Yo! Masih ingat cerita sebelumnya?

 

"Kamu ngerasa gak sih, Zul?" tanya Rio seraya menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Tangan Zulfa yang hendak menyuapkan sesendok nasi menghentikan gerakan tangannya. Ia menatap Rio dengan alis terangkat. “Ngerasa apaan? Kalau kamu jadi makin nyebelin gitu?” balasnya kalem seraya melanjutkan gerakan tangannya dan melahap makanannya dengan nikmat.

Rio mendelik kesal. Sementara Anggi terkekeh geli. Senang rasanya mendapati Zulfa yang jail kembali setelah beberapa hari belakangan aneh. “Bukan! Dasar aneh! Kamu! Yang aku bicarain itu kamu, Zulfa,” balas Rio sambil misuh-misuh.

Zulfa menyilangkan sendok dan garpunya, lalu memusatkan seluruh atensinya pada Rio. “Emang aku kenapa, Yo?” tanyanya heran. Ia tak pernah merasa ada yang salah dengannya. Ia merasa dirinya biasa saja, tak ada yang berbeda ataupun berubah.

Rio menghela napas lelah. Ia menyilangkan sendok dan garpunya, lalu menatap Zulfa intens. “Kamu ... punya pacar baru, ya?” tembak Rio membuat Zulfa membelalakkan matanya tak percaya dengan pendengarannya.

Wajah gadis itu memerah hingga ke telinga. Anggi yang melihat hal itu pun menunjukkan mimik tak percaya. “Wah! Benar! Pasti Zulfa punya pacar baru,” seru wanita itu heboh hingga membuat beberapa pasang mata menatap mereka penasaran.

Zulfa segera menutup mulut Anggi dan memelototi wanita itu dengan tajam. Ia mengangkat piringnya dan diekori oleh kedua rekannya itu. “Aku masih belum punya pacar baru,” ucapnya santai. Ya, dia tidak berbohong bukan? Dia tak mempunyai pacar, hanya calon suami. Itu juga calon suami sandiwara.

Rio dan Anggi mengangguk-anggukkan kepalanya dengan senyum misterius. “Belum berarti sudah mau, ya, Zul?” tembak keduanya membuat Zulfa memutar bola matanya jengah.

Ia pasti sudah gila jika bisa memikirkan untuk mencari pacar baru di situasi aneh ini. Ia masih bisa mengingat kecupan lembut yang diberikan oleh Noah beberapa malam yang lalu. Setelah itu, ia tak mengingat apapun lagi. Bahkan bagaimana caranya ia pulang dan kapan ia tidur di malam itu pun ia tak ingat.

Malam itu, otaknya benar-benar kosong akibat ciuman dari Noah. Bahkan sampai saat ini, ia masih bisa merasakan bibir lembut yang menempel sempurna di bibirnya. Mendadak, wajahnya memanas hingga ke leher. Ia menggelengkan kepalanya kuat sembari mengusir adegan itu dari otaknya.

“Muka kamu merah. Kamu sakit?” Anggi mengulurkan tangannya dan meletakkannya ke kening Zulfa.

Dengan cepat Zulfa menghindar. Sebuah gelengan tegas juga ia hadiahkan untuk sahabatnya itu. “Gak. Aku gak sakit. Cuma kepanasan.”

Seulas senyum jail mendarat di wajah Rio. “Hayo! Pasti tadi habis mikirin macam-macam, ya? Mikir jorok kamu, ya?” tuduh Rio seraya menyeringai lebar.

Malu. Zulfa pun menggebuk punggung Rio dengan keras. Ia mengayunkan langkah lebar dan meninggalkan kedua sahabatnya yang tercengang tak percaya.

Selama lima tahun menjalin persahabatan, baru pertama kali mereka berdua melihat Zulfa salah tingkah seperti itu. Mereka yakin sekali, pasti ada sesuatu yang terjadi pada gadis itu. Mereka ingat, di saat Rangga mendekati gadis itu, gadis itu bahkan memberikan reaksi yang sangat amat biasa. Seolah sudah sangat berpengalaman dalam hal cinta. Padahal Rangga merupakan pria pertama yang berhasil mendapatkan status ‘pacar’ dari Zulfa.

Rio menatap punggung Zulfa yang kian menjauh dengan pandangan yang sulit diartikan. Anggi memukul punggungnya pelan. “Ayo, jalan!”

Seulas senyum hangat diberikan wanita itu padanya. Rio mengangguk dan berjalan beriringan menuju ruangan mereka. “Kira-kira, siapa, ya?” gumam Rio penasaran.

Anggi mengangkat bahunya tak tahu. “Gak tahu, tapi satu hal yang aku tahu. Kali ini, Zulfa benar-benar jatuh cinta. Aku harap dia pria yang baik,” harap Anggi tulus.

Rio mengangguk menyetujuinya. “Ya, dia sudah begitu banyak mendapatkan luka. Dia harus mendapatkan pria yang baik. Jika tidak, aku tak akan mengizinkannya begitu saja dengan pria tersebut,” gumam Rio rendah.

Keduanya menghentikan pembahasan mereka lantaran sudah sampai di dalam ruangan. Mereka terdiam di pintu ruangan akibat kaget melihat keakraban Zulfa dan Noah. Mereka merasa ada yang lain pada kedua insan tersebut. Bukannya Zulfa dan Noah tak dekat, siapapun tahu kedua insan itu dekat. Hubungan mereka sebagai atasan dan bawahan cukup harmonis, walau terkadang mereka harus melihat Noah yang menahan geram akibat kecerobohan Zulfa.

“Aku merasa mereka aneh,” gumam Rio seraya tersenyum lebar seolah baru memenangkan lotre bernilai miliaran rupiah.

Anggi tersenyum lebar. “Hmm ... aku juga merasa ada yang berbeda dengan hubungan mereka saat ini.” Anggi kemudian menoleh pada Rio dan menatap pria itu intens. “Yo, kalau misalnya. Kalau misalnya aja, nih, ya,” lanjutnya.

Rio mengangkat sebelah alisnya seraya menarik Anggi keluar dari ruangan. “Misalnya apa?” tanyanya penasaran lantaran Anggi tak kunjung melanjutkan perkataannya.

“Kalau misalnya pria yang bikin Zulfa berubah itu Pak Noah, menurut kamu gimana?” tanya Anggi menyuarakan kemungkinan yang melintas di kepalanya.

Rio menggedikkan bahunya tak acuh. “Aku ... jujur aku belum tahu. Maksudnya, kita semua tahu kalau Pak Noah itu pria baik. Tapi kalau dia jadi pasangannya Zulfa .... Entahlah, Gi. Aku harap itu akan berakhir dengan bagus,” balasnya penuh harap.

Sementara itu, orang yang mereka gosipkan berada dalam situasi yang sangat canggung. Zulfa lebih sering menghindari tatapan Noah. Dan Noah seringkali kehilangan kata-kata akibat kejadian beberapa malam yang lalu.

 

[bersambung]

 Yo! Masih ingat part sebelumnya, kan?


"Malam, Ma." Zulfa memeluk dan mencium kedua pipi Dhinar dengan canggung.

Senyum Dhinar mengembang mendapat perlakuan seperti itu. Ia mengelus punggung Zulfa dengan lembut. "Apa kabar kamu, Sayang?" tanyanya lembut seraya mengurai pekukannya.

Zulfa tersenyum manis. "Baik, Ma. Mama sendiri apa kabar?" tanyanya lembut. Walau di dalam hatinya ia dongkol setengah mati karena ini adalah kejadian yang begitu mendadak.

Satu jam yang lalu, Noah tiba-tiba menariknya dari parkiran dan menyeretnya menuju rumah orang tua pria itu. Jika tak ingat di sini adalah rumah kedua orang tua atasannya serta tak ingat bahwa Noah adalah atasannya, Zulfa pasti akan memukuli pria itu hingga jengkelnya hilang. Bisa-bisanya pria itu menyeretnya ke sini tanpa pemberitahuan apapun. Beruntung dirinya pintar beradaptasi.

"Pak! Bapak ini, ya! Kenapa sih suka banget yang mendadak?" omel Zulfa dengan suara tertahan saat Dhinar dan suaminya sudah berjalan ke ruang makan terlebih dahulu.

Noah menoleh sejenak menatap Zulfa dengan mimik datar. Sejenak, ia terlihat berpikir akan menjawab apa. Beberapa detik berlalu, keluarlah jawaban yang membuat Zulfa ingin memutilasi atasannya saat itu juga. "Saya ingat kamu pintar beradaptasi. Jadi saya yakin kamu pasti bisa melakukan hal segampang ini," jawab pria itu kalem.

Zulfa melongo. Demi apa Noah memberikan jawaban seperti itu? Pria itu ... benar-benar! Zulfa mengepalkan tangannya kuat guna meredam emosinya. Ia mengayunkan langkahnya menyusul atasannya yang menyebalkan itu. Baru tiga langkah, ia terpaksa menghentikan langkahnya akibat ponselnya yang berbunyi.

"Ya, Nek? Ada apa? Apa ada masalah lagi? Angga belum pulang?" berondong Zulfa begitu mengangkat telepon.

Zulfa mendengus begitu mendengar kekehan neneknya di ujung sana. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti dengan apa yang disampaikan oleh neneknya.

"Siap, Nyonya. Hamba akan melaksanakan perintah Anda dengan sempurna," candanya seraya meletakkan tangannya di kening memberi hormat ala militer. Dari ruang makan, tiga pasang mata menonton tingkah lucunya.

Zulfa memutuskan hubungan dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Senyum riang terpasang di wajahnya, luntur dengan suksesnya ketika matanya bersirobok dengan ketiga pasang mata yang menatapnya jenaka. Dalam hati, Zulfa merutuki kebiasaannya meledek neneknya itu.

Bisa-bisanya ia melakukan kebiasaan itu di hadapan atasannya dan juga kedua orang tua atasannya. Ia pasti sudah gila! Zulfa menggigit bibirnya salah tingkah dan tersenyum canggung.

"Kamu lucu," komentar Noah yang sangat sukses membuat wajah Zulfa semerah tomat.

Ingin rasanya gadis itu menabok mulut yang seenaknya memberikan komentar memalukan itu. Namun, ia harus menahan dirinya sekuat tenaga. Akhirnya, ia menganggap itu sebuah pujian dan bergumam kecil. "Terima kasih, Kak."

Dhinar menaruh daging sate ke dalam piring Zulfa membuat Zulfa tersenyum canggung. “Makan yang banyak, ya, Sayang,” pesan Dhinar. Zulfa hanya bisa mengangguk sembari menggumamkan terima kasih.

Sementara itu, Johan, suami Dhinar, menunjukkan mimik cemburu. “Kayaknya kamu lebih sayang sama Zulfa ketimbang suamimu ini, ya?” rajuknya membuat Zulfa tersedak akibat merasa malu akibat kemesraan kedua pasangan paruh baya itu.

Noah segera menuangkan air putih dan menyodorkan pada Zulfa. “Pelan-pelan,” ujarnya seraya memukul-mukul punggung Zulfa lembut.

Zulfa mengangguk sambil terbatuk-batuk. Saat batuknya sudah mereda, ia menangkap tangan Noah yang menepuknya dan mendorong tangan itu menjauh. Seulas senyum tipis ia hadiahkan untuk Noah. “Terima kasih, Kak. Saya sudah tidak apa-apa.”

Dhinar memukul pelan lengan suaminya dan melotot galak. “Lihat. Anakku jadi tersedak, ‘kan?” omelnya tanpa bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.

Noah menatap Dhinar kaget. “Anakku?” gumamnya heran. “Sejak kapan Zulfa jadi anaknya mama?” tanyanya bingung.

Dhinar tersenyum senang. “Tentu saja sejak hari pertama kami bertemu. Sejak malam itu, Zulfa sudah jadi anaknya mama. Kamu gak tahu?” tanya Dhinar tak percaya.

Noah menatap sang mama tak terima. “Kenapa bisa jadi anaknya mama? Zulfa bukan anak mama, dia itu menantu mama,” ucap Noah tegas seraya menekankan kata menantu.

Cukup sudah! Zulfa sudah lelah membohongi Dhinar yang begitu hangat padanya. Bagaimana bisa atasannya itu sampai hati membohongi mamanya sampai sejauh itu. Ia menginjak kaki Noah dengan keras dan melotot tajam. “Maaf, Ma, Om. Saya boleh pinjam Kak Noah sebentar?”

Zulfa menyeret Noah menjauh dari meja makan setelah mendapat anggukan persetujuan dari kedua orang tua Noah. Walau ia harus merasa jengah akibat tatapan penuh harap itu. Ia harus menarik Noah menjauh dan menyadarkan atasannya itu untuk menghentikan sandiwara gila ini.

“Bapak sudah gila?” omel Zulfa begitu sampai di halaman belakang rumah Noah.

Suasana di sini sangat adem. Tak ada satu pun nyamuk di sini. Lampu-lampu hias ditempel sempurna di dinding menambah suasana indah di sana. Banyak pohon hias di taman tersebut. Bahkan ada tanaman rambat yang melilit di ayunan membuat suasana taman tersebut menjadi romantis.

Akan tetapi, ini bukan saat yang tepat bagi Zulfa untuk mengagumi dekorasi indah nan romantis taman belakang rumah atasannya itu. Ia menatap atasannya galak. Sementara Noah menatapnya datar seolah tak merasa ada yang salah sama sekali.

“Bapak sudah gila?” ulangnya marah.

Noah menghela napas panjang, ditatapnya Zulfa dengan pandangan bingung. “Kamu kenapa? Dan aku belum gila.” Nada tenang pria itu membuat Zulfa mengerang frustrasi.

“Bapak gila!” sergahnya geram. Ia menarik rambutnya frustrasi dan kembali memelototi atasannya itu. “Kenapa bapak bilang kayak gitu tadi?” salaknya marah.

Napas Zulfa memburu. Wajah gadis itu memerah hingga ke telinga lantaran marah. Ia menatap nyalang pada atasannya. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya.

“Memangnya apa yang salah dengan ucapanku, Zul?” tanya pria itu kalem. Ia membalas tatapan nyalang itu dengan hangat.

Zulfa menggeram. “Tentu saja salah! Kita sedang sandiwara! Sandiwara! Bapak gila, ya? Kepala Bapak terbentur baru-baru ini?” cecar gadis itu kesal.

Noah menyentuh kedua bahu Zulfa lembut dan menatap gadis itu dalam. Zulfa membalas tatapan tersebut dengan tajam. Perlahan, ia mulai tenggelam di dalam netra hazel itu. Zulfa bahkan tak menyadari bahwa kepala Noah sudah semakin mendekat.

Noah masih menatap netra coklat gelap milik Zulfa lembut. Gerakan kepalanya terhenti tepat 1 cm di depan wajah Zulfa. Hidungnya menyentuh hidung Zulfa. Embusan napasnya menerpa wajah Zulfa dengan lembut. Zulfa mengerjapkan kedua matanya sembari berusaha mencerna apa yang tengah terjadi saat bibir lembut itu menyentuh bibirnya.

Tubuh Zulfa sekaku batu begitu ciuman itu lepas. Ia menatap kosong pada Noah yang tersenyum senang. “Mulai sekarang, kita sudah bukan pasangan sandiwara lagi,” ucapnya seraya berjalan menjauh. Meninggalkan Zulfa dengan jantung yang berpacu cepat.

Zulfa memegang dadanya. Ia bisa merasakan jantungnya bekerja ekstra. Tangannya meremas dada atas kirinya kuat. Kakinya melemas hingga ia jatuh terduduk di atas rumput.


[bersambung]

 Yang sebelumnya jangan lupa baca dulu, ya.


“Wah! Ada angin apa nih Tom dan Jerry berangkat bareng ke kantor?” tanya Anggi pada kedua rekannya yang baru saja sampai.

Zulfa memandang Rio cuek. Tadi pagi, mereka sudah sempat berantem karena masalah kemeja dan celana yang dipakai oleh Rio. Pria itu ingin memakai kembali kemejanya yang kemarin, tentu saja Zullfa melarang hal itu dengan tegas. Beruntung, di antara semua baju peninggalan ayahnya, masih ada kemeja dan celana kerja.

Sebuah gedikkan bahu tak acuh Zulfa berikan pada Anggi. “Kenapa, Gi? Gak boleh aku bareng sama Rio?”

Anggi tersenyum misterius. Ia kemudian menoleh pada Rio yang rautnya kusut bak cucian kotor dan basah. “Kamu kenapa, Yo? Pagi-pagi udah lecek aja tuh muka. Tadi pagi lupa kamu setrika mukanya?” ledek Anggi seraya menghidupkan komputernya.

Zulfa terkekeh mendengar itu. Sementara Rio hanya bisa mendecih pelan. Rio menyalakan komputernya, lalu memilih untuk bekerja saja daripada harus meladeni dua rekan kerjanya itu. Ketiganya bekerja dalam tenang. Tak ada lagi olokan yang saling terlempar ke sana-sini.

“Ah! Akhirnya jam makan siang!” keluh Rio sembari merenggangkan otot-ototnya yang kaku akibat terlalu lama duduk. Pria itu mengajak dua rekannya menuju ke kantin dan langsung disetujui oleh kedua rekannya.

“Tadi malam kamu menginap di rumah Zulfa?” seru Anggi kaget dengan suara yang terlalu keras hingga beberapa pasang mata mulai menatap mereka penasaran.

“Siapa yang menginap di rumah siapa?” Belum sempat Rio menjawab, sebuah suara bariton menyela hingga membuat mereka membelalakkan matanya kaget.

“Eh? Oh? Rio yang nginap di rumah saya, Pak,” balas Zulfa sopan setelah berhasil menetralkan kekagetannya.

Noah menganggukkan kepalanya tanda mengerti. “Di panti asuhan itu?” tanya Noah penasaran.

“Iya, Pak. Tidurnya sekamar dengan Angga,” jawab Zulfa santai. Noah hanya mengangguk paham, lalu ia berlalu dari sana tanpa menoleh sama sekali.

“Kok Pak Noah tahu kamu tinggal di panti asuhan?” tanya Rio kaget. Tentu saja, ia saja baru tahu kalau Zulfa tinggal di panti asuhan setelah lima tahun lamanya menjalin pertemanan. Dan juga, padahal statusnya sebagai rekan kerja harusnya lebih dekat dibandingkan atasan.

Anggi yang sedari tadi hanya bisa melongo bingung. Mulai menyuarakan keheranannya. “Tunggu! Tunggu! Apa maksud kamu Zulfa tinggal di panti asuhan? Kenapa aku gak tahu?”

Zulfa menghela napas memandang kehebohan itu. Ia terlalu malas untuk menjawab, jadi ia lebih memilih untuk melahap makannya dalam diam saja. Sementara itu, Rio dicecar begitu banyak pertanyaan oleh Anggi dan hanya bisa pasrah menjawab sebanyak yang ia tahu saja.

“Aku juga baru tahu kemarin. Aku antar Zulfa pulang. Aku kaget pas dia bilang rumah itu ternyata panti asuhan,” jelas Rio sembari menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Anggi mengangguk paham. Ia menelan makannya terlebih dahulu sebelum memperdalam sesi interogasinya. “Kenapa kamu nganter Zulfa pulang?”

Gerakan tangan Zulfa terhenti. Jika Anggi tahu apa yang semalam terjadi, Anggi pasti akan mengomelinya hingga Zulfa berdoa lebih baik telinganya tuli saja. “Kemarin aku lembur. Terus Rio juga lembur. Jadi sekalian karena rupanya udah jam delapan lewat,” potong Zulfa cepat sebelum Rio menjelaskan kejadian yang hampir melayangkan nyawanya itu.

Rio mendapati Zulfa yang memelototinya galak. Ia pun lebih memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat dan hanya mengangguk setuju sesuai keinginan Zulfa. “Iya, begitu. Jadi semalem aku anterin Zulfa pulang.”

Anggi meneliti mimik kedua rekannya dengan tatapan curiga. Ia tahu ada yang disembunyikan oleh kedua manusia itu. Akan tetapi, ia rasa itu bukan hal yang terlalu penting saat ini. “Terus kenapa kamu gak pulang dan malah menginap?”

“Sesuatu terjadi. Adiknya belum pulang padahal itu sudah hampir jam 9 malam. Kami mencarinya sampai hampir jam 10 malam. Neneknya memintaku untuk makan terlebih dahulu, lalu pulang. Kalau bisa menginap kata beliau. Jadi aku turuti saja. Aku tak sanggup menolak permintaan tulus neneknya Zulfa,” jelas Rio singkat tanpa membeberkan kejadian detilnya. Ia yakin, Zulfa tak ingin masalahnya diketahui oleh banyak orang.

“Oh, gitu,” gumam Anggi. Lalu ketiganya mengangkat piring mereka dan meletakkannya di tempat cuci piring. Kemudian berjalan beriringan menuju ruangan mereka.

“Gimana kandungan kamu, Gi?” tanya Zulfa saat mereka sudah hampir sampai di ruangan.

Ayunan langkah Anggi terhenti. Kepalanya berputar menatap Zulfa heran. Bagaimana bisa gadis itu tahu bahwa ia sedang hamil? Ia ‘kan belum sempat cerita pada kedua rekannya itu.

“Gak usah heran. Kamu gak tahu peramal yang satu ini hebat?” gurau Rio seraya merangkul Zulfa dan ditepis Zulfa kasar.

Rona bahagia meliputi wajah Anggi. Senyum hangat ia lukiskan di wajahnya yang manis itu. “Kata dokter, dia sehat. Udah jalan 6 minggu. Sebentar lagi aku bakal jadi seorang ibu.” Tangan Anggi mengelus lembut perutnya yang masih rata dengan perasaan hangat yang membuncah.

Ia senang sekali. Sangat amat senang. Zulfa dan juga Rio turut bahagia karenanya. Senyum bahagia terlukis di wajah ketiga sahabat itu.

“Zul, pulang bareng, yuk! Aku kan harus ngambil bajuku lagi,” ajak Rio setelah jam pulang berlalu setengah jam.

Zulfa mendongakkan kepalanya dan mengangguk. Ia lantas mematikan komputernya dan membereskan mejanya. Setelah semuanya rapi, Zulfa dan Rio turun bersama-sama. Keduanya berjalan beriringan menuju tempat parkir.

Rio menyodorkan helmnya pada Zulfa dan diterima gadis itu dengan baik. Saat hendak memakai helm, gerakan Zulfa terhenti karena ada yang menggenggam lengannya.

“Ikut saya,” titah Noah membuat hanya bisa berdiri bingung. Begitu pula dengan Noah yang hanya bergeming di tempatnya.

Sebuah tarikan lembut membuat Zulfa tersadar dari kebingungannya. “Eh? Ke mana, Pak?” tanya Zulfa heran.

“Ikut saja,” titah Noah tak ingin dibantah.

Zulfa kelabakan. Dengan linglung, ia menyerahkan helm kembali pada Rio. Sementara itu, Rio hanya bisa melongo bak orang bodoh di parkiran. Setelah Zulfa sudah menjauh, ia baru tersadar.

“Loh? Zul? Aku gimana?” tanyanya bingung. Tentu saja tak ada jawaban apapun yang ia dapatkan karena bahkan Zulfa sudah tak mendengar pertanyaannya. Akhirnya, ia hanya bisa menghela napas pasrah. Baru saja ia menyalakan motornya, ia merasakan ponselnya bergetar. Segera ia buka ponsel tersebut dan hanya bisa bersungut begitu mendapati chat Zulfa.

Zulfa : Yo, ntar baju km aku baru ksh aja ya.

 

 

[bersambung]

 Yang sebelumnya jangan lupa baca, ya..

 

Zulfa memeluk kedua kakinya dan mendongakkan kepalanya, menatap langit gelap. Sebuah helaan napas panjang ia embuskan melalui bibir tipisnya. Kini, kepalanya terasa begitu penuh. Dan hatinya begitu berat.

Sebelum Angga masuk ke dalam kamarnya tadi, ia sempat berbicang sedikit dengan bocah itu. Dan hal itu membuat perasaannya menjadi sesak. Percakapan dua puluh menit yang lalu kembali terputar di otaknya.

“Angga, kamu tadi ngapain?” tanya Zulfa lembut.

Angga menelan ludah gugup. Ia tahu kalau ia mengatakan hal yang sejujurnya, itu akan membuat Zulfa terluka. Akan tetapi, ia tak bisa berhenti. Ia harus melakukan sesuatu untuk membantu Zulfa.

Zulfa menghela napas panjang. Ia mengerti sekarang, jika ia terus menekan adiknya, adiknya itu tak akan bersuara apapun padanya. Ia harus bisa mendengar apa alasan Angga, lalu memikirkannya dengan bijak. “Kakak gak akan marah, Ga. Kakak Cuma mau tahu, kamu tadi ngapain sampai gak ke sekolah. Terus apa yang kamu lakukan di bengkel itu. Apa kakak gak boleh tahu sedikit rahasia kamu?”

Mendengar penuturan Zulfa, Angga kini terlihat lebih rileks. Bahkan ia berani mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke dalam mata Zulfa. “Tadi, pas mau berangkat ke sekolah. Angga lihat Pak Baim jatuh, jadi Angga tolong. Habis tolong Pak Baim, rupanya sudah terlambat buat ke sekolah. Daripada Angga dihukum, lebih baik Angga bolos saja,” tutur bocah itu tanpa menutup-tutupi kejadiannya yang sebenarnya.

Zulfa mengangguk tanda mengerti. Ia terdiam, menunggu Angga melanjutkan ceritanya. Ia yakin sebentar lagi cerita itu akan meluncur bak peluru yang ditembakkan di medan perang. Mata Angga berbinar penuh semangat dan ceria.

“Kak, ternyata di bengkel Pak Baim itu sangat keren. Tadi, Pak Baim ngajarin aku macam-macam. Mulai dari ada apa aja di bagian mesin mobil dan motor. Lalu aku juga diajari tambal ban,” ungkap Angga semangat. Sesaat kemudian, matanya membelalak lebar seolah melupakan sesuatu yang penting. Ia pun buru-buru menambahkan, “Bukan Pak Baim yang suruh, Kak. Angga yang minta diajarin. Dan Pak Baim baik, jadi Angga diajarin.”

Zulfa terkekeh melihat kepanikan dalam raut dan suara Angga. Ia menangguk tanda paham. Seulas senyum lembut ia berikan pada adiknya itu. “Kakak ngerti. Sekarang kamu tidur, gih. Besok kita lanjutkan lagi.”

Angga mengangguk setuju. Ia melangkahkan kakinya ke kamar. Namun, baru beberapa langkah. Kakinya berhenti mengayun. Ia berbalik dan menatap Zulfa penuh permohonan. “Kak, Angga masih boleh belajar di bengkel Pak Baim, ‘kan? Tadi Pak Baim bilang, kalau Angga bisa bantuin beliau. Angga bakal dikasih uang jajan. Lumayan ‘kan buat bantu Kakak dan Nenek,” mohon Angga.

Zulfa menghela napas panjang. Hatinya bimbang. Ia tak ingin adiknya merasakan pahitnya bekerja, tetapi jika melihat tekad adiknya yang kuat itu, ia tak sanggup untuk menghancurkannya. Sepuluh menit berlalu, Zulfa tak kunjung member jawaban hingga Angga merasa harapannya sudah pupus. Ia pun melangkah lesu dan masuk ke kamar dengan lunglai. Sementara Zulfa lebih memilih untuk keluar dari rumah dan duduk di teras sembari memandang langit hitam.

Langit hitam saat ini sangat cocok dengan suasana hatinya yang kelam. Seulas senyum miris Zulfa lukiskan di wajah. Ia bingung harus berbuat apa. Helaan napas panjang yang entah untuk keberapa kalinya ia embuskan.

“Gak bisa tidur?”

Zulfa terlompat dari kursinya begitu suara bariton menyapa telinganya lembut. Jantung Zulfa memacu dengan cepat kembali tenang dengan perlahan begitu mendapati Rio yang terkekeh kecil. “Kamu sendiri?”

Rio mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Zulfa. “Udah. Kebangun mau ambil air. Terus aku lihat pintunya kebuka, mau aku cek. Eh, rupanya kamu. Ada apa? Butuh kepala?” gurau Rio membuat Zulfa tersenyum tipis.

“Iya, butuh kepala. Mau jadi kuping dulu?” tanya Zulfa sembari terkekeh kecil

Rio menyanggupi permintaan Zulfa dengan anggukan kecil. Lalu meluncurlah keresahan yang sudah bercokol di hati Zulfa selama seminggu bak banjir. Rio mendengarkan semuanya tanpa melewatkan satu katapun. Ia tak menyela dan membiarkan Zulfa mengeluarkan seluruh kegundahannya.

“Jadi? Sekarang kamu lagi galau mau ngebiarin adik kamu itu kerja di bengkel atau gak?” tanya Rio setelah Zulfa berhasil menumpahkan seluruh hal yang menekan hatinya.

Zulfa mengangguk lesu. Kepalanya yang ia telungkupkan di dalam lipatan kakinya, ia tolehkan ke samping untuk mencari tahu bagaimana ekspresi Rio saat ini. Rio terlihat tenang, pria itu tersenyum lebar dan berkata ringan.

“Biarkan saja. Anak cowok harus belajar banyak biar bisa jadi kuat. Aku yakin Angga sudah cukup besar untuk tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Dan dia juga pintar kalau aku lihat. Selain itu, dia juga bertanggung jawab dan peka. Biarkan saja dia belajar. Jangan halangi dia. Aku tahu ini berat buat kamu karna kamu saying sama dia, tapi kalau kamu terus-terusan ngurung dia di zona nyaman, selamanya dia gak akan bisa berkembang,” tutur Rio bijak

Zulfa terdiam. Memikirkan kembali apa yang disampaikan oleh Rio. Ucapan Rio benar adanya. Ia memang sayang pada adiknya, tapi bukan berarti ia berhak menahan perkembangan adiknya. Seharusnya, ia mendampingi adiknya agar bisa berkembang. Bukannya malah melarangnya. Belajar membuatnya mengerti banyak hal. Apa yang dilakukannya saat ini, akan berpengaruh pada masa depannya.

“Lagi pula, apa yang mau dia pelajari ini bukan hal yang buruk. Biarkan saja. Memang seperti itulah anak cowok tumbuh besar,” ungkap Rio. Setelah mengucapkan hal tersebut, Rio berdiri dari duduknya dan sebelum berjalan masuk. Ia sempatkan tangannya mengacak rambut Zulfa terlebih dahulu.

Zulfa bergeming. Ia terdiam mencerna semua perkataan Rio. Rio benar, kini pikirannya sudah lebih jernih. Memang jika ada masalah rumit, lebih baik jika ada dua kepala yang menyelesaikannya. Kini hatinya pun jauh lebih ringan daripada beberapa hari belakangan. Seulas senyum puas terlukis di wajahnya. Ia merasa bakal tidur nyenyak malam ini.

 

[bersambung]

 

“Kei?” panggil Raka sembari melambaikan kedua tangannya di depan wajah Keira. Kening pemuda itu berkerut tak suka. Keira selalu seperti ini. Setiap kali mereka berbicara, Keira akan selalu terjun ke dunianya sendiri dan tak acuh lagi padanya.

Raka menjentikkan jarinya dengan keras dan cepat beberapa kali di depan wajah Keira. Akan tetapi, gadis itu masih bergeming di hadapannya. Pandangan matanya kosong terarah lurus ke depan. Tak mendapat hasil apapun dari jentikan jarinya, Raka menepuk kedua telapak tangannya keras di depan wajah Keira hingga gadis itu terlonjak dari tempatnya. Bahkan hampir terjengkang.

“Apa?” tanya gadis itu setengah linglung.

Raka menghela napas panjang. Lelah dengan keadaan ini. “Kamu kenapa? Ada masalah? Kalau ada cerita. Jangan dipendam sendirian. Nanti lama-lama bisa jadi penyakit, lho,” guraunya sembari tersenyum tipis.

Keira tersenyum ceria, walau senyum itu tak mencapai matanya. Sebuah gelengan tegas ia berikan pada Raka. “Gak, aku gak ada masalah. Kamu ada apa ngajak aku keluar?” tanyanya berusaha untuk fokus seutuhnya pada sahabatnya itu.

Raka menghela napas panjang. Selalu seperti ini. Keira terlalu tertutup. Ketika ada yang mencoba memasuki ruangnya, ia akan segera membangun tembok setinggi dan setebal mungkin. Sepertinya, mereka bersahabat hanya di mulut saja. Yang ia lihat, selama ini Keira selalu mendengarkan semua keluh kesahnya dan selalu menenangkannya.

Hubungan mereka tak sehat. Di sisi Raka, ia hanya selalu menerima, tanpa diberikan kesempatan untuk memberi. Dari sisi Keira, gadis itu selalu memberi, tanpa memberikan kesempatan untuk menerima. Hubungan tersebut sangatlah berat sebelah menurut Raka. Akan tetapi, ia akan tetap berusaha agar Keira akan membuka hatinya hingga hubungan mereka menjadi stabil.

Sekali lagi, Raka menghela napas panjang dan langsung ditegur oleh Keira, “Rak, gak bagus tau hela napas panjang mulu. Mitosnya bisa memperpendek umur.”

Raka menggeleng pelan dan terkekeh. Ia mengacak rambut Keira ringan. “Mitos aja, Kei. Dasar! Kamu tuh, simpan semua sendirian yang memperpendek umur,” balas Raka sembari tersenyum mengejek. Ia lantas menarik gadis itu berdiri dan menyeretnya menuju tempat parkir.

“Ayo, senang-senang! Kita teriak-teriak sampai puas,” ajak Raka sembari menyeringai lebar.

Seulas senyum manis terbit di wajah Keira. Ia sangat bersyukur mendapatkan teman seperti Raka. Raka selalu tahu saat dia sedang mumet dan tanpa bertanya pemuda itu tau harus melakukan apa. Baginya, Raka adalah sahabatnya yang paling berharga.

