Desember 2015

 

Liliana berlari sekuat tenaga menembus lautan manusia yang ada di depannya agar bisa mencapai kelasnya tepat waktu. Beruntung ia memiliki tubuh kecil dan ramping sehingga ia bisa menyelip kerumunan dengan mudahnya. Walau beberapa kali ia harus menggumamkan kata maaf akibat menabrak orang, tetapi ia tidak terjebak di antaranya.

 

“Liliana Valerie!”

 

Liliana segera menerobos masuk ke dalam kelas dan menundukkan kepala sebagai tanda permintaan maafnya pada sang guru. “Maaf, Bu. Saya terlambat.”

 

“Ya sudah! Duduk sana!” titah guru wanita itu tegas. Setelah membungkukkan badan sekali lagi, Liliana segera ngacir ke tempat duduknya.

 

Bintang menyenggol lengan Liliana pelan. “Lo kenapa bisa telat, sih?” bisiknya heran. Tak biasanya sahabatnya itu terlambat masuk kelas.

 

Liliana mengatur napasnya sejenak dan hanya memberikan senyum tipis pada Bintang. Ia lalu kembali menekuri buku bahasa Indonesia yang sudah ia buka dan mencatat semua penjelasan dari Dita—guru bahasa Indonesia-nya.

 

Di saat jam istirahat berbunyi, Liliana terlebih dahulu kabur meninggalkan Bintang yang sedang membereskan peralatan tulisnya. Gadis itu mengambil langkah cepat menuju perpustakaan—tempat yang paling dihindari oleh Bintang.

 

Di dalam, Liliana segera berjalan menuju rak buku tempat buku pengetahuan umum berada dan langsung menyambar satu buku secara acak. Kakinya terus melangkah menuju pojok perpustakaan. Hanya dalam waktu satu menit penuh, ia sudah larut dalam bacaannya. Ternyata buku yang ia ambil menceritakan tentang sejarah bumi.

 

“Ah, ternyata karna ini ya Bumi miring dan Bulan itu ada?” gumam Liliana kagum.

 

“Wah! Karna apa tuh?” tanya sebuah suara ingin tahu.

 

Tanpa menoleh, Liliana menjawab berdasarkan apa yang baru saja ia baca tadi. “Ini ... di sini dibilang kalau kemiringan bumi dan bulan terbentuk karna terjadinya tabrakan besar, sih. Tabrakan antara Bumi dengan sebuah benda seukuran planet Mars yang disebut dengan Theia.” Liliana terdiam sejenak lantaran merasa ada yang aneh. Ia merasa familiar dengan suara yang barusan bertanya padanya.

 

Kepala Liliana menoleh ke asal suara. Matanya membulat sempurna dan ia hampir saja tersedak ludahnya sendiri. Bintang tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya di depan wajah Liliana.

 

“Jadi? Gimana tadi?” tanya Bintang dengan nada manis.

 

Liliana tersenyum kikuk. Habis sudah! Ia tak dapat mengelak lagi. Akhirnya, ia pun menyerah dan mengembalikan buku tersebut ke tempatnya, lalu menggiring Bintang keluar dari sana. “Kita ke tempat yang sepi baru bicara,” bisiknya sembari melihat situasi sekitar.

 

Bintang menghela napas panjang. Padahal di sekitar mereka sudah jarang terlihat orang berlalu lalang. Mau sesepi apa tempat yang dikehendaki Liliana? Walau begitu, ia tak banyak protes dan hanya mengekori gadis itu saja.

 

Liliana menggiring Bintang menuju atap sekolah—yang terlarang untuk dimasuki siapapun—diam-diam. Awalnya, Bintang hendak menolak, tetapi rasa penasaran membuat kalah dengan ketakutannya. Kini, mereka berdiri bersisian sambil menatap ke bawah sana. Angin sepoi-sepoi menerbangkan anak rambut mereka yang tak terikat. Walau matahari terik di atas sana, di sini tak begitu panas dengan adanya embusan angin.

 

Lima belas menit penuh sudah keduanya berdiri di sana tanpa ada yang berniat memecah keheningan tersebut. Liliana menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Kedua jemarinya saling memilin cemas. “Aku ...,” lirihnya dengan suara kecil bahkan bisa dikatakan seperti berbisik.

 

Bintang melirik temannya sekilas. Ia tak menoleh secara penuh pada gadis itu karena ia khawatir jika ditatap dengan penuh penasaran, Liliana tak akan melanjutkan perkataannya lagi. Maka dari itu ia berusaha sebisa mungkin untuk tak menaruh perhatian penuh pada temannya.

 

TBC

 

#day10
#jurnalHydramates
#cerbung 

 

 

 

Menurut Wikipedia, emosi adalah perasaan intens yang ditunjukkan kepada seseorang atau sesuatu. Emosi dapat berupa perasaan senang, marah, ataupun takut.

 

Terdapat berbagai cara untuk menunjukkan emosi seseorang. Entah itu dengan menunjukkannya secara langsung ataupun tidak. Misalnya ketika sedang marah, orang tersebut akan membanting barang-barang, memukul sesuatu, atau berteriak keras. Ketika sedang sedih, orang-orang akan menunjukkannya dengan cara menangis.  Ketika sedang senang akan ditunjukkan dengan cara bersorak-sorak.

 

Akan tetapi, bagaimana dengan orang-orang yang tak pintar menunjukkan emosinya? Tentunya, mereka akan menahan, lalu mengubur emosi tersebut. Bertindak seolah-olah semua baik-baik saja dan terkedali. Namun, emosi yang ditumpuk terlalu lama tak baik untuk kesehatan, terutama kesehatan mental.

 

Sebenarnya, ada banyak cara untuk menuangkan emosi tersebut. Salah satunya adalah dengan menulis. Menulis bisa membuat perasaan seseorang menjadi lebih lega. Jika tak ingin tulisannya dibaca oleh orang banyak, ia bisa menulis dalam buku diary. Namun, ketika ingin tulisannya dibaca oleh khalayak. Ia bisa menulis lalu mengunggahnya di media.

 

Ketika merasa sedih, seseorang bisa menulis puisi ataupun cerita yang sesuai dengan perasaannya. Ia bebas mengekspresikan seluruh emosinya dalam bentuk tulisan. Baik itu tulisan fiksi, maupun non-fiksi. Tulisan non-fiksi yang bisa ditulis dapat berupa curhatan. Sedangkan tulisan fiksi dapat berupa cerpen ataupun novel.

 

Ketika kita sedang merasa tak adil dengan keadaan kita sekarang, lalu kita ingin membuat perasaan kita lebih baik. Akan tetapi, kita tak bisa menyampaikannya pada seseorang karena takut diremehkan. Maka menulis merupakan satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan.

 

Apalagi, mengingat sekarang sangatlah mudah bagi kita untuk menulis dan mengunggah tulisan tersebut. Kita bisa menulis dengan bebas di blog pribadi. Banyak orang yang melakukan hal tersebut. Entah itu untuk memberitahu pengalaman mereka ataupun untuk memberitahukan bagaimana perasaan mereka.

 

Tulisan fiksi juga dapat dibuat untuk meringankan perasaan. Contohnya, ketika kita merasa keadaan kita sedang buruk. Kita dapat menuliskan cerita di mana kita merupakan tokoh utama dan merancang semuanya sesuai dengan harapan kita.

 

Saat sedang marah, kita juga bisa melakukan hal yang sama. Kita bisa menulis sebuah cerita di mana kita tengah melampiaskan amarah tersebut pada orang yang bersangkutan. Atau bisa juga sebaliknya, ketika sedang marah. Kita bisa menuliskan sesuatu yang manis sehingga membuat kita merasa bahagia.

 

Ketika kita merasa gelisah atau gundah, kita juga bisa menulis. Dengan menulis, kita bisa melihat hal-hal lebih jauh lagi sehingga kemungkinan untuk kita melihat suatu masalah dari sudut pandang lainnya menjadi lebih besar. Dan kemungkinan kita untuk mencari jawabannya pun lebih besar.

 

 

 

Walau begitu, tak semua tulisan pantas untuk diunggah ke media massa. Beberapa di antaranya adalah tulisan yang berisi dengan ujaran kebencian atau tulisan-tulisan yang bertujuan untuk menjatuhkan seseorang. Maka dari itu, bijaklah dalam memilih tulisan yang hendak diunggah.


#jurnal9
#jurnalHydramates
#curhatgajelas

 Yo, Gengs! Balik lagi sama aku. Yap, kali ini dengan tampilan yang baru kan ya? Sejujurnya tadi aku lagi iseng, terus aku cari template baru, tentu aja cari yang free (maklum, aku kaum misqueen).


Evonne 

Template ini namanya Evonne.  Nah, aku dapat dari hasil menyelam di si mbah. Lalu, dapat rekomendasi deh dari Colorlib. Nah, template ini harus di-download dulu ke perangkat kalian, terus habis itu baru deh bisa dipasang ke blog.

Di sana emang cuma ada template Evonne, ya? Oh, jelas tidak! Tenang! Masih banyak template jenis lain kok, jadi santai aja nah. Kalian tinggal pilih mana yang menurut kalian lebih cocok sama kalian.

Cara memasang

Habis download template-nya, terus mau diapain dong? Diliat aja? Ya, enggak lah! Habis download template-nya ya pasang. Bingung caranya gimana? Sini aku bisikin.
  1. Buka blogger kamu
  2. Masuk ke bagian Tema
  3. Lihat di bagian Tema Saya
  4. Klik tanda panah ke bawah, lalu pilih Pulihkan. Nah, di bagian pulihkan, nanti kalian tinggal pilih deh template yang sudah kalian download tadi. Tapi, pilihnya yang extension .xml, ya.
  5. Selesai deh.


Simpel 'kan cara masangnya? Kalau gitu, yuk diganti. Untuk printilan lainnya, bisa diganti sesuka hati, kok. Yang ini sih aku masih kurang tahu caranya, tapi tadi aku sempat ganti link di button facebook, twitter, dan instagram lewat coding hmtl. Pengen tahu caranya? Mungkin nanti bakal kukasih tahu setelah yang ini. Cuma, ya, setelah aku pelajari, ya. Semoga bermanfaat.
Oh, iya, bagi yang masih bingung apakah template ini baru bisa digunakan kalau blognya sudah TLD. Jawabannya gak, kok. Buktinya aku bisa pakai, nih.


#day8
#jurnalHydra

 Sebelumnya

Sam menghela napas panjang saat melihat mobil sedan berwarna hitam terparkir di depan gerbang sekolah. Sepertinya ibunya sudah mendaftarkannya ke les tersebut dan Pak Tono yang diminta untuk mengantarnya. Ia menatap teman-temannya penuh sesal.

Sorry, Guys. Kayaknya gue harus pergi buat les sekarang,” ujarnya sambil berjalan menghadap belakang.

“Kayak bocah aja lo ngeles,” ejek salah seorang temannya berambut cepak.

“Iya, nih! Lo udah pinter juga. Perlu banget les?” tanya si pemuda yang hanya memakai kaos dalam tanpa lengan.

“Wah! Rese lo, Sam! Lo pengen sepintar apa sih?” gerutu teman sebangkunya.

Sam hanya tertawa mendengar ejekan serta gerutuan teman-temannya. Ia pun melambaikan tangannya dan segera berlari menuju mobil. Di dalam mobil, ia menyapa Tono dengan ramah. Mereka berdua pun berangkat sembari terlibat dalam percakapan seru mengenai mobil dan beberapa hal sepele lainnya.

**

Tanpa terasa, satu tahun telah berlalu. Kini, tibalah pengumuman penerimaan beasiswa yang diajukan oleh Sam. Dalam hati, ia berharap-harap cemas sembari mengecek emailnya. Ia memejamkan matanya sejenak sembari menggenggam kuat tetikus miliknya.

“Apa-apaan ini, Sam?!” hardik Arland membuat Sam kaget setengah mati.

Arland membanting sebuah tablet ke hadapan Sam. Di sana terbuka sebuah email dari Oxford University yang menyatakan bahwa ia berhasil meraih beasiswa sebagai mahasiswa di fakultas arsitektur. Matanya sempat berbinar senang sebelum sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya.

“Dasar anak tidak tahu diri!” maki Arland gusar. Ia tak sanggup menahan amarahnya saat ia mengecek email putra satu-satunya untuk mengetahui apakah putranya lolos masuk sebagai mahasiwa penerima beasiswa di Harvard ataukah tidak, tetapi ia malah menemukan email dari sebuah universitas dengan jurusan yang tak ia kehendaki.

“Bukankah itu artinya aku berhasil menerima beasiswa? Apa yang salah dariku setelah berhasil meraih beasiswa di Oxford?” tanya Sam tak mengerti.

Arland mengangkat tangannya tinggi. “Kamu masih tanya?! Kamu masih berani tanya?!” hardik Arland penuh emosi seolah tak habis pikir. “Apa maksudmu ini? Hah?! Kamu ingin membangkang padaku?!”

Sam menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia sudah kehabisan kata-kata untuk melawan. Ia bahkan tak bermaksud membangkang sama sekali. Ia hanya iseng ingin mendaftar jurusan yang ia inginkan dan bahkan jadwal tesnya juga tak bentrok sama sekali dengan tes dari Harvard University. Ia melakukan kedua tes itu sebaik yang ia bisa dan ia juga merasa yakin dengan kedua tes itu.

“Terserah Papa saja,” ujarnya pasrah.

Darah Arland mendidih hingga ke ubun-ubun. Ia mengangkat tangannya dan menghantamkannya berulang kali ke tubuh Sam, tak peduli bahwa putra semata wayangnya sudah mulai memiliki beberapa memar di bagian wajahnya. Ia masih tetap melayangkan pukulan demi pukulan hingga amarahnya mereda. Dan bertepatan amarahnya mereda, putranya sudah meringkuk lemas di bawah kakinya. Napas pemuda itu terengah dan hampir putus. Darah mengalir dari sudut bibirnya yang sobek dan juga beberapa luka gores di wajahnya.

Setelah puas, Arland meninggalkan putranya yang sedang meringkuk menyedihkan. Tak lupa membanting pintu untuk meluapkan amarah terakhirnya. Sam berusaha duduk dengan susah payah. Sebuah kekehan kecil meluncur dari bibirnya yang sobek, tak ia pedulikan rasa sakit yang menyerang setiap inci tubuhnya.

Lama-lama, kekehan itu berubah menjadi tawa miris. Kedua bahunya berguncang hebat. Tangannya sedikit gemetar saat ia meraih tablet tersebut. Ia keluar dari email yang menjadi sumber amarah sang ayah dan matanya langsung terpaku pada email baru yang belum dibuka dari Harvard University. Cepat-cepat dibukanya email tersebut.

Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk seringaian lebar setelah ia membaca sederetan kata yang berisikan informasi bahwa ia diterima sebagai mahasiswa penerima beasiswa penuh di sana. Sekali lagi, tawa histeris meluncur dari bibirnya. “Berhasil! Gue berhasil,” ringisnya histeris. Namun, histeria itu tak berlangsung lama karena ia segera berlari ke balkon begitu mendengar mobil sang ayah hendak keluar rumah.

“Pak Tono! Cegat!” teriaknya heboh membuat Tono secara refleks melakukan perintah tersebut. Arland yang masih emosi pun semakin tersulut. Ia turun dari mobil dengan tampang kesal. Sam mengangkat tablet tersebut tinggi-tinggi sambil berteriak, “Berhasil, Pa. Berhasil.”

Arland yang tak begitu mengerti dengan maksud ucapan putranya mendengkus sebal. Tahu bahwa sang ayah tak mengerti dengan maksudnya, Sam pun buru-buru menjelaskan, “Aku berhasil raih beasiswa di Harvard jurusan Bisnis.”

Perlahan, wajah Arland melunak. Seukir senyum bangga diperlihatkan pada Sam. “Itu baru anakku,” ujarnya bangga. Ia lalu menatap ke arah Tono sambil tersenyum bangga. Namun, ekspresi Pak Tono yang menatap ngeri pada balkon Sam membuatnya heran. Begitu ia berbalik, ia mendengar suara ‘bruk’ yang cukup keras disusul dengan teriakan Tono yang memanggil putranya dengan begitu histeris.

“Den Sam!” Tono segera berlari menghampiri tubuh Sam yang sudah bersimbah darah. Kepala pemuda itu pecah akibat menghantam batu besar yang sengaja ditaruh di taman—yang berada tepat di bawah balkon kamarnya—sebagai hiasan. Tono jatuh terduduk saat menyadari bahwa putra dari majikannya sudah meregang nyawa. Sementara itu, Arland hanya bisa terpaku di tempatnya berdiri.

 

END


#day7
#JurnalHydramtes
#cerpen

Seorang pemuda berjalan dengan langkah terseok-seok. Kepalanya tertundu. Matanya terpaku pada tanah aspal yang tengah ia lewati. Kedua bahunya merosot turun bak prajurit yang baru saja pulang dengan kekalahan di medan perang.

“Hei, Sam,” tegur seorang pemuda berwajah sangar.

Sam—pemuda itu—mengangkat kepalanya. Tak lupa ia sungingkan senyum ramah. “Hei, Lan! Baru balik?” tanyanya dengan nada ringan.

Alan mengangguk tegas—sekali. “Iya, nih. Capek banget. Lo harus rasain capeknya jadi mahasiswa,” keluh pemuda yang hampir menginjak usia dua puluh itu. Jelas sekali kelelahan yang terselip di setiap nada dari kata yang ia ucapkan.

“Tapi seru, ‘kan?” ledek Sam sembari menaik turunkan alisnya. Melihat Alan yang tak menjawab dan hanya bisa menyeringai. Sam pun menyemburkan tawa. Tawa yang menular hingga Alan pun ikut tertawa bersamanya.

“Udah, ah! Gue mau balik, nih. Lo juga balik, gih. Lo bau asem. Pasti tadi gak mandi dulu di sekolah,” ejek Alan sembari menganyunkan langkah cepat meninggalkan Sam yang memaki pelan.

Sepeninggal Alan, Sam kembali berjalan dengan malas menuju ke rumahnya. Langkahnya terhenti di depan gerbang hitam sebuah rumah besar nan mewah. Tak lama kemudian, seorang pria berusia empat puluhan keluar dengan tergopoh-gopoh. “Lho? Den? Kenapa gak minta dijemput aja tadi?” tanyanya cemas.

Sam tersenyum singkat dan menggeleng pelan. “Gak perlu, Pak. Lagian sekolah sama rumah juga lumayan dekat. Tadi temen aku nganterin sampai depan komplek, kok,” bohong Sam sambil tersenyum ringan. Ia sengaja berjalan kaki dari sekolah ke rumahnya demi mengulur waktu sampai ke rumah. Rumah besar nan mewah yang membuat orang lain merasa iri sekaligus kagum, tetapi malah membuatnya merasa sesak.

Tanpa banyak kata lagi, didorongnya pintu kayu dengan ukiran unik itu ringan. Belum sempat kakinya mengayun masuk, terdengar hardikan seorang pria paruh baya. “Kamu dari mana saja? Habis main bola lagi?!”

Sam meringis mendengarnya. “Maaf, Pa. Hari ini sekolah sedang ada pertandingan, tapi teman yang seharusnya ikut bertanding mengalami cedera. Jadi Sam gantiin dia main,” jelasnya setenang mungkin.

“Apa gunanya tanding sepak bola?! Seharusnya kamu pulang! Belajar biar kamu berhasil ambil beasiswa di jurusan bisnis di Harvard University. Apa dengan bermain bola kamu bisa masuk ke sana? Hah?!” omel sang ayah.

Sam menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan tanpa kentara. Ia pun menundukkan kepalanya, menolak melihat wajah sang ayah yang merah padam akibat amarah. Di leher dan juga pelipisnya, urat-uratnya tercetak dengan jelas. Dalam hatinya, ia berharap bahwa ini akan cepat selesai. Rasa senang akibat kemenangannya tadi telah menguap tanpa bekas sekarang. Ia lelah dan harus cepat istirahat.

“Pa, sudahlah!” seorang wanita cantik berusia awal empat puluhan mengusap lengan suaminya lembut. Matanya menatap putranya tegas. “Sam, kamu naik dan mandilah. Lalu, makan. Setelah itu kamu harus belajar.”

Sam mengangguk patuh. Ia segera melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya di atas. Tanpa mengistirahatkan tubuhnya sama sekali, ia menyambar handuk bersih dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Setelah tubuh serta otak dan hatinya dingin, ia mematikan keran dan mengeringkan tubuhnya.

Saat turun menuju meja makan, ia melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja makan. Ditariknya kursi yang berada di hadapan sang ibu dan duduk tanpa mengeluarkan suara apa pun. Ia menyendokkan nasi ke dalam piringnya dan mengambil lauk, lalu makan dalam diam.

“Sam, bagaimana kalau kamu juga ikut les intensif seperti anak-anak teman Mama?” ujar Sophie memecah keheningan di meja makan tersebut.

Arland berdeham beberapa kali. “Sepertinya itu ide bagus. Dia lebih baik ikut les daripada bermain bola terus-terusan,” ujar Arland puas. “Sebaiknya kamu langsung daftarkan saja dia agar besok siang dia sudah bisa mulai les,” putus Arland tanpa merasa perlu menanyakan pendapat Sam.

Tangan kiri Sam yang berada di bawah meja terkepal. Ia mempercepat kunyahan nasinya yang tiba-tiba terasa hambar. “Terserah mama sama papa saja,” ujarnya sebelum mengangkat kakinya dari meja makan. “Aku naik dulu, mau belajar,” pamitnya sebelum Arland menyemburkan amarahnya.

Sesampainya di kamar, Sam menghela napas gusar. “Apa aku tak berhak berpendapat? Ini hidupku atau hidup mereka?” dengus pemuda itu sebal. Ia kemudian mengambil buku tes-tes masuk perguruan tinggi dan memfokuskan dirinya pada soal-soal tersebut.


TBC


#day6
#Jurnal Hydramates
#cerpen

 Yo, Gengs! Apa kabar kalian? Sebelum memulai postingan kali ini, aku mau tanya dong. Ada yang tahu webtoon gak? Ada dong ya pastinya. Itu, tuh. Aplikasi buat baca manhwa secara online. Nah, terus kalau udah tahu gimana? Ya, gak gimana-gimana, sih. Pada tahu webtoon yang judulnya "My Deepest Secret" gak? Tahu dong, ya. Kalau gak, buruan cari tahu. Menurutku, cerita ini recommended banget, deh. Beneran.

My Deepest Secret karya Hanza
Sumber : ss from webtoon



Judul                     : My Deepest Secret
Author                  : Hanza
Status                   : Completed
Platform                : Webtoon
Bahasa                  : Inggris
Genre                    : Thriller

 

Di season satu, cerita ini mengisahkan tentang Emma Wilson yang merasa kurang percaya diri karena mempunyai pacar yang sangat hebat—Elios. Diceritakan bahwa Elios ini adalah pemuda yang sungguh manis dan sangat menyayangi Emma. Selain itu, pemuda yang sangat memperhatikan pacarnya ini pun sangat tampan serta pintar.

Kesempurnaan Elios membuat Emma merasa minder. Emma menganggap dirinya jauh dari kata pantas untuk bersanding dengan Elios. Akan tetapi, Elios selalu meminta agar Emma tak memperhatikan apa yang dikatakan oleh orang-orang. Elios selalu menghibur Emma di saat Emma merasa kesulitan.

Emma yang baik dan tak bisa menolak permintaan orang-orang sering dirugikan. Lalu, selalu ada Elios di sana yang menjadi sandaran baginya. Namun, Elios ini memiliki sifat yang posesif. Di akhir season, digambarkan bahwa Elios memiliki kepribadian yang dingin.

Memasuki season kedua, pembaca dibuat bertanya-tanya dengan keanehan-keanehan yang terjadi dengan sikap Elios. Orang seperti apakah Elios itu? Apalagi sejak ditemukan orang-orang yang menyakiti Emma selalu berakhir dengan kejadian yang tak menyenangkan.

Di awal season kedua bahkan dibuka dengan kematian salah seorang dosen yang meninggal. Dan dosen tersebut sempat melecehkan Emma. Yohan—seorang mahasiswa hukum—mulai mencium ada sesuatu yang mencurigakan dari Elios. Ia mulai mendekati Emma untuk bisa mencari sesuatu tentang Elios. Bahkan hingga di akhir season, Yohan tak bisa mengetahui siapa Elios sebenarnya.

Di season ketiga—sekaligus season terakhir dari cerita ini—dibuka dengan kisah masa kecil Emma yang benar-benar “kacau”. Emma kecil menjadi korban penganiayaan oleh orang tuanya hingga psikisnya terluka. Bibi yang mengasuhnya pada akhirnya pun tak mengambil tindakan lanjut mengenai terlukanya psikis Emma kecil. Pelan-pelan, satu persatu misteri mulai terkuak hingga membuat pembaca merasa takjub dengan cerita yang ditulis oleh Hanza ini.

 

Cerita ini benar-benar luar biasa—setidaknya, begitulah menurutku. Aku sangat menyukai cerita ini. Walau akhir dari kisah ini memang tidak bisa dikatakan bahagia, tetapi akhir dari kisah ini sungguh logis hingga tak banyak pembaca yang bisa memprotesnya. Semua akhirnya sangatlah pas untuk masing-masing tokoh di kisah ini.

Yohan Lee
Sumber : Google


Karakter Yohan yang dari awal sampai akhir sungguh konsisten. Ia memandang keadilan melalui kacamatanya sendiri. Ia yang merupakan seorang mahasiswa jurusan hukum menganggap hukum di pengadilan itu kurang adil. Awalnya, ia kuliah jurusan hukum hanya karena ingin menyelamatkan seorang gelandangan bernama Oscar yang ditangkap secara tidak adil. Dan pada akhirnya, ia berhasil mewujudkan mimpinya.

Para pembaca pasti akan jatuh cinta pada karakter ini karena ia benar-benar karakter yang kuat. Ia tegas, pintar, dan juga sangat pintar bergaul. Walau ia memiliki kekurangan—buta arah parah. Ya, Yohan yang buta arah parah sering tersesat. Itu juga alasannya ia bisa bertemu dengan Oscar.

Emma
Sumber : google


Karakter Emma yang walau tumbuh besar di lingkungan yang tak bagus. Ia tetap menjadi pribadi yang baik walau “cacat”. Sejak kecil, ia adalah gadis yang baik, pintar, serta bijaksana. Ia selalu mendahulukan orang lain terlebih dahulu daripada dirinya sendiri membuat pembaca jatuh cinta padanya.

Elios
sumber : google


Lalu, ada Elios. Elios ini memiliki dua versi kepribadian, versi yang dilihat oleh orang-orang dan juga versi yang ada di mata Emma. Walau kedua versi ini, Elios tak berbeda begitu jauh. Elios sebenarnya pria yang manis dan perhatian. Ia selalu menjaga orang-orang yang sudah diakuinya dengan baik. Ia pintar menyembunyikan perasaannya agar orang-orang merasa nyaman dengannya. Ia lebih sering menyembunyikan perasaannya, terkecuali saat ia bersama dengan Farah—kekasihnya—dan juga anjing peliharaannya.



#day5
#JurnalHydramates
#Pojokbaca

 Yo, Gengs! Apa kabar kalian? Baik 'kan, ya? Harus dong! Hari ini balik lagi ke sesi review novel. Novel apa yang kali ini bakal ku-review? Yuk, meluncur!

 

Review Time

Blurb

Judul                            : 7 Days Waiting For Reincarnation

Penulis                         : Erin Damayanti

Genre                          : Horor

Penerbit                       : CV. Garuda Mas Sejahtera

Tahun Terbit               : 2016

EISBN                          : 978-623-213-108-8

Blurb                           : Ini sudah gila!

