Aku menolehkan kepalaku ke sekeliling, mencarinya yang sudah jauh-jauh memanggilku ke tempat seperti ini. Sejauh mataku memandang, hanya ada hamparan rumput yang begitu luas. Aku terus berjalan ke depan menyusuri rumput-rumput itu. Entah berapa lama aku berjalan—sepertinya tak begitu lama juga—aku melihat seseorang duduk memunggungiku dan menghadap ke sebuah danau. Entah danau tersebut asli atau tidak, aku tak tahu. Di sekitar danau itu, tak begitu banyak rumput dan lebih banyak bebatuan serta kerikil.

Aku menghampirinya setelah yakin dialah yang telah memanggilku ke sini. Saat sudah dekat, aku bisa merasakannya bahwa hari ini dia berbeda. Ia terlihat murung dan tak bersemangat. Ia hanya memandang kosong ke depan sembari melempar asal kerikil kecil ke dalam danau. Beberapa menit lamanya aku memandangi dirinya. Entah apa yang ia pikirkan, aku tak tahu. Namun, satu hal yang aku tahu. Ia tahu aku sudah sampai.

Terbukti dengan beberapa saat berlalu, ia tersenyum tipis walau masih tetap menghadap depan. “Bagaimana? Bagus, ‘kan?” tanyanya ingin tahu. Nada suaranya terdengar sedih.

Aku mengangguk pelan—walau tahu bahwa ia tak melihat. Harus kuakui bahwa pemandangan di sini sangat bagus. Indah, sejuk, dan damai. Jika saja bisa, aku ingin hidup di sini selama sisa hidupku. Akan tetapi, tentu saja hal tersebut tak mungkin.

“Ada apa?” tanyaku padanya. Aku tahu ia sedang ada masalah dan butuh tempat cerita, makanya ia memintaku datang ke sini.

Ia menoleh dan tersenyum miris. Tak ada kata apapun yang meluncur dari bibir tipisnya. Aku duduk di sebelahnya, juga tanpa kata. Selama beberapa saat, kami terdiam. Menikmati keindahan alam di depan kami.

“Aku ingin cerita.” Tiba-tiba ia membuka suara. Walau begitu, aku tak menjawab ataupun menoleh padanya. Aku hanya membiarkannya saja. “Kamu tahu tidak?” tanyanya dengan suara pelan.

Aku menggeleng. “Tidak,” ucapku sembari meneliti mimik wajahnya yang terlihat sendu. Ia mungkin tengah mengenang apa yang selama ini telah ia alami.

“Kenapa aku berakhir seperti ini? Aku masih belum tahu. Kenapa aku memilih jalan itu? Aku pun masih belum tahu.” Terlihat jelas kerutan heran di dahinya.

Ia menoleh dan menatap ke dalam mataku—menuntut. “Menurutmu, apa aku lemah karena memilih jalan itu?” tanyanya menyesal.

Aku terdiam. Pertanyaan yang sebenarnya sudah bisa kuduga. Walau begitu, aku tak tahu harus menjawab apa. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Kulempar tatapanku ke danau kembali.

“Entahlah. Apa kamu lemah? Aku rasa tidak. Mungkin kamu kuat, tetapi mungkin juga tidak,” jawabku ambigu.

Sebuah tawa renyah ia lemparkan ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum tipis. Sungguh, aku tak tahu apa jawaban atas pertanyaannya barusan.

“Apa kamu merasa tenang setelah sampai di sini?” tanyaku berusaha mengalihkan topik.

Ia menggedikkan bahunya tak tahu. “Entahlah. Di sini, aku lebih sering menghabiskan waktuku untuk berpikir. Apakah langkah yang sudah kuambil ini tepat atau malah membuatnya semakin runyam? Apakah aku sudah salah dengan memilih untuk mengakhiri hidupku dan berada di sini selamanya?”

“Kurasa ... tidak. Entahlah. Kamu hanya lelah. Mungkin kamu salah, tetapi mungkin juga tidak. Aku tak tahu. Aku juga tak mengerti,” jawabku seadanya.

“Ya, sudah. Kamu kembali saja. Mereka menunggumu. Berbeda denganku, tak ada yang menungguku,” ujarnya sambil tersenyum miris. Aku bisa menangkap sakit hati dalam nada suaranya.

Aku menatapnya dalam. Kemudian menggapai tangannya. “Ayo! Ikut. Kamu dan aku satu. Jika kamu tak kembali, aku pun tak bisa. Mereka bukan hanya menungguku. Namun juga menunggumu. Ke depannya, mungkin lebih baik kita tak melakukannya lagi. Semelelahkan apapun itu, ayo berjuang bersama. Kamu punya aku dan aku pun punya kamu. Bagaimana?”

Ia terdiam dan berpikir sejenak. Beberapa saat berlalu, ia tersenyum lembut dan mengangguk paham. “Ayo!”

Ya, kami satu. Walau kami terkadang bertentangan, kami tetaplah berada di satu raga. Jika ia memilih untuk menyerah, aku pun sama. Jika ia memilih untuk bertarung, aku pun akan ikut dengannya.

Walau aku tak tahu dari mana dimulainya kesalahan ini, aku hanya ingin berjuang bersamanya. Berusaha memperbaiki semuanya agar menjadi lebih indah. Dan tak akan melarikan diri lagi dengan cara seperti ini.

 “Gawat! Cepat! Cepat! Kita udah telat, nih!” seru Monica panik sembari membereskan barang-barangnya.

Sherly yang awalnya tenang pun ikutan panik setelah melihat jam di sudut kiri layar monitornya. Ia segera menyimpan file tugasnya dan mematikan komputernya. “Mon, bayar dulu, gih. Cepetan!” perintahnya pada Monica yang sudah siap beberes. Sementara ia sendiri harus menyimpan buku dan beberapa alat tulisnya.

“Cepet, Sher!” seru Monica panik sambil melompat-lompat tak sabar di depan pintu warnet. Dua menit lagi bel masuk berbunyi dan mereka masih harus mengambil barang-barang mereka yang ada di kantin.

Sherly tak menjawab. Ia hanya langsung melangkahkan kakinya secepat mungkin menuju sekolah. Jarak yang biasa mereka tempuh empat menit, dibabat menjadi satu setengah menit.

“Mon! Tas!” teriak Sherly pada Monica yang melupakan tas yang mereka titipkan di kantin. Monica segera berbalik dan berlari menuju kantin.

Sherly segera menyambar tas miliknya. Namun, ia tak bisa bergerak lantaran tasnya ditarik ke arah yang berlawanan. Kesal, ia menarik tasnya dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, lagi-lagi orang itu menarik tas tersebut tak kalah kuat.

Sherly menoleh dan menatap tajam pemilik tangan usil yang menarik tasnya. Seorang pemuda berseragam SMA. Ia ingin menegur kakak kelasnya itu, tetapi tak berani karena ia hanyalah murid kelas 2 SMP.

Akhirnya, ia hanya bungkam sembari menarik tasnya. Teman-teman pemuda itu melihatnya dan melihat teman mereka itu. Dua orang teman pemuda tersebut mengode pemuda itu agar menatap ke belakang.

“Apaan, sih?” tanya pemuda itu kesal.

Teman gadis pemuda itu menunjuk menggunakan dagunya ke arah belakang. “Itu ... adeknya mau ngambil tasnya, tuh,” ucapnya sambil tersenyum geli tanpa memedulikan wajah Sherly yang sudah semerah tomat akibat malu.

Sementara itu, Monica memperhatikan Sherly dari koridor sembari tertawa tanpa suara. Rasanya menggelikan sekali melihat sahabatnya tengah tarik menarik tas miliknya dengan seorang kakak kelas yang lumayan tenar.

Pemuda itu yang tak lain adalah Reinald—bintang basket SMA Sakti—menoleh. Ia menatap Sherly sejenak sebelum mengalihkan pandangannya pada tas yang tengah ia peluk.

“Oh! Sorry,” ucapnya menyesal.

Sherly mendiamkannya. Ia menarik tasnya kasar dan menyampirkannya di pundak. Tanpa kata, ia langsung beranjak menuju laboratorium IPA—kelasnya saat ini.

“Sorry, ya. Gue pikir itu tas gue.” Samar-samar, Sherly sempat mendengar permintaan maaf tersebut. Walau begitu, ia menghiraukannya akibat tak sanggup menanggung malu yang lebih lagi.

Begitu sampai di hadapan Monica, tawa Monica lepas tak terkendali. Bukan hanya Monica, ternyata ada beberapa teman sekelasnya melihat kejadian lucu itu. “Jangan ketawa!” ancam Sherly dengan suara bergetar akibat malu dan juga marah.

Bukannya mereda, tawa mereka justru semakin meledak. “Jangan ketawa!” Tanpa sadar Sherly berteriak dengan suara yang cukup kencang hingga membuat teman-temannya terpaku. Sherly mengangkat tangannya dan menyadari bahwa ia melupakan sesuatu.

Ia menatap Monica memelas. “Mon, botol minumku ketinggalan,” ucapnya hampir menangis.

“Balik lah! Ambil. Mumpung labnya belum buka,” balas Monica enteng.

Sherly mendengus. Balik? Enak saja! Ia tak akan mau kembali ke sana saat ini. Biarkan saja botol minumnya menghilang. Ia tak sanggup untuk mengalami hal memalukan itu lagi. Cukup sudah pengalaman tarik menarik tas yang berakhir dia kabur tanpa sepatah kata pun.

Masa ia harus balik lagi dan menjadi bulan-bulanan kakak kelasnya hanya demi mengambil botol minum? Lebih baik ia kehausan sepanjang sore ini daripada harus balik ke sana dan ditertawai oleh kakak-kakak kelasnya.

“Gak usah!” sinis Sherly, lalu berjalan kesal masuk ke dalam laboratorium.

Gladys menyusuri gang yang temaram itu sembari terisak kecil. Ia berhenti sejenak demi menatap layar ponselnya sekali lagi.

“Kita putus aja, ya.”

Gladys berjongkok, tak kuasa menahan tangisnya lagi. Ia menangis sesenggukan di gang sempit itu.

“Jahat! Kenapa?” racaunya kecewa. Ia mengusap air matanya yang tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Baru saja bibirnya terbuka hendak mengeluarkan caci maki.

Teriakan kaget meluncur bebas dari bibirnya akibat ada yang memegang bahunya. “Argh ....” Ia berdiri tegak sembari menutup mata rapat-rapat. Sebelum ia memacu kakinya dengan kecepatan tinggi, ia menendang orang yang memengangnya dengan sekuat tenaga.

“Aw! Sial! Oi! Adik kurang ajar!” Samar-samar ia mendengar suara bariton yang memaki kesakitan. Ia berhenti sejenak karena merasa familiar dengan suara tersebut.

“Gladys, kampret!” maki pemuda tersebut lagi membuat Gladys serta merta menoleh ke belakang. Matanya membelalak tak percaya mendapati abangnya—Gilang—tengah menunduk sembari memegang tulang kering kaki kanannya.

Gladys meringis sambil mendekati abangnya. Ia menatap abangnya dengan perasaan bersalah. “Sakit, ya, Bang?” tanyanya basa-basi.

Gilang mendongak dan menatap Gladys tajam. Ia menegakkan tubuhnya sembari berdiri dengan satu kaki. “Menurut kamu gimana?” sinis Gilang membuat Gladys meringis menyesal.

Sorry, Bang. Aku kira preman sini. Jadi ... ya, gitu, deh,” ringis Gladys. Yang dikatakannya memang bukanlah alasan semata. Di daerah tempat tinggalnya ini, banyak preman yang suka menggoda gadis-gadis yang berjalan sendirian. Dan jika mereka sedang sial, mereka akan dipalak juga.

“Nyesel aku jemput kamu, Dek. Bukannya dibilangin terima kasih, malah ditendang. Dasar adek durhaka,” gerutu Gilang. Gladys yang mendengarnya langsung tersenyum semringah sambil bergelayut manja di lengan sang abang.

“Bang,” panggil Gladys saat keduanya berjalan bersama menuju rumah.

“Hmm?” deham Gilang tanpa menoleh pada adiknya. Sejujurnya, ia sangat penasaran dengan alasan adiknya menangis sesegukkan di tengah jalan yang gelap itu. Akan tetapi, ia tahu tak bisa memaksa adiknya untuk bercerita jika adiknya sedang tak ingin berbagi.

“Gak, deh!” Gladys menggeleng dan tersenyum tipis.

Gilang mengacak rambut adiknya sayang. Sesampainya di rumah, Gladys langsung bersih-bersih. Sementara Gilang meluncur ke dapur dan menyiapkan beberapa camilan kecil. Ia tahu adikknya sedang gundah dan butuh telinga. Maka dari itu, ia siap menjadi telinga untuk sang adik.

Begitu selesai mandi, Gladys mendatangi Gilang dan duduk di sebelahnya. Ia menatap sang kakak penuh tanya. “Abang gak mau tanya gitu?” tanyanya heran.

Alis Gilang terangkat. Ada begitu banyak hal yang ingin dia tanyakan. Akan tetapi, ia tak tahu pertanyaan apa yang dimaksud oleh adiknya ini. “Tanya apa?” balasnya tak mengerti.

Gladys menunduk. Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa dan meletakkan kepalanya di atas pangkuan sang abang. Ia menatap dalam abangnya seolah tengah menimbang sesuatu. Sebuah elusan hangat nan lembut mendarat di puncak kepalanya membuatnya merasa nyaman dan disayang.

“Bang, menurut abang, lebih bagus meninggalkan atau ditinggalkan?” Akhirnya Gladys menyuarakan pertanyaan yang sudah bercokol di otaknya selama beberapa bulan belakangan.

Gilang menghentikan elusannya. Ia mengusap dagunya dan bergumam sembari berpikir. “Kalau abang sendiri ... bagusnya ditinggalkan aja, sih. Lebih baik berada di pihak yang tersakiti daripada disakiti.”

Kening Gladys mengerut dalam. Ia sungguh tak mengerti kenapa abangnya berpikiran seperti itu. “Kenapa jadi disakiti dan menyakiti, sih?” protesnya tak terima.

Gilang terkekeh pelan. “Gini, loh, Dek. Kalau misalnya kamu ditinggalkan, sakit gak?” tanya Gilang tenang.

Gladys terdiam sejenak. Wajahnya berubah sendu, lalu ia mengangguk pelan. “Sakit banget, Kak.” Sebulir bening meluncur dari sudut matanya dan segera ia usap.

Gilang mengelus puncak kepalanya sayang. “Nah. Kita tahu kalau ditinggalkan itu sakit, ‘kan? Makanya abang gak mau meninggalkan orang biar gak nyakitin orang. Lebih baik ditinggalkan karena sakit membuat kita kuat. Dan menyakiti orang hanya akan menimbulkan dendam. Tapi, bukan berarti abang nyuruh kamu dendam ke orang yang udah ninggalin kamu, ya.”

Gladys terdiam beberapa saat, mencerna apa yang disampaikan oleh abangnya. Kemudian, ia mengangguk paham. Seulas senyum ia sunggingkan pada sang abang.

“Kalau ditinggalkan sama seseorang. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Bisa aja itu karena kita memang gak cocok sama orang itu. Lebih baik pisah daripada terus bersama, tapi saling menyakiti. Sedih boleh. Nangis juga boleh. Tapi setelahnya. Kamu harus tersenyum dan bangkit lagi,” ucap Gilang lembut.

 


 Tanah yang terjajah

Dibela oleh segerombol bambu tajam

Yang kini hanya ada pada layar gawai pemuda

Terlupakan dan memudar


Beberapa dekade yang lewat

Sains bagai permata

Sekarang terlihat bak kerikil

Bisa dibuang dengan gampangnya


Saling laga kepintaran agar dikenal

Lumrah di masa lampau

Kini semua bersaing membuat konten

Beradu suka yang paling meriah


Berkejaran dengan waktu mengejar ilmu

Biasa pada yang lalu

Tapi maya menarik di zaman baru

Harus yang menuntut

 

 

 #OneDayOnePost
#TantanganPekan8
#ODOPBatch8

 Biar kalian gak kebingungan, bisa baca part 1-nya dulu ya. Selamat membaca :)

-----------------------------------------

Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengangkat wajahnya yang terkulai. Kuteliti wajah yang menurut orang-orang tampan itu dengan saksama. Menurutku, wajahnya semakin manis jika dihiasi oleh darah seperti ini.

Aku melirik jam tanganku sejenak. Sudah hampir satu jam dua puluh menit ia pingsan. Sepertinya ini sudah waktunya dia bangun dari tidur nyenyaknya. Aku mengambil air garam yang kubuat selagi aku menunggunya bangun. Namun, ternyata aku tak sabar menunggunya bangun sendiri.

Maka dari itu, aku memutuskan untuk membangunkannya saja. Pelan-pelan, kuguyur air garam tersebut dari atas ke bawah. Tak lupa kuhadapkan wajahnya ke atas agar ia bisa merasakan air tersebut mengalir melalui wajahnya. Benar saja, saat air tersebut menyentuh pahanya yang terluka. Keningnya mengernyit kesakitan.

Beberapa saat berlalu, erangan perih meluncur dari bibir yang sudah ia gigit dengan kuat. Aku tersenyum senang. Waktu bermainku sudah datang.

“Jangan! Jangan ditahan!” ucapku dengan suara merdu. “Keluarkan saja suaramu yang merdu itu. Aku ingin sekali mendengarnya,” pintaku lembut.

Namun, ia tetap keras kepala. Menolak untuk mengeluarkan suaranya hingga membuat kekesalanku membuncah. Aku menghentikan guyuranku dan mengambil tang kecil. Kemudian berjalan ke arahnya dengan langkah ringan, menebarkan horor pada dirinya.

Benar saja, matanya membelalak ngeri saat kupamerkan tang kecil tersebut. Ia menggeleng cepat sembari meneteskan keringat.

“Gak! Aku salah. Aku minta maaf. Tolong! Jangan! Aku mohon,” mohonnya dengan suara serak.

Aku tersenyum, seketika kesenanganku melambung tinggi. Aku bergerak ke belakangnya dan menyentuh tangannya lembut. Kurasakan jemarinya bergetar hebat dan semakin hebat saat aku menempelkan tang tersebut.

"Jangan! Please, aku mohon!" mohonnya lemah membuatku merasa puas.

Aku berdeham kecil. "No! No! Kita akan bermain sekarang," bisikku di telinganya sembari menyeringai kecil.

Kutempelkan tang tersebut di jempolnya membuat isakannya semakin jelas. Kesenangan memeluk seluruh tubuhku dengan lembut hingga aku merinding dibuatnya. Kujepit jempolnya hingga ia berteriak kesakitan.

"Argh .... Stop! Stop!" raungnya menggema. Bukannya berhenti, aku malah semakin kuat menjepit jempol tersebut hingga ruas jarinya jatuh disusul dengan ceceran cairan merah pekat berbau anyir ke lantai.

Napasnya memburu membuat sesuatu di dalam dadaku bergemuruh hebat. Raungan kesakitannya barusan benar-benar amat sangat membuatku bersemangat. "Lagi! Lagi!" seruku senang.

Setelahnya, aku menggunting jempol satunya lagi. Kemudian aku melemparkan tang tersebut ke sembarang arah karena tak ingin menggunakannya lagi. Aku berjalan pelan menuju meja sembari menimbang apa yang harus kugunakan selanjutnya.

"Menurutmu, kita harus main pakai apa?" tanyaku sembari menatap isi meja penuh pertimbangan.

Kemudian mataku terpancang pada gunting rumput. Aku mengambil gunting tersebut dan mengacungkan padanya. "Ini bagaimana? Aku penasaran akan sesuatu hal," ucapku penasaran.

Ia menatapku lemas. Tak menggeleng ataupun tak mengangguk. Mungkin ia sudah lelah dan pasrah. Aku mengangguk sekali dan berjalan ke arahnya menggenggam gunting tersebut.

"Aku penasaran bagaimana bisa kamu berteriak jika tak memiliki lidah," jelasku pelan padanya. Matanya membelalak ngeri. Ia menggeleng cepat, walau tak ada kata yang meluncur dari bibirnya.

Aku menarik lidahnya keluar. Ia menggeleng kuat, tetapi aku menahan lidahnya lebih kuat lagi. Dan dalam satu kali hentakan, lidah itu lepas. Air matanya mengalir deras. Tak ada teriakan, hanya erangan kesakitan.

Wajahnya memerah. Urat-uratnya menonjol keluar. Matanya meredup seolah memintaku agar mengakhiri penderitaannya saat ini juga. Akan tetapi, aku masih belum puas bermain.

Aku kembali ke meja dan mengambil cairan asam. Kemudian, kembali kepadanya. Memaksanya mendongak dan menuangkan cairan tersebut ke dalam mulutnya. Tubuhnya menggelepar saat cairan tersebut meluncur turun ke dalam perutnya.

Di antara cairan yang tertuang masuk, terdapat cairan merah pekat yang mendesak keluar saat ia terbatuk-batuk. Kepalanya terkulai lemas begitu aku tak menahannya lagi. Ia memuntahkan kembali cairan asam yang belum sempat ditelannya dan juga darah akibat lukanya organ di dalam tubuhnya.

Napasnya melemah. Matanya semakin redup. Ia terlihat pasrah. Aku pun sudah mulai bosan. Aku kembali dan mengambil garpu. Kemudian menancapkan garpu tersebut tanpa belas kasih.

Saat garpu tertancap sempurna, aku menariknya keluar. Aku juga melakukan hal yang sama pada mata yang lainnya. Kini, bukan hanya air mata yang mengalir deras. Namun, juga darah mengalir dari kedua matanya. Ia terlihat seperti seseorang yang menangis darah.

Aku tersenyum senang. "Terima kasih sudah bermain bersamaku," ucapku setulus mungkin.

"Airin! Apa yang sedang kamu lakukan?" bentakan itu membuatku kembali ke dunia nyata.

Aku menoleh ke kanan dan kiri. Ternyata aku tengah berada di lift bersama dengan Tomy, pemuda yang aku siksa sekaligus atasanku, dan Jeffry, rekan kerjaku.

"Kamu gak turun?" tanyanya ketus.

Aku mengerjap beberapa kali. "Turun, Pak." Aku melangkahkan kakiku keluar dari lift. Dan berjalan gontai di samping Jeffry.

Jeffry mendekatkan kepalanya ke telingaku. "Kamu tadi ngapain sih? Kok serem amat rasanya. Seringai sambil cekikikan," bisiknya pelan.

Aku tersenyum puas. "Siksa Tomy di dalam pikiranku. Aku menyiksanya hingga ia merasa lebih baik mati aja," jelasku sambil tersenyum puas. 

"Mmhh ...."

Erangan itu tertangkap oleh telingaku yang tengah melihat-lihat isi mejaku. Aku mengambil sebilah pisau dapur dan menguji ketajamannya. Menggesek-gesekkan ibu jariku ke mata pisaunya beberapa kali dan mengangguk puas.

Lalu, aku beralih menatap gunting rumput yang baru saja kuasah tadi pagi. Tanpa perlu mencobanya pun, aku yakin bahwa gunting tersebut tak begitu tajam. Aku sengaja membuatnya begitu untuk melakukan sesuatu yang bisa menyenangkanku nantinya.

Kulirik pemuda yang tengah menggeliat di tempat duduknya menandakan bahwa ia mulai tersadar. Kepalanya mendongak, matanya menyipit menghadap depan.

"Halo! Tidurmu nyenyak?" tanyaku seramah mungkin sembari tersenyum manis.

Matanya membelalak lebar membuatku merasa senang sekaligus bersemangat tentang reaksinya. Ia menggerak-gerakkan tubuhnya dengan brutal. Walau begitu, ia tak bisa mencapaiku setelah bertingkah seperti itu selama sepuluh menit. Tentu saja, aku sudah belajar mengikat dengan benar. Makanya ia tak akan lepas semudah itu.

"Sepertinya tidurmu kurang nyenyak, ya?" komentarku masih tetap ramah. Aku bergerak menuju tong besi yang berada beberapa meter di sebelah kanannya. Aku melempar tiga potong kayu ke dalam hingga terdengar suara gemeretak kayu yang terbakar.

Kulirik batangan besi dengan pegangan plastik itu dengan semangat yang menggebu. "Bagaimana kalau kita bermain dengan ini terlebih dahulu?" tanyaku senang.

Matanya membelalak panik. Ia pun semakin brutal menggerakkan badannya hingga suara lantai yang beradu dengan kaki kursi terdengar jelas dan menggema ke seluruh ruangan. Raungan tertahan akibat kain yang kujejalkan ke dalam mulutnya.

"Eh, lupa. Belum dilepas ternyata." Aku tertawa kecil dan mendekatinya. Semakin dekat dengannya, ia menjadi semakin tenang. Walau begitu, wajahnya berubah sangar dan tatapan matanya sangat tajam.

"Aw ... tatapanmu .... Ah! Aku peringatkan saja dulu, ya. Jangan menyesal, loh, nantinya!" peringatku padanya sembari menyeringai lebar. Tanganku terulur ke belakang kepalanya dan membuka ikatan kain yang kujejalkan ke dalam mulutnya.

Ia meludah dan menggeram pelan. "Kurang ajar! Lepasin aku! Dasar jalang gak tau diri!" umpatnya kasar penuh amarah.

Yah, aku juga tak bisa bilang apa-apa mengenai kemarahannya. Akan tetapi, sepertinya ini bukanlah saatnya untuk marah seperti itu. Aku rasa, aku sudah cukup baik. Aku mengangguk-anggukkan kepalaku tak acuh.

Cukup dengan omongan kasarnya. Saatnya aku bermain dengan puas. Aku mengambil batangan besi yang sebelumnya sudah kumasukkan ke dalam tong tempatku membakar kayu.

"Apa yang mau kamu lakuin? Hah?! Kamu gila! Sakit jiwa! Jangan berani kamu mendekat ke arah aku! Mundur!" racaunya panik membuat perutku tergelitik senang.

Aku semakin bersemangat mendekatinya, walau begitu, aku tetap menjaga langkah kakiku agar tetap sama. Perlahan mendekatinya, menikmati horor yang dihantarkan setiap syaraf tubuhnya.

"Mundur! Stop!" bentaknya panik. Wajahnya memucat. Tak ada lagi sisa-sisa keangkuhan di wajah culas itu. Yang kini tersisa hanyalah kengerian dan ketakutan yang luar biasa. Dan hal itu membuatku senang setengah mati.

Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu. Aku berhenti tepat satu langkah di depannya. Kuumbar senyum manisku untuknya. "Ayo kita bersenang-senang!" ujarku riang.

"Gak! Aku gak mau! Aku nolak!" Ia menggelengkan kepalanya ngeri.

Sebuah kekehan kecil meluncur dari bibirku. "Gimana, ya? Aku bukan minta persetujuan, tuh. Aku ngajak dan kamu gak boleh nolak. Jadi ...."

Aku menjeda perkataanku dan mulai menempelkan batangan besi panas itu di pangkal pahanya. Raungan kesakitan terdengar menggema di seluruh ruangan membuat seluruh syarafku bergetar hebat. Lagi. Aku mau lagi.

Aku menarik batangan besi itu dari pangkal pahanya dan tersenyum lebar. "Nyanyianmu indah sekali. Kita main lagi, ya."

Napasnya memburu. Wajahnya memerah. Bulir-bulir besar keringat meluncur dari dahi hingga ke leher. Urat-uratnya tercetak jelas. Ia terlihat amