Sam menghela napas panjang saat melihat mobil sedan berwarna
hitam terparkir di depan gerbang sekolah. Sepertinya ibunya sudah
mendaftarkannya ke les tersebut dan Pak Tono yang diminta untuk mengantarnya.
Ia menatap teman-temannya penuh sesal.
“Sorry, Guys. Kayaknya gue harus pergi buat les
sekarang,” ujarnya sambil berjalan menghadap belakang.
“Kayak bocah aja lo ngeles,” ejek salah seorang temannya
berambut cepak.
“Iya, nih! Lo udah pinter juga. Perlu banget les?” tanya si
pemuda yang hanya memakai kaos dalam tanpa lengan.
“Wah! Rese lo, Sam! Lo pengen sepintar apa sih?” gerutu
teman sebangkunya.
Sam hanya tertawa mendengar ejekan serta gerutuan
teman-temannya. Ia pun melambaikan tangannya dan segera berlari menuju mobil.
Di dalam mobil, ia menyapa Tono dengan ramah. Mereka berdua pun berangkat
sembari terlibat dalam percakapan seru mengenai mobil dan beberapa hal sepele
lainnya.
**
Tanpa terasa, satu tahun telah berlalu. Kini, tibalah
pengumuman penerimaan beasiswa yang diajukan oleh Sam. Dalam hati, ia
berharap-harap cemas sembari mengecek emailnya. Ia memejamkan matanya sejenak
sembari menggenggam kuat tetikus miliknya.
“Apa-apaan ini, Sam?!” hardik Arland membuat Sam kaget
setengah mati.
Arland membanting sebuah tablet ke hadapan Sam. Di sana
terbuka sebuah email dari Oxford University yang menyatakan bahwa ia berhasil
meraih beasiswa sebagai mahasiswa di fakultas arsitektur. Matanya sempat
berbinar senang sebelum sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya.
“Dasar anak tidak tahu diri!” maki Arland gusar. Ia tak
sanggup menahan amarahnya saat ia mengecek email putra satu-satunya untuk
mengetahui apakah putranya lolos masuk sebagai mahasiwa penerima beasiswa di
Harvard ataukah tidak, tetapi ia malah menemukan email dari sebuah universitas
dengan jurusan yang tak ia kehendaki.
“Bukankah itu artinya aku berhasil menerima beasiswa? Apa
yang salah dariku setelah berhasil meraih beasiswa di Oxford?” tanya Sam tak
mengerti.
Arland mengangkat tangannya tinggi. “Kamu masih tanya?! Kamu
masih berani tanya?!” hardik Arland penuh emosi seolah tak habis pikir. “Apa
maksudmu ini? Hah?! Kamu ingin membangkang padaku?!”
Sam menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia
sudah kehabisan kata-kata untuk melawan. Ia bahkan tak bermaksud membangkang
sama sekali. Ia hanya iseng ingin mendaftar jurusan yang ia inginkan dan bahkan
jadwal tesnya juga tak bentrok sama sekali dengan tes dari Harvard University.
Ia melakukan kedua tes itu sebaik yang ia bisa dan ia juga merasa yakin dengan
kedua tes itu.
“Terserah Papa saja,” ujarnya pasrah.
Darah Arland mendidih hingga ke ubun-ubun. Ia mengangkat
tangannya dan menghantamkannya berulang kali ke tubuh Sam, tak peduli bahwa
putra semata wayangnya sudah mulai memiliki beberapa memar di bagian wajahnya.
Ia masih tetap melayangkan pukulan demi pukulan hingga amarahnya mereda. Dan
bertepatan amarahnya mereda, putranya sudah meringkuk lemas di bawah kakinya.
Napas pemuda itu terengah dan hampir putus. Darah mengalir dari sudut bibirnya
yang sobek dan juga beberapa luka gores di wajahnya.
Setelah puas, Arland meninggalkan putranya yang sedang meringkuk
menyedihkan. Tak lupa membanting pintu untuk meluapkan amarah terakhirnya.
Sam berusaha duduk dengan susah payah. Sebuah kekehan kecil meluncur dari
bibirnya yang sobek, tak ia pedulikan rasa sakit yang menyerang setiap inci
tubuhnya.
Lama-lama, kekehan itu berubah menjadi tawa miris. Kedua
bahunya berguncang hebat. Tangannya sedikit gemetar saat ia meraih tablet
tersebut. Ia keluar dari email yang menjadi sumber amarah sang ayah dan matanya
langsung terpaku pada email baru yang belum dibuka dari Harvard University.
Cepat-cepat dibukanya email tersebut.
Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk seringaian lebar
setelah ia membaca sederetan kata yang berisikan informasi bahwa ia diterima
sebagai mahasiswa penerima beasiswa penuh di sana. Sekali lagi, tawa histeris
meluncur dari bibirnya. “Berhasil! Gue berhasil,” ringisnya histeris. Namun,
histeria itu tak berlangsung lama karena ia segera berlari ke balkon begitu
mendengar mobil sang ayah hendak keluar rumah.
“Pak Tono! Cegat!” teriaknya heboh membuat Tono secara
refleks melakukan perintah tersebut. Arland yang masih emosi pun semakin
tersulut. Ia turun dari mobil dengan tampang kesal. Sam mengangkat tablet
tersebut tinggi-tinggi sambil berteriak, “Berhasil, Pa. Berhasil.”
Arland yang tak begitu mengerti dengan maksud ucapan
putranya mendengkus sebal. Tahu bahwa sang ayah tak mengerti dengan maksudnya,
Sam pun buru-buru menjelaskan, “Aku berhasil raih beasiswa di Harvard jurusan
Bisnis.”
Perlahan, wajah Arland melunak. Seukir senyum bangga
diperlihatkan pada Sam. “Itu baru anakku,” ujarnya bangga. Ia lalu menatap ke
arah Tono sambil tersenyum bangga. Namun, ekspresi Pak Tono yang menatap ngeri
pada balkon Sam membuatnya heran. Begitu ia berbalik, ia mendengar suara ‘bruk’
yang cukup keras disusul dengan teriakan Tono yang memanggil putranya dengan
begitu histeris.
“Den Sam!” Tono segera berlari menghampiri tubuh Sam yang
sudah bersimbah darah. Kepala pemuda itu pecah akibat menghantam batu besar
yang sengaja ditaruh di taman—yang berada tepat di bawah balkon kamarnya—sebagai
hiasan. Tono jatuh terduduk saat menyadari bahwa putra dari majikannya sudah
meregang nyawa. Sementara itu, Arland hanya bisa terpaku di tempatnya berdiri.
#day7
#JurnalHydramtes
#cerpen
0 comments:
Posting Komentar