Yo! Part sebelumnya sudah dibaca belum?
“Thanks,” ucap Zulfa tulus begitu turun dari motor Rio.
Rio memandang heran pada rumah yang disebut oleh Zulfa. Kening pemuda itu berkerut dalam. Ia tak pernah tahu bahwa rumah yang Zulfa maksud adalah panti asuhan.
“Kamu heran, ya?” Zulfa tersenyum samar. “Aku memang tinggal di panti asuhan, kok, selama ini. Aku—“ Perkataan Zulfa terpotong akibat sang nenek yang keluar dengan wajah panik.
“Zulfa! Kenapa baru pulang sekarang? Dan kenapa HP kamu gak aktif?” seru Nayla panik. Kedua mata wanita tua itu sembab lantaran habis menangis.
Zulfa segera memeluk Nayla dan menepuk-nepuk punggungnya pelan. Cara yang selalu berhasil Nayla gunakan untuk menenangkannya. “Nenek tenang dulu. Ada apa?”
Nayla mengurai pelukannya. Kini ia sudah tak sepanik tadi. Air matanya meluncur bebas seiring dengan serentetan kata-kata yang meluncur dari bibirnya. “Angga. Angga belum kembali dari sekolah. Kamu tahu nomor telepon gurunya atau teman-temannya tidak? Tadi nenek sudah coba menelepon pihak sekolah, katanya hari ini Angga tidak masuk sekolah. Padahal, tadi pagi nenek yakin dia berangkat sekolah soalnya dia pamit sama nenek.”
Napas Zulfa tercekat. Angga hilang? Bagaimana bisa? Apa yang dipikirkan oleh bocah nakal itu? Apakah bocah itu memilih keluar dari panti karena menganggap dirinya sendiri beban? Jika benar begitu, Zulfa akan benar-benar marah padanya.
“Nenek lebih baik masuk aja dulu. Biar Zulfa cari Angga ke rumah teman-temannya. Zulfa bakal cari Angga sampai ketemu. Jadi nenek masuk aja, ya?” pintanya pada Nayla seraya mendorong Nayla pelan.
Baru lima langkah Zulfa bergerak menjauh dari panti, ia berlari masuk kembali ke dalam. Mengingat baterai ponselnya sudah habis dan tak dapat hidup lagi, ia harus mengambil power bank untuk mengisi daya ponselnya untuk sementara.
“Aku bantuin. Yuk!” Rio menyodorkan helm pada Zulfa yang diterima gadis itu tanpa pikir panjang. Keduanya langsung melaju menuju rumah teman Angga yang biasa bermain bersamanya, Keenan, dengan kecepatan tinggi.
Akan tetapi, nihil. Menurut keterangan Keenan, beberapa hari yang lalu. Angga mengatakan bahwa ia tak akan sekolah lagi dan ingin mencari kerja saja. Mendengar hal itu, kepala Zulfa berdenyut. Hatinya sakit.
Dalam hati ia berjanji akan menghukum adiknya yang satu itu dengan keras begitu bertemu dengan anak nakal itu. Setelah hampir satu jam mereka berdua berkeliling di daerah sekitar panti. Mereka berdua menemukan Angga yang tengah duduk di depan sebuah bengkel yang hendak tutup. Zulfa segera turun dari motor dan berjalan cepat menuju bocah yang tengah tertawa lebar itu.
“Angga!” hardiknya marah.
Senyum lebar di wajah bocah itu memudar. Sinar bahagia berganti menjadi sinar takut. Wajahnya memucat begitu melihat wajah merah Zulfa. Ia tahu ia sudah membuat Zulfa marah.
“Kamu!” bentak Zulfa dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Angga sudah siap menerima pukulan pedas dari Zulfa. Namun, yang terjadi malah di luar dugaannya. Zulfa malah memeluknya erat dan menangis tanpa suara.
“Kamu tahu gak seberapa takutnya kakak pas dengar kamu gak ada di rumah?” isak Zulfa kecil. Ia mempererat pelukannya pada Angga.
