Yang sebelumnya jangan lupa baca, ya..
Zulfa memeluk kedua kakinya dan mendongakkan kepalanya, menatap langit gelap. Sebuah helaan napas panjang ia embuskan melalui bibir tipisnya. Kini, kepalanya terasa begitu penuh. Dan hatinya begitu berat.
Sebelum Angga masuk ke dalam kamarnya tadi, ia sempat berbicang sedikit dengan bocah itu. Dan hal itu membuat perasaannya menjadi sesak. Percakapan dua puluh menit yang lalu kembali terputar di otaknya.
“Angga, kamu tadi ngapain?” tanya Zulfa lembut.
Angga menelan ludah gugup. Ia tahu kalau ia mengatakan hal yang sejujurnya, itu akan membuat Zulfa terluka. Akan tetapi, ia tak bisa berhenti. Ia harus melakukan sesuatu untuk membantu Zulfa.
Zulfa menghela napas panjang. Ia mengerti sekarang, jika ia terus menekan adiknya, adiknya itu tak akan bersuara apapun padanya. Ia harus bisa mendengar apa alasan Angga, lalu memikirkannya dengan bijak. “Kakak gak akan marah, Ga. Kakak Cuma mau tahu, kamu tadi ngapain sampai gak ke sekolah. Terus apa yang kamu lakukan di bengkel itu. Apa kakak gak boleh tahu sedikit rahasia kamu?”
Mendengar penuturan Zulfa, Angga kini terlihat lebih rileks. Bahkan ia berani mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke dalam mata Zulfa. “Tadi, pas mau berangkat ke sekolah. Angga lihat Pak Baim jatuh, jadi Angga tolong. Habis tolong Pak Baim, rupanya sudah terlambat buat ke sekolah. Daripada Angga dihukum, lebih baik Angga bolos saja,” tutur bocah itu tanpa menutup-tutupi kejadiannya yang sebenarnya.
Zulfa mengangguk tanda mengerti. Ia terdiam, menunggu Angga melanjutkan ceritanya. Ia yakin sebentar lagi cerita itu akan meluncur bak peluru yang ditembakkan di medan perang. Mata Angga berbinar penuh semangat dan ceria.
“Kak, ternyata di bengkel Pak Baim itu sangat keren. Tadi, Pak Baim ngajarin aku macam-macam. Mulai dari ada apa aja di bagian mesin mobil dan motor. Lalu aku juga diajari tambal ban,” ungkap Angga semangat. Sesaat kemudian, matanya membelalak lebar seolah melupakan sesuatu yang penting. Ia pun buru-buru menambahkan, “Bukan Pak Baim yang suruh, Kak. Angga yang minta diajarin. Dan Pak Baim baik, jadi Angga diajarin.”
Zulfa terkekeh melihat kepanikan dalam raut dan suara Angga. Ia menangguk tanda paham. Seulas senyum lembut ia berikan pada adiknya itu. “Kakak ngerti. Sekarang kamu tidur, gih. Besok kita lanjutkan lagi.”
Angga mengangguk setuju. Ia melangkahkan kakinya ke kamar. Namun, baru beberapa langkah. Kakinya berhenti mengayun. Ia berbalik dan menatap Zulfa penuh permohonan. “Kak, Angga masih boleh belajar di bengkel Pak Baim, ‘kan? Tadi Pak Baim bilang, kalau Angga bisa bantuin beliau. Angga bakal dikasih uang jajan. Lumayan ‘kan buat bantu Kakak dan Nenek,” mohon Angga.
Zulfa menghela napas panjang. Hatinya bimbang. Ia tak ingin adiknya merasakan pahitnya bekerja, tetapi jika melihat tekad adiknya yang kuat itu, ia tak sanggup untuk menghancurkannya. Sepuluh menit berlalu, Zulfa tak kunjung member jawaban hingga Angga merasa harapannya sudah pupus. Ia pun melangkah lesu dan masuk ke kamar dengan lunglai. Sementara Zulfa lebih memilih untuk keluar dari rumah dan duduk di teras sembari memandang langit hitam.
Langit hitam saat ini sangat cocok dengan suasana hatinya yang kelam. Seulas senyum miris Zulfa lukiskan di wajah. Ia bingung harus berbuat apa. Helaan napas panjang yang entah untuk keberapa kalinya ia embuskan.
“Gak bisa tidur?”
Zulfa terlompat dari kursinya begitu suara bariton menyapa telinganya lembut. Jantung Zulfa memacu dengan cepat kembali tenang dengan perlahan begitu mendapati Rio yang terkekeh kecil. “Kamu sendiri?”
Rio mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Zulfa. “Udah. Kebangun mau ambil air. Terus aku lihat pintunya kebuka, mau aku cek. Eh, rupanya kamu. Ada apa? Butuh kepala?” gurau Rio membuat Zulfa tersenyum tipis.
“Iya, butuh kepala. Mau jadi kuping dulu?” tanya Zulfa sembari terkekeh kecil
Rio menyanggupi permintaan Zulfa dengan anggukan kecil. Lalu meluncurlah keresahan yang sudah bercokol di hati Zulfa selama seminggu bak banjir. Rio mendengarkan semuanya tanpa melewatkan satu katapun. Ia tak menyela dan membiarkan Zulfa mengeluarkan seluruh kegundahannya.
“Jadi? Sekarang kamu lagi galau mau ngebiarin adik kamu itu kerja di bengkel atau gak?” tanya Rio setelah Zulfa berhasil menumpahkan seluruh hal yang menekan hatinya.
Zulfa mengangguk lesu. Kepalanya yang ia telungkupkan di dalam lipatan kakinya, ia tolehkan ke samping untuk mencari tahu bagaimana ekspresi Rio saat ini. Rio terlihat tenang, pria itu tersenyum lebar dan berkata ringan.
“Biarkan saja. Anak cowok harus belajar banyak biar bisa jadi kuat. Aku yakin Angga sudah cukup besar untuk tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Dan dia juga pintar kalau aku lihat. Selain itu, dia juga bertanggung jawab dan peka. Biarkan saja dia belajar. Jangan halangi dia. Aku tahu ini berat buat kamu karna kamu saying sama dia, tapi kalau kamu terus-terusan ngurung dia di zona nyaman, selamanya dia gak akan bisa berkembang,” tutur Rio bijak
Zulfa terdiam. Memikirkan kembali apa yang disampaikan oleh Rio. Ucapan Rio benar adanya. Ia memang sayang pada adiknya, tapi bukan berarti ia berhak menahan perkembangan adiknya. Seharusnya, ia mendampingi adiknya agar bisa berkembang. Bukannya malah melarangnya. Belajar membuatnya mengerti banyak hal. Apa yang dilakukannya saat ini, akan berpengaruh pada masa depannya.
“Lagi pula, apa yang mau dia pelajari ini bukan hal yang buruk. Biarkan saja. Memang seperti itulah anak cowok tumbuh besar,” ungkap Rio. Setelah mengucapkan hal tersebut, Rio berdiri dari duduknya dan sebelum berjalan masuk. Ia sempatkan tangannya mengacak rambut Zulfa terlebih dahulu.
Zulfa bergeming. Ia terdiam mencerna semua perkataan Rio. Rio benar, kini pikirannya sudah lebih jernih. Memang jika ada masalah rumit, lebih baik jika ada dua kepala yang menyelesaikannya. Kini hatinya pun jauh lebih ringan daripada beberapa hari belakangan. Seulas senyum puas terlukis di wajahnya. Ia merasa bakal tidur nyenyak malam ini.
0 comments:
Posting Komentar