Ganti guru

“Kalian mandang sebelah mata saya, ya? Mentang-mentang saya guru baru dan masih muda?” bentak Rina yang baru saja masuk ke dalam kelas sehingga membuat seisi kelas yang tadinya ribut bak pasar mendadak hening seperti kuburan.

“Maksud Miss apa?” tanya Shella mewakili teman-temannya. Mereka sungguh-sungguh tak paham apa yang membuat guru muda itu marah pada mereka, padahal ini baru pertemuan ketiga mereka. Di pertemuan sebelumnya, mereka memang ribut, tetapi tidak sampai tahap yang bisa membuat seorang guru dianggap rendah.

Rina membanting segepok kertas ke meja paling depan barisan tengah. Matanya menatap seisi kelas dengan buas, wajahnya memerah menahan amarah. “Apa maksudnya ini? Kenapa jawaban ujian kalian mirip-mirip semua? Bahkan ada yang jawabannya sama persis. Kalian meremehkan saya? Hah?!”

Seisi kelas menatap Rina bingung. Apa yang salah dari jawaban mereka? Pertanyaan yang diberikan sama, teks yang menjadi acuan untuk menjawab pertanyaan untuk seisi kelas juga sama. Lantas, di mana masalahnya jika jawaban mereka mirip atau bahkan ada yang sama persis? Aneh sekali guru mereka ini.

“Kalian semua dapat nilai nol. Tidak ada pengecualian. Saat minggu lalu, sudah saya tekankan kalau kalian tidak boleh menyontek, tapi lihat kelakuan kalian. Kalian tetap menyontek. Saya akan menganggap hal itu disebabkan kalian meremehkan saya. Tidak ada yang lulus dalam ujian kali ini.”

Mendengar hal itu, Valerie yang peringkat pertama pun menangis hingga membuat suasana kelas yang awalnya dihiasi dengan kegeraman berubah menjadi kepanikan. Kelas terbagi menjadi dua kubu—kubu yang menenangkan Valerie dan kubu yang menyuarakan protes atas keputusan Rina. Suasana mendadak panas dan riuh.

Shella berjalan menuju meja guru bersama dengan tiga teman yang lainnya—Romi, Andi, dan Jocelyn. Mereka berempat mewakili teman-teman sekelas untuk mendiskusikan masalah yang menurut mereka tak masuk akal itu.

Miss, ujian yang Miss maksud itu dari teks di halaman 125, ‘kan?” Jocelyn memulai aksi protes tersebut dengan tenang.

Rina mengangguk, “Memangnya ada lagi teks yang lain yang Miss minta kalian kerjakan?”

Keempatnya menggeleng dengan kompak. “Lalu apa yang salah dari jawaban kami yang  mirip-mirip?” tanya Andi mulai melancarkan serangannya.

“Kalau jawaban kalian mirip, ya berarti kalian nyontek. Asal kalian tahu, ya. Jawaban kalian tuh hampir semua persis sama, hanya diganti kata-katanya. Itu bukti kalau kalian nyontek,” cecar Rina kesal.

Shella mengepalkan tangannya erat, berusaha keras menekan emosinya agar tak lepas kendali hingga memukul meja dengan keras. Ia menatap tajam Rina. “Asal Miss tahu, ya. Kalau misalnya pertanyaannya sama, dan teks yang kita baca juga sama. Jawaban kita semua pasti bakal mirip. Bahkan bisa aja sama persis walaupun, kita gak nyontek dan mengerjakannya sendiri-sendiri di ruangan yang berbeda.”

“Saya tidak mau tahu. Jawaban kalian sama. Saya akan menganggap kalian menyontek,” kekeh Rina tetap pada pendiriannya.

Miss! Miss pikir dong pake logika. Kalau teksnya satu, pertanyaannya satu, jawabannya otomatis satu. Mana mungkin teksnya satu, pertanyaannya satu, tapi jawabannya ada lima puluh,” teriak Romi kesal.

Seisi kelas mendadak hening selepas Romi berteriak. Wajah Rina pun memucat saking syoknya. Cecilia yang biasanya pendiam pun mengeluarkan suaranya untuk mendinginkan suasananya.

“Romi, Shella, Andi, Joce, udah lah. Balik aja dulu ke tempat duduk masing-masing. Lagian kalau nilai ujian sekelas dapat nol kan gak masalah juga. Toh guru-guru atau bahkan kepala sekolah bakal ngerasa aneh kalau nilai ujian sekelas bisa nol semua. Gak usah diperpanjang lagi. Kalau Miss Rina emang kekeh mau bikin kita semua nol. Nanti kemungkinan yang bakal dipikirkan oleh guru-guru cuma dua. Satu,”—Cecilia mengeluarkan jempolnya dari genggamannya—“emang muridnya pada tolol semua. Dua,”—Cecilia mengeluarkan telunjukknya dari genggaman—“gurunya yang tolol, saking tololnya makanya murid-muridnya bisa dapat nol semua.”

Beberapa menit kemudian, tak ada lagi yang menyerukan protes mereka. Melihat itu, Rina segera menguasai kelas dengan memberikan tugas. Setelahnya, ia keluar dari kelas—mungkin untuk menenangkan dirinya. Guru itu kembali saat pelajaran hampir berakhir.