Angga membalas pelukan itu tak kalah kuat. Semua ketakutannya luntur, digantikan oleh rasa bersalah yang amat kuat. Ia lupa waktu saking asyiknya belajar hal baru di bengkel ini. Kerjaan yang tanpa sengaja ia dapatkan setelah menolong sang pemilik yang terjatuh akibat diserempet orang.
“Maaf, Kak. Angga salah,” sesalnya sembari menundukkan kepalanya.
“Bagus kalau kamu tahu kamu salah. Sekarang ayo pulang. Kakak gak mau kamu kerja. Kamu itu pelajar, tugas kamu belajar, bukan bekerja. Kalau soal uang, jangan dipikirkan. Kakak yang akan cari solusi.” Zulfa mengenggam tangan Angga dengan erat dan menuntun—setengah menyeret—bocah itu mengikutinya.
Dari seberang, Rio memperhatikan Zulfa dalam diam. “Pulang?” tanyanya ringan pada Zulfa.
Zulfa mengangguk pelan. Ia berjalan pelan menggandeng Angga. Sementara Rio berjalan di samping mereka berdua sembari mendorong motornya. Walau sebenarnya ia ingin membawa Zulfa dan adiknya pulang menggunakan motor saja, tetapi tak bisa karena bonceng tiga itu berbahaya. Maka pilihan yang tersisa jika ia ingin tetap mengantar Zulfa sampai rumah adalah dengan mendorongnya sembari berjalan di samping keduanya.
“Angga!” Nayla menghambur keluar dan memeluk Angga dengan erat. Angga membalasnya tak kalah erat. Setelah Nayla mengurai pelukannya, Angga segera berlutut.
“Maafin Angga, Nek. Angga bersalah,” sesalnya. Kepalanya tertunduk dalam.
Nayla menatap Zulfa yang hanya balas menatapnya sembali tersenyum tipis. Nayla mengangguk pelan. Ia berjalan mendekati Angga dan mengusap puncak kepalanya sayang. Sebuah senyum lega ia lukiskan di wajahnya.
“Kalau kamu tahu kamu salah itu sudah cukup. Besok-besok jangan diulang lagi, ya,” ucap Zulfa pelan. Niatnya untuk menghukum bocah itu sirna begitu melihat sang adik menyadari kesalahannya tanpa perlu diberitahu.
“Ya, sudah. Ayo masuk!” Nayla menggiring kedua cucunya masuk ke dalam. Dan di saat itu, ia baru menyadari adanya orang lain di sana. Tadi, saking paniknya ia, ia sampai tak menyadari adanya Rio yang berdiri dengan tetap menjaga jarak agar tak merusak suasana haru keluarga itu.
“Eh? Ada tamu,” ucapnya malu sembari mentap Rio tak enak. Ia menatap pemuda yang terlihat malu itu dengan tatapan hangat.
“Sudah makan malam? Kalau belum, masuk dulu sini,” ajaknya lembut.
Zulfa pun menoleh dan menatap Rio malu. “Sorry, Yo. Aku lupa sama kamu,” ungkap gadis itu tanpa malu membuat Rio hanya bisa menggeleng tak percaya.
“Tak apa, Nek. Saya pulang saja. Sudah malam.” Rio tersenyum sopan sembari menunjuk ke atas langit yang gelap.
Nayla tersenyum senang. Ia menggeleng pelan. “Tak apa. Sebaiknya kamu masuk saja dan makan. Jika sudah kemalaman, kamu boleh menginap dan tidur di salah satu kamar,” ucapnya ramah.
Tak enak terus menolak kebaikan hati Nayla, Rio pun hanya bisa mengangguk pasrah. Ia mendorong motornya masuk ke dalam gerbang panti dan mengekori Nayla masuk ke dalam. Di dalam, terasa lebih hangat daripada di luar sana. Rio melayangkan matanya mengamati isi panti.
Terdapat lemari panjangan yang berisi berbagai piagam dan juga piala dengan nama berbeda. Nama Zulfa juga tercatat di beberapa piagam dan piala yang terpajang. Ruang tamunya terlihat luas karena tak banyak perabotan di sana. Hanya ada dua buah sofa panjang dan satu buah sofa untuk duduk sendiri, serta tiga buah lemari pajangan yang berisi piagam.
0 comments:
Posting Komentar