Senyum puas tak hilang dari wajah Keira setelah menghabiskan waktu 3 jam penuh menaiki wahana yang memacu adrenalin hingga mereka bisa berteriak sampai puas. Tenggorokan Keira dan Raka terasa sakit lantaran terlalu lama berteriak. Walau begitu, keduanya terlihat puas dan bahagia.

Raka memacu motornya menuju rumah Keira dengan kecepatan sedang. Sesampainya di depan rumah Keira, Raka menghentikan motornya. Ia menatap Keira dalam dan menghadiahi gadis itu seulas senyum.

Sedetik kemudian, senyum tersebut luntur. Mereka berdua terlonjak akibat mendengar suara pecahan keramik yang berasal dari dalam rumah berlantai tiga itu. Keira tersenyum tipis dan bergumam. “Harap maklum, ya. Udah biasa, ‘kan?” gurau gadis itu lembut.

Raka mengangguk paham. Ya, suara tersebut memang sudah menjadi makanan sehari-hari Keira seolah sudah menjadi soundtrack dalam kesehariannya. Keira menunjuk ke pintu di belakangnya, mengisyaratkan bahwa ia akan masuk duluan. Raka mengangguk, mempersilakan gadis itu masuk. Setelah yakin gadis itu masuk dengan selamat, Raka menghidupkan mesin motornya dan meninggalkan keriuhan yang berasal dari rumah tersebut.

Keira memasang wajah datar melihat kekacauan yang terjadi saat ini. Begitu banyak barang pecah belah di mana-mana. Keramik dan kaca bertebaran di seluruh lantai, tetapi ia tak peduli. Ia melangkahkan kakinya dengan gontai menuju kamarnya yang ada di lantai 2. Ia bahkan tak menunjukkan reaksi apapun saat menginjak pecahan beling tersebut. Teriakan histeris Mamanya bahkan tak ia acuhkan.

“Kei, kaki kamu!” teriak Sofia heboh sembari mendekati putri semata wayangnya.

Keira menoleh dan menatap Sofia datar. “Ini kan perbuatan kalian. Kalau aku kena dan terluka berarti salah kalian. Kenapa harus heboh seperti itu?” tanyanya tanpa emosi apapun.

Sofia yang sudah terbiasa dengan nada bicara putrinya itu hanya bisa menatap putrinya menyesal. Ia tak bisa membantah perkataan putrinya. Hanya diam yang menyambut tanya Keira hingga ia pun memilih melanjutkan perjalanannya menuju kamar.

Di dalam kamar, Keira langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menutupi matanya dengan lengan. Sebuah helaan napas panjang meluncur dari bibir tipisnya. Ia lelah, sungguh lelah. Ia tertekan karena kelakuan orang tuanya. Akan tetapi, sepertinya orang tuanya tak tahu dan tak akan pernah tahu. Ia lantas menyambar ponselnya dan langsung melakukan panggilan cepat nomer satu—nomor telepon Raka.

“Kenapa, Kei? Mau keluar lagi?” sambut Raka begitu telepon tersambung.

Keira menggeleng pelan. Beberapa detik berlalu, ia sadar Raka tak bisa melihatnya. “Gak. Aku hanya ingin bilang makasih. Kamu teman yang paling baik untuk aku yang buruk ini. Kamu tau gak? Kadang aku merasa malu karena hanya menerima hal baik dari kamu dan tak bisa memberikan hal baik apapun. Aku sungguh berterima kasih. Sungguh. Kamu yang terbaik. Terima kasih untuk semuanya. Aku sayang sama kamu,” ucapnya dalam satu tarikan napas.

Raka terkekeh. “Justru kamu teman yang paling baik. Kamu selalu menjadi kuping untukku. Aku malah merasa aku bukan teman yang baik karena tak bisa menjadi kuping yang baik untukmu. Kamu selalu memberi saran untuk semua masalahku. Kamu juga selalu ada untukku. Bagiku, itu sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup. Sangat amat cukup. Aku juga sayang kamu, Kei,” balas Raka dari ujung sana.

Sebulir bening kristal meluncur dari sudut mata Keira. Ia terisak, tak menyangka bahwa di mata Raka ia juga sahabat yang berharga. Ia sangat bersyukur dan berterima kasih karenanya. Keira merasa itu sudah cukup. Mengetahui bahwa ada satu orang yang menyayanginya itu sudah cukup untuknya melanjutkan hidup yang melelahkan ini.

 Yo! Part sebelumnya sudah dibaca belum?


Thanks,” ucap Zulfa tulus begitu turun dari motor Rio.

Rio memandang heran pada rumah yang disebut oleh Zulfa. Kening pemuda itu berkerut dalam. Ia tak pernah tahu bahwa rumah yang Zulfa maksud adalah panti asuhan.

“Kamu heran, ya?” Zulfa tersenyum samar. “Aku memang tinggal di panti asuhan, kok, selama ini. Aku—“ Perkataan Zulfa terpotong akibat sang nenek yang keluar dengan wajah panik.

“Zulfa! Kenapa baru pulang sekarang? Dan kenapa HP kamu gak aktif?” seru Nayla panik. Kedua mata wanita tua itu sembab lantaran habis menangis.

Zulfa segera memeluk Nayla dan menepuk-nepuk punggungnya pelan. Cara yang selalu berhasil Nayla gunakan untuk menenangkannya. “Nenek tenang dulu. Ada apa?”

Nayla mengurai pelukannya. Kini ia sudah tak sepanik tadi. Air matanya meluncur bebas seiring dengan serentetan kata-kata yang meluncur dari bibirnya. “Angga. Angga belum kembali dari sekolah. Kamu tahu nomor telepon gurunya atau teman-temannya tidak? Tadi nenek sudah coba menelepon pihak sekolah, katanya hari ini Angga tidak masuk sekolah. Padahal, tadi pagi nenek yakin dia berangkat sekolah soalnya dia pamit sama nenek.”

Napas Zulfa tercekat. Angga hilang? Bagaimana bisa? Apa yang dipikirkan oleh bocah nakal itu? Apakah bocah itu memilih keluar dari panti karena menganggap dirinya sendiri beban? Jika benar begitu, Zulfa akan benar-benar marah padanya.

“Nenek lebih baik masuk aja dulu. Biar Zulfa cari Angga ke rumah teman-temannya. Zulfa bakal cari Angga sampai ketemu. Jadi nenek masuk aja, ya?” pintanya pada Nayla seraya mendorong Nayla pelan.

Baru lima langkah Zulfa bergerak menjauh dari panti, ia berlari masuk kembali ke dalam. Mengingat baterai ponselnya sudah habis dan tak dapat hidup lagi, ia harus mengambil power bank untuk mengisi daya ponselnya untuk sementara.

“Aku bantuin. Yuk!” Rio menyodorkan helm pada Zulfa yang diterima gadis itu tanpa pikir panjang. Keduanya langsung melaju menuju rumah teman Angga yang biasa bermain bersamanya, Keenan, dengan kecepatan tinggi.

Akan tetapi, nihil. Menurut keterangan Keenan, beberapa hari yang lalu. Angga mengatakan bahwa ia tak akan sekolah lagi dan ingin mencari kerja saja. Mendengar hal itu, kepala Zulfa berdenyut. Hatinya sakit.

Dalam hati ia berjanji akan menghukum adiknya yang satu itu dengan keras begitu bertemu dengan anak nakal itu. Setelah hampir satu jam mereka berdua berkeliling di daerah sekitar panti. Mereka berdua menemukan Angga yang tengah duduk di depan sebuah bengkel yang hendak tutup. Zulfa segera turun dari motor dan berjalan cepat menuju bocah yang tengah tertawa lebar itu.

“Angga!” hardiknya marah.

Senyum lebar di wajah bocah itu memudar. Sinar bahagia berganti menjadi sinar takut. Wajahnya memucat begitu melihat wajah merah Zulfa. Ia tahu ia sudah membuat Zulfa marah.

“Kamu!” bentak Zulfa dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Angga sudah siap menerima pukulan pedas dari Zulfa. Namun, yang terjadi malah di luar dugaannya. Zulfa malah memeluknya erat dan menangis tanpa suara.

“Kamu tahu gak seberapa takutnya kakak pas dengar kamu gak ada di rumah?” isak Zulfa kecil. Ia mempererat pelukannya pada Angga.

Angga membalas pelukan itu tak kalah kuat. Semua ketakutannya luntur, digantikan oleh rasa bersalah yang amat kuat. Ia lupa waktu saking asyiknya belajar hal baru di bengkel ini. Kerjaan yang tanpa sengaja ia dapatkan setelah menolong sang pemilik yang terjatuh akibat diserempet orang.

“Maaf, Kak. Angga salah,” sesalnya sembari menundukkan kepalanya.

“Bagus kalau kamu tahu kamu salah. Sekarang ayo pulang. Kakak gak mau kamu kerja. Kamu itu pelajar, tugas kamu belajar, bukan bekerja. Kalau soal uang, jangan dipikirkan. Kakak yang akan cari solusi.” Zulfa mengenggam tangan Angga dengan erat dan menuntun—setengah menyeret—bocah itu mengikutinya.

Dari seberang, Rio memperhatikan Zulfa dalam diam. “Pulang?” tanyanya ringan pada Zulfa.

Zulfa mengangguk pelan. Ia berjalan pelan menggandeng Angga. Sementara Rio berjalan di samping mereka berdua sembari mendorong motornya. Walau sebenarnya ia ingin membawa Zulfa dan adiknya pulang menggunakan motor saja, tetapi tak bisa karena bonceng tiga itu berbahaya. Maka pilihan yang tersisa jika ia ingin tetap mengantar Zulfa sampai rumah adalah dengan mendorongnya sembari berjalan di samping keduanya.

“Angga!” Nayla menghambur keluar dan memeluk Angga dengan erat. Angga membalasnya tak kalah erat. Setelah Nayla mengurai pelukannya, Angga segera berlutut.

“Maafin Angga, Nek. Angga bersalah,” sesalnya. Kepalanya tertunduk dalam.

Nayla menatap Zulfa yang hanya balas menatapnya sembali tersenyum tipis. Nayla mengangguk pelan. Ia berjalan mendekati Angga dan mengusap puncak kepalanya sayang. Sebuah senyum lega ia lukiskan di wajahnya.

“Kalau kamu tahu kamu salah itu sudah cukup. Besok-besok jangan diulang lagi, ya,” ucap Zulfa pelan. Niatnya untuk menghukum bocah itu sirna begitu melihat sang adik menyadari kesalahannya tanpa perlu diberitahu.

“Ya, sudah. Ayo masuk!” Nayla menggiring kedua cucunya masuk ke dalam. Dan di saat itu, ia baru menyadari adanya orang lain di sana. Tadi, saking paniknya ia, ia sampai tak menyadari adanya Rio yang berdiri dengan tetap menjaga jarak agar tak merusak suasana haru keluarga itu.

“Eh? Ada tamu,” ucapnya malu sembari mentap Rio tak enak. Ia menatap pemuda yang terlihat malu itu dengan tatapan hangat.

“Sudah makan malam? Kalau belum, masuk dulu sini,” ajaknya lembut.

Zulfa pun menoleh dan menatap Rio malu. “Sorry, Yo. Aku lupa sama kamu,” ungkap gadis itu tanpa malu membuat Rio hanya bisa menggeleng tak percaya.

“Tak apa, Nek. Saya pulang saja. Sudah malam.” Rio tersenyum sopan sembari menunjuk ke atas langit yang gelap.

Nayla tersenyum senang. Ia menggeleng pelan. “Tak apa. Sebaiknya kamu masuk saja dan makan. Jika sudah kemalaman, kamu boleh menginap dan tidur di salah satu kamar,” ucapnya ramah.

Tak enak terus menolak kebaikan hati Nayla, Rio pun hanya bisa mengangguk pasrah. Ia mendorong motornya masuk ke dalam gerbang panti dan mengekori Nayla masuk ke dalam. Di dalam, terasa lebih hangat daripada di luar sana. Rio melayangkan matanya mengamati isi panti.

Terdapat lemari panjangan yang berisi berbagai piagam dan juga piala dengan nama berbeda. Nama Zulfa juga tercatat di beberapa piagam dan piala yang terpajang. Ruang tamunya terlihat luas karena tak banyak perabotan di sana. Hanya ada dua buah sofa panjang dan satu buah sofa untuk duduk sendiri, serta tiga buah lemari pajangan yang berisi piagam.

[bersambung]

 Yo! Yang sebelumnya udah dibaca belum?


Zulfa memindahkan angka-angka yang ada pada faktur ke dalam komputernya dengan gelisah. Setiap satu menit sekali, ia menjulurkan kepalanya tinggi-tinggi guna mengintip ke pintu ruangan mereka seolah tengah menunggu sesuatu. Lalu, kemudian ia mengetik lagi tanpa benar-benar mencurahkan perhatiannya pada pekerjaannya.

"Zulfa! Kamu kenapa? Saya perhatikan dari tadi, kamu terus-terusan melihat ke pintu masuk," tegur sebuah suara bariton yang amat sangat dikenali oleh Zulfa.

Zulfa meringis kecil, yakin bahwa sebentar lagi pria itu akan melontarkan sederet omelan yang bisa menulikan telinga. Ia berbalik dan menatap Noah dengan seringaian kecil. "Eh, Bapak," balasnya malu.

Noah menaikkan sebelah alisnya penuh tanya. Jawaban dari pertanyaannya belum ia dapatkan hingga ia pun memilih bersedekap di hadapan karyawannya itu. "Pertanyaan saya belum kamu jawab," tuntutnya pelan.

Zulfa menggaruk belakang telinganya akibat merasa malu sekaligus bersalah. Dirinya sungguh sial. Setiap kali berbuat hal yang aneh-aneh, pasti selalu tertangkap oleh mata Noah. Ia sangat heran. Apakah pria itu selalu memperhatikannya?

