamu. Hanya
Zulfa yang bisa menceritakannya. Itu adalah privasi miliknya dan nenek tak
boleh melanggarnya. Dia memang akan selalu seperti itu setelah bertemu dengan
ibu kandungnya,” ucap Nayla sembari tersenyum sendu. Mata itu menyimpan begitu
banyak kepedihan hingga Noah tak sanggup untuk mengajukan pertanyaan lebih
lanjut.
Beberapa saat berlalu, keduanya sudah berbincang santai
mengenai hubungan Zulfa dengan Noah. Dan juga bagaimana kelakuan Zulfa selama
berada di kantor. Mereka ditemani oleh secangkir teh hangan dan beberapa kukis
yang dipanggang oleh Zulfa pagi tadi.
0 comments:
Posting Komentar