                                      Sebelumnya aku tidak pernah percaya akan keberadaan hantu atau apapun namanya makhluk tak kasat mata itu. Tapi berbeda pada pagi cerah di mana aku hendak berangkat kerja. Aku bertemu Davin, hantu yang menyesal telah menjadi hantu.

                                     Untuk pertama kalinya, dan aku juga mau ini yang terakhir kali, aku berterimakasih telah bertemu dengan hantu seperti Davin.

 

Cut Scene

Novel ini dibuka dengan keseharian si aku—Reta—yang merupakan pegawai kantoran biasa hendak pergi bekerja. Sekilas, dijelaskan mengenai bagaimana kehidupan pribadinya yang kini hanya tinggal berdua bersama sang adik—Remi. Dijelaskan secara singkat, walau Reta yang merupakan sang kakak, tetapi yang mengambil kendali adalah Remi. Walau Remi merupakan remaja yang baru menginjak usia enam belas tahun, ia lebih dewasa daripada Reta.

Seperti pekerja kantoran biasa, Reta diburu waktu agar bisa sampai tepat waktu ke kantor. Ia yang tak bisa mengendarai kendaraan, baik motor maupun mobil, terpaksa harus menggunakan angkutan umum. Dan keretalah yang menjadi pilihannya karena stasiun kereta dekat dengan rumah kontrakannya.

Pagi itu, saat hendak berangkat, ia melihat seorang pemuda terjun ke rel kereta api sambil menunggu kedatangan kereta. Sama seperti orang-orang pada umumnya, ia pun berteriak meminta pemuda itu menyingkir dari perlintasan kereta agar tetap hidup. Walau ia berteriak seperti orang gila, semua hanya menatapnya dengan tatapan kasihan, tanpa ada yang berniat menghentikan niat pemuda itu untuk bunuh diri.

Reta panik bukan kepalang. Walau orang-orang menatapnya aneh bercampur kasihan, ia tetap berteriak meminta pemuda itu menyingkir. Akan tetapi, terlambat! Pemuda itu tertabrak oleh kereta dan menghilang! Ia bingung sekaligus syok. Kemudian, adegan pun beralih pada kehidupannya di kantor. Dimarahi atasan dan diledek teman sekantor.

Sorenya, ia pulang dan mendapati pemuda itu di stasiun tersebut. Namun, ia menyadari bahwa pemuda itu bukanlah orang, melainkan hantu. Orang itu—lebih tepatnya hantu itu—meminta bantuan padanya. Pemuda itu menjabarkan keadaannya secara ringkas setelah memperkenalkan diri sebagai Davin.

Ia meninggal karena menabrakkan diri ke kereta yang sedang melaju, lalu meninggal. Kemudian, ia bertemu dengan sosok hitam yang menyuruhnya untuk membantu orang-orang agar proses reinkarnasinya dipercepat. Akan tetapi, ia tak bisa membantu orang-orang begitu saja karena orang-orang pasti akan takut juga benda-benda bisa bergerak dengan sendirinya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk meminta bantuan Reta—satu-satunya manusia yang bisa melihatnya.

Reta mengatakan akan mempertimbangkan hal itu, lalu pulang ke rumah dalam keadaan linglung. Sesampainya di rumah, gadis itu menuju meja makan seperti yang diperintahkan sang adik. Saat makan, matanya tanpa sengaja melihat koran di hari itu. Ia pun membuka dan membacanya. Dan menemukan berita tentang pemuda atau hantu itu—Davin.

Akibat terlena dengan wajah tampan serta tatapan penuh permohonan Davin, gadis itu menyetujui untuk menerima permintaan Davin. Reta pulang dan menceritakan pengalamannya berkenalan dengan hantu pada Remi yang langsung mengatainya gila.

Walau begitu, Reta tak ingin mengambil pusing. Paginya, sebelum ia pergi ke kantor, ia duduk di stasiun untuk mengobrol dengan Davin. Malamnya, ia duduk di stasiun untuk membantu Davin menolong orang-orang. Karena sering mengobrol, keduanya pun menjadi dekat. Reta mengetahui sedikit cerita semasa hidup Davin dan merasa simpati pada pemuda itu.

Tugas mereka untuk menolong orang dilakukan keduanya dengan kompak hingga tibalah hari ke-7. Hari di mana mereka harus berpisah. Perpisahan itu diiringi dengan perasaan sedih.

 


#day4
#JurnalHydramates
#reviewnovel
#Pojokbaca


Yo, Gengs! Siapa nih pecinta thriller? Mari berkumpul! Siapa nih yang sudah baca The Chemist Karya Stephenie Meyer? Yuk acung dulu.

Review The Chemist

Judul

:

Sang Ahli Kimia (The Chemist)

Penulis

:

Stephenie Meyer

Penerjemah

:

Monica D. Chresnayani dan Lingliana

Penerbit

:

Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit

:

2018

ISBN

:

6020377873, 9786020377872

Halaman

:

560 halaman

Blurb

:

Sebagai mantan agen, ia menyimpan rahasia tergelap agensi yang membuatnya menjadi incaran pemerintah Amerika. Mereka ingin ia mati. Ia hidup dalam pelarian selama hampir tiga tahun. Tak pernah menetap di tempat yang sama dan selalu bergonta-ganti nama. Satu-satunya orang yang ia percaya telah mereka bunuh. Tetapi mereka selalu gagal membunuhnya karena ia agen terbaik di bidangnya—sang ahli kimia. Ketika seseorang menawarkan jalan keluar, ia sadar itulah kesempatannya untuk mengakhiri semua ini. Tetapi itu berarti ia harus menerima satu pekerjaan terakhir dari mantan atasannya. Dan ketika mempersiapkan diri menghadapi pertarungan terhebat dalam hidupnya, ia jatuh cinta pada pria yang membuat semuanya semakin rumit. Kini, ia terpaksa menggunakan bakat uniknya sebagai ahli kimia dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.

 

Alex yang awalnya bernama Juliana Fortis merupakan seorang interogator yang andal. Ia bersama Dr. Joseph Barnaby, sang mentor sekaligus rekan kerja, bekerja sebagai seorang agen di bawah sebuah departemen tak bernama. Dikarenakan menangani sebuah kasus yang dianggap berbahaya, mereka berdua terpaksa harus disingkirkan.

Berkat Barnaby, Alex selamat dari pembunuhan yang pertama. Dalam usaha pembunuhan-pembunuhan yang selanjutnya pun, ia berhasil selamat karena Barnaby telah memberitahunya terlebih dahulu. Bertahun-tahun sebelum ia diburu, Barnaby telah memperingatkannya bahwa suatu saat, departemen akan membunuh mereka karena mereka terlalu banyak tahu. Banyak kasus berbahaya yang mereka tangani.

Barnaby memberikan pelatihan sederhana menjadi mata-mata padanya. Dan juga mencekokinya segala sesuatu hal yang bisa ia lakukan untuk bertahan hidup. Salah satunya cara menyimpan uang di berbagai bank dengan pemilik yang berbeda agar suatu saat semasa ia dalam pelarian ia tetap bisa bertahan. Sisanya, Alex belajar melalui novel-novel yang ia baca.

Tiga tahun hidup dalam pelarian membuat Alex menjadi lelah dan muak. Di saat ia memiliki pemikiran untuk menyerah saja, sebuah tawaran datang dari Carston—atasannya saat bekerja di departemen dulu.

Carston mengajukan sebuah tawaran dengan syarat akan membebaskannya dari masa buruan. Ia akan bebas ke mana saja tanpa diburu lagi. Dengan catatan, ia harus membantu organisasi untuk menangkap dan menginterogasi Daniel Beach yang disinyalir akan membawa virus influenza TCX-1.

Alex pun menyusun rencana untuk menculik dan memaksa Daniel untuk mengungkapkan apa yang diketahuinya dari virus tersebut. Namun, setelah melakukan beberapa kali percobaan untuk membuka mulut Daniel, pria itu sama sekali menunjukkan ketidaktahuannya. Alex mulai merasa ada yang salah, apalagi di tengah sesi interogasi tersebut, seseorang menerobos masuk dan menyerangnya.

Setelah melalui pertarungan sengit, Alex berhasil melumpuhkan si penyerang yang ternyata merupakan saudara Daniel—Kevin Beach. Keduanya mulai menyadari adanya sebuah kejanggalan hingga mereka berdua menarik satu kesimpulan. Kevin yang dulunya merupakan anggota CIA—dan kini juga dalam masa perburuan—diadu domba dengan Alex yang merupakan interogator andal dan ahli dengan berbagai jenis racun. Kedua atasan mereka ingin mereka bertarung hingga salah seorang dari mereka mati—atau bila lebih beruntung lagi, keduanya mati. Tentu saja, yang terjadi adalah hal di luar keinginan kedua atasan tersebut. Berkat Daniel, keduanya bersatu dan berusaha mencari siapa dalang dibalik operasi pemusnahan mereka.

Walau judulnya The Chemist (Sang Ahli Kimia), di sini tak diajarkan bagaimana cara membuat formula-formula obat dan racun. Hanya diceritakan bagaimana sang interogator yang biasanya bertahan di laboratorium dengan berbagai alat kimia bertahan hidup dengan berbagai zat yang ia buat dan olah sendiri untuk bisa bertahan hidup.

Alex membuat berbagai zat seperti survive yang berguna untuk memacu adrenalin agar pemakainya tak merasakan kesakitan walau terluka parah. Ada juga beberapa zat lainnya yang ia gunakan untuk bertahan hidup, seperti gas bertekanan tinggi untuk membuat orang tertidur.

Kombinasi yang sangat aneh di antara ketiganya yang merupakan guru sejarah, agen lapangan yang andal, dan juga seorang interogator yang andal. Walau begitu, mereka bertiga berhasil menemukan siapa dalang yang menginginkan kematian mereka. Romansa antara Alex dan Daniel menjadi bumbu tersendiri di dalam cerita ini. Interaksi antara Kevin yang menyebalkan dengan Alex yang kurang pandai bergaul pun memiliki kelucuan tersendiri.


#day3
#JurnalHydra
#Hydramates
#Pojokbaca

 Yo, Gengs! Balik lagi ke sesi Jurnal Hydra yang kedua. Sejujurnya, aku masih tak tahu harus nulis apa di sini. Jadi, mungkin aku bakal nuangin apa aja yang ada di dalam otakku aja.

 

Ide Bisa Didapat Dari Mana Aja

Pernah dengar kalimat di atas? Sebagai penulis, atau mungkin pekerja seni yang lain, pasti pernah. Kalau gak pernah, ya sudah. Menurutku, itu benar. Ide bisa didapat dari mana saja. Apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita rasakan. Kapan saja dan di mana saja. Semuanya bisa kita olah menjadi ide menulis.

Mari kita ambil contoh, saat kita sedang berada di jalan; entah hendak pergi ke mana atau entah hendak pulang ke rumah. Kita pasti pernah melihat tunawisma atau anak-anak kecil yang sedang meminta—atau mungkin hanya duduk saja—di pinggir jalan. Terkadang, ada yang memberi atau terkadang malah ada yang memarahi orang-orang tersebut.

Jika mau, hal ini bisa dijadikan ide cerita. Entah itu sebuah cerpen, atau bahkan sebuah novel. Kejadian itu kita olah dulu menjadi sebuah premis, yaitu Erina melihat kehidupan yang jauh berbeda dengannya dan tersentuh. Gadis itu memutuskan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu dengan mendirikan sebuah sekolah, tetapi ternyata hal tersebut tak semudah yang ia pikirkan. Semua rencananya tak ada yang berjalan dengan lancar karena anak-anak lebih mementingkan untuk menghasilkan uang daripada belajar.

Kurang lebih, bisa ditulis dengan seperti itu. Atau bisa saja, ketika ada teman yang curhat mengenai persoalan hidupnya. Kita bisa mengangkat kisahnya menjadi sebuah novel atau pun cerpen. Dalam hal ini, tentu saja kita harus meminta izin pada yang bersangkutan. Bila yang bersangkutan mengizinkan, ya lanjutkan. Akan tetapi, jika tidak, jangan dilakukan karena itu akan menyebabkan retaknya hubungan pertemanan kalian.

 

Mencari Mood Nulis

Banyak orang yang menulis dengan melihat mood mereka. Ya, aku juga termasuk salah satunya. Ini merupakan tantangan yang sangat berat. Sebenarnya, seorang penulis yang ingin sukses, tak boleh menulis berdasarkan mood-nya saja. Ia harus sebisa mungkin terus dan terus menulis. Menulis harus dijadikan kebiasaan.

Ada yang bilang, minimal sehari harus menulis satu paragraf. Namun, ada juga yang membiasakan dirinya sehari menulis minimal 500 kata, atau bahkan 1000 kata. Menurutku itu bagus, mungkin awalnya akan sulit. Akan tetapi, jika itu dijadikan seperti kebiasaan, hal tersebut akan menjadi mudah.

Jika merasa sehari minimal 500 kata itu sulit, maka di awal kita bisa menguranginya menjadi sehari 300 kata, atau mungkin 200 kata, atau bahkan lebih sedikit lagi. Satu hari minimal harus ada 100 kata. Setelah bisa konsisten dengan jumlah kata yang sedikit selama satu bulan penuh, pelan-pelan kita naikkan jumlah kata per hari kita. Jika di awal kita menargetkan 100, di bulan selanjutkan kita harus menaikkannya menjadi 200 kata atau—mungkin jika masih sulit—bisa ditambahkan 50 kata dari yang sebelumnya menjadi 150 kata per hari.

Jangan terlalu khawatir soal jumlah kata yang kita hasilkan. Yang paling pertama adalah kita harus nyaman dulu saat menulis agar semua tulisan yang kita hasilkan bisa tersampaikan dengan baik pada semua pembaca kita.

 

 

Sekian dari tulisan tidak jelas ini. Terima kasih.

#day2
#jurnalHydra
#Hydramates


 Yo, Gengs! Apa kabar kalian? Semoga baik-baik aja, ya. Di postingan kali ini, aku mau bincang-bincang sedikit tentang salah satu grup yang aku masuki—Hydramates. Penasaran?

 

Hydramates

Grup atau mungkin lebih tepatnya komunitas kali, ya? Aku masuk ke sini waktu, pasti salah kalau tidak salah, sekitar bulan Februari. Hydramates merupakan komunitas di bawah naungan redaksi hydra.

 

Suasana Hydramates

Komunitas ini, setidaknya menurutku, merupakan komunitas yang sangat seru. Aku cukup nyaman berada di sini. Di sini baik admin maupun membernya sangatlah baik dan bisa saling mendukung. Selain itu, di sini aku juga menemukan seorang teman yang bisa diajak untuk saling bertukar bacaan manhwa (oke, ini gak penting, jadi boleh diabaikan).

Selain membahas soal kepenulisan, kami juga sering melakukan percakapan random di dalam grup. Salah satu percakapan paling random yang aku ingat adalah pembicaraan tentang tuyul. Kalau tidak salah ingat, pembicaraan itu dilakukan di malam jumat. Topik random yang diangkat karena salah satu member mengatakan ingin mendengar cerita horor.

 

Salah satu obrolan random di Hydramates
sumber : screenshot room chat Hydramates

 

 

Kegiatan Hydramates

Kegiatan pertama aku di sini, setelah mendapatkan materi, ada event untuk menulis cerpen. Cerpen tersebut dijadikan sebuah buku antologi. Event yang bernama Season of Blossom dan mengusung konsep perayaan bunga.

Season of Blossom ini mengambil 6 jenis bunga dan mengusung tema yang berbeda-beda. Bunga yang diambil adalah Black Rose, Magnolia, Primrose, Snowdrop, Carnation, dan Hydrangea. Aku sendiri mengambil 2 jenis bunga, yaitu Black Rose dan juga Hydrangea. Black Rose yang mewakili tema misteri, duka, dan kematian. Sedangkan, Hydrangea yang mewakili tema keluarga.

Bisa dibilang, cerpenku di dalam buku Hydrangea dan Black Rose ini merupakan antologi pertamaku, bila antologi ODOP yang sebelumnya kutulis tidak dihitung.

Selain itu, di sini kami juga ada beberapa kali melakukan bedah buku. Tentu saja ada hadiahnya untuk peserta yang aktif.

Lalu, setelah event Season of Blossom ini, juga terdapat event Limerence X Evanescent yang berkolaborasi dengan musisi Baru Biru. Dalam buku ini, yang menjadi tokoh utamanya adalah kedua personil Baru Biru, yaitu Tata dan Goldan. Sebelum para peserta event menulis cerpen, kita diberikan kesempatan untuk melakukan meet and greet dengan para personil Baru Biru di dalam grup chat aplikasi berwarna hijau.

 

 Sepertinya sekian dulu untuk jurnal Hydra hari pertamaku. Buat yang penasaran, boleh main-main ke instagram Hydra Redaksi, ya. Link-nya juga sudah kusediakan di atas.


#day1
#jurnalHydra
#Hydramates