Zulfa segera menggeleng kuat mengusir pemikiran konyol tersebut. Akan tetapi, jika dipikirkan kembali itu memang masuk akal. Apalagi, di mata Noah dirinya hanya karyawan kurang ajar dan ceroboh. Bisa saja dengan alasan seperti itu, mata sang atasan terkunci padanya.

Zulfa melirik ke seberangnya, Rio menatapnya prihatin sambil tertawa diam-diam. Zulfa melotot pada Rio dan meminta Rio berhenti tertawa melalui kode yang ia kirimkan lewat pandangan mata. Bukannya berhenti, Rio malah semakin terbahak tanpa suara.

Geram. Zulfa mengacungkan kepalan tangannya pada pria itu.

"Kamu tidak senang saya bertanya apa yang kamu lakukan?" tanya Noah dengan suara tertahan.

Zulfa tersentak kaget. Ia melupakan fakta bahwa atasannya itu masih ada di hadapannya. Buru-buru ia meminta maaf. "Maaf, Pak. Saya lupa Bapak masih di sini," ungkapnya jujur.

Noah melotot tak senang. "Jadi, menurut kamu, saya tidak terlihat gitu? Iya?"

Rio tak dapat menahan gelak tawanya lagi. Begitu pula rekan kerja Zulfa yang lainnya. Zulfa merutuki mulutnya yang seenaknya meluncurkan kata-kata tanpa diproses terlebih dahulu oleh otaknya. Ia mendongak dan menatap Noah dengan perasaan bersalah.

“Maaf, Pak. Maksud saya bukan gitu. Intinya, Pak. Saya lagi kerja, lagi entry data pemasukan dan pengeluaran bulan ini,” ucap Zulfa seraya memamerkan faktur-faktur yang ada di mejanya.

Sebelah alis Noah terangkat, tatapan tak percaya ia tunjukkan secara terang-terangan pada karyawannya itu. Melihat itu, Zulfa jengkel sekali. Ingin sekali gadis itu mengambil garpu dan mencungkil bola mata yang berwarna hazel itu keluar.

“Bapak gak percaya sama saya?” tanya Zulfa tak terima dengan tatapan Noah.

Tanpa ragu, Noah mengangguk mantap hingga Zulfa hanya bisa melongo akibat kehabisan kata-kata. Telunjuk Noah bergerak dan menunjuk layar komputer gadis itu. Zulfa mengikuti arahan telenjuk atasannya dan matanya membelalak lebar.

Jelas saja pria itu tak percaya, ia bahkan tak mengerti apa yang tertuang pada layar komputernya itu. Begitu banyak angka dan simbol di dalam satu kolom dan letaknya berserakan. Zulfa meringis malu.

“Maaf, Pak. Saya salah,” pinta Zulfa menyesal.

Noah tak bisa berkata apa-apa, ia sudah lelah menghadapi karyawannya yang satu ini. Namun, ia juga tak bisa memecatnya karena memang membutuhkan tenaga gadis itu. Akhirnya ia hanya menghela napas panjang dan berlalu tanpa kata.

“Pak Noah marah banget kayaknya,” lirih Zulfa pelan seraya menghapus seluruh ketikan acak yang ia kerjakan sejak dua jam yang lalu. Ia menepuk kedua pipinya keras hingga rekan kerjanya yang lain kaget akibat suaranya.

Zulfa mengusap pipinya yang mulai memerah sembari meringis pelan. “Fokus, Zul! Fokus! Jangan sampai kamu dipecat! Ingat! Kamu butuh uang! Semangat!” serunya kecil pada dirinya sendiri.

Ia kemudian mengulang kembali pekerjaannya dengan benar. Saat semua sudah bersiap pulang, Zulfa masih setia di dalam kubikelnya untuk memindahkan data yang ada pada faktur ke dalam komputer. Sebuah tepukan halus mengagetkannya hingga ia pun mendongak.

“Apa?” tanyanya pada Rio agak ketus karena kesal dikagetkan.

Rio memutar bola matanya malas. “Kamu gak mau pulang?” tanya Rio sambil memamerkan sekelilingnya yang sudah kosong.

Zulfa mengangguk pelan. “Mau, tapi ini tanggung. Sisa dikit,” balasnya seraya mempercepat laju jarinya yang menari di atas tuts papan ketik. Sepuluh menit kemudian, Zulfa merenggangkan badannya dan mulai membereskan mejanya.

Setelah semuanya sudah rapi, ia memastikan kembali apakah ada faktur yang tertinggal di atas meja. Tidak ada. Senyum puas ia sunggingkan dan ia menyambar tas ranselnya, lalu berbalik hendak pulang. Saat berdiri, ia agak kaget mendapati Noah berada di belakangnya.

“Kok kamu belum balik?” Zulfa menyuarakan keheranannya.

Noah menggeleng pelan. “Nungguin kamu lah. Kamu sadar gak udah jam berapa sekarang?” tanya Noah seraya menggedikkan kepalanya ke arah jam dinding yang terpasang di atas pintu.

Mata Zulfa membelalak lebar. “Mampus! Aku telat!” rutuknya, lalu berlari keluar ruangan dengan panik. Di belakangnya, Noah menyusul gadis itu dengan keheranan yang mengisi kepalanya.

Ia mengikuti Zulfa yang masih berlari panik menuju jalan raya. Zulfa yang baru saja melangkahkan kakinya hendak menyeberang, hampir terjungkal ke belakang akibat tarikan kuat Rio.

“Nyebrang tuh liat-liat! Kamu bisa mati tau gak?! Jadi orang kok ceroboh banget, sih?!” omel Rio sambil melotot lebar. Walau begitu, matanya tetap menyusuri setiap jengkal tubuh Zulfa memastikan bahwa tak ada luka yang bersarang di tubuh gadis itu.

Zulfa masih bergeming di tempatnya. Terlalu syok untuk mengucapkan sesuatu. Akan tetapi, daripada syok hampir tertabrak truk yang lewat, ia lebih syok akibat omelan Rio yang terdengar cukup mengerikan di telinganya itu.

“Thanks,” ucap Zulfa setelah berhasil mengusir keterjutannya.

“Kurangi ceroboh kamu itu. Kalau masih ceroboh terus. Suatu hari nanti, kamu bakal celaka karna kecerobohan kamu. Sial-sial kamu bisa meninggal.” Rio masih setia dengan omelannya bak ibu-ibu yang tengah mengomeli anaknya yang nakal.

Zulfa terdiam. Beberapa saat berlalu, Rio sudah selesai memindai Zulfa dan memastikan tak ada luka yang bersarang. Ia pun menarik Zulfa kembali ke gedung kantor mereka dan menuju tempat parkir. Keduanya berhenti di depan sebuah motor gede berwarna hitam dengan stiker merah.

Rio dengan santai menaiki motor tersebut dan memakai helmnya. Setelahnya, ia menyodorkan sebuah helm berwarna merah pada Zulfa. “Pakai. Aku antar pulang,” titahnya final tak ingin dibantah.

 

[bersambung]