“Shel,” panggil Cecilia membuat Shella menoleh dan memandangnya dengan alis terangkat. “Kamu kan deket sama Bu Ina, ‘kan? Lagi pula, Bu Ina wali kelas kita, ‘kan? Minta tolong ke beliau saja. Pasti beliau mau bantu,” ungkap Cecilia membuat senyum puas terbit di wajah Shella.

Dan kebetulan sekali, di hari ini, ada pelajaran ekonomi yang diajarkan oleh Ina, yang tak lain merupakan wali kelas dari kelas mereka. Nanti sore, ia akan melancarkan aksi protes yang baru. Shella pun mengumpulkan teman-temannya dan membagikan idenya yang segera saja disetujui oleh semuanya. Begitu sore tiba dan Ina memasuki kelas.

“Hormat kepada Ibu guru!” ucap Wily, ketua kelas IX-C.

“Selamat sore, Bu!” Bagaikan kur, anak-anak kelas IX-C menyampaikan salam.

“Bu!” Shella mengacungkan tangannya tinggi-tinggi tepat pada saat Ina meletakkan bokongnya ke atas tempat duduk.

“Ya, Shella?” tanya Ina heran.

“Kami mau minta ganti guru Bahasa Inggris. Kami sekelas sudah diskusi tadi siang. Kami mau minta izin sama Ibu selaku wali kelas kami terlebih dahulu baru kami sampaikan keinginan kami ke kepala sekolah,” ungkap Shella tanpa ragu sedikit pun membuat Ina melotot kaget.

Walau terkejut dengan ucapan anak didiknya itu, Ina bisa menguasai dirinya dengan cepat. “Atas dasar apa kalian ingin mengganti guru kalian?”

Kelas mendadak riuh menyerukan alasan yang sama walau dengan kalimat yang berbeda. Ina yang tak dapat menangkap satu kata pun dari mereka lantaran suara mereka yang saling bersahutan pun meminta mereka agar tenang. “Satu saja perwakilan dari kalian untuk menceritakan apa yang terjadi. Jangan semua berebut bicara seperti ini. Ibu tidak bisa menangkap satu kata pun yang kalian ucapkan. Shella,” jelas Ina tenang.

Shella pun menceritakan kembali kejadian tadi siang, tanpa menutupi apapun—termasuk kejadian Romi yang hilang kendali dan membentak Rina dan Rina yang meninggalkan kelas setelah memberikan tugas, lalu kembali di saat pelajaran hampir berakhir. Ina mengurut pelipisnya, kepalanya mendadak pening.

“Ibu tidak akan memberi izin,” putus Ina membuat suasana kelas kembali riuh, “Ibu tidak memberi izin kepada kalian untuk memutus jalan orang mencari rezeki. Apa kalian tahu? Keadaan Miss Rina tidak bagus. Ia masih memiliki 2 orang adik yang SMA dan harus disekolahkan. Ibunya Miss Rina juga sedang sakit dan ayahnya sudah meninggal. Miss Rina lah harapan satu-satunya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Jadi, ibu tidak member izin untuk kalian memutus rezekinya begitu saja. Kalian harus mengerti, jika kalian sekarang memutus rezeki orang hanya karena kalian tidak suka dengan tindakannya. Ke depannya, kemungkinan rezeki kalian diputuskan oleh orang menjadi sangat besar. Kalian paham?”

Kelas IX-C mendadak sepi. Mereka paham dengan apa yang disampaikan oleh wali kelas mereka. Itu sama seperti hokum tabur-tuai. Apa yang kita tabur saat ini, maka itulah yang akan kita tuai ke depannya. Jika saat ini kita memupuk dosa, ke depannya kita hanya akan menuai kesusahan.

Melihat keterdiaman kelasnya, membuat Ina berpikir bahwa anak didiknya menolak gagasannya. “Baiklah. Kalau kalian tetap ingin mengganti guru Bahasa Inggris kalian. Kalian harus meminta kepada kepala sekolah untuk mengganti wali kelas kalian terlebih dahulu. Ibu malu memiliki anak didik yang nakal seperti kalian,” ucap Ina kecewa.

Mendengar hal tersebut. Satu kelas menjadi panik. Bersama, mereka memohon agar wali kelas mereka tak mengundurkan diri dari posisinya, bahkan ada murid yang menangis. Ina yang melihat itu pun menjadi luluh.

“Jadi kita sepakat, ya? Kalau tidak ada yang akan pergi ke ruang kepala sekolah untuk mengganti guru apapun?” tanya Ina tenang dan disanggupi oleh murid-muridnya. “Kalau masalah nilai ujian kalian semua yang nol itu, Ibu yang akan mewakili kalian untuk mendiskusikannya kepada Miss Rina.”

“Baik, Bu. Terima kasih,” jawab mereka secara kompak.

“Berarti diskusi hari ini selesai, ya,” ucap Ina puas. Ia tersenyum senang dan menatap anak didiknya dengan bangga. “Ibu senang kalian mengungkapkan ide kalian ini kepada ibu terlebih dahulu dan bukan langsung mengajukan ide itu kepada kepala sekolah. Kalian anak yang pintar.”

0 comments:

Posting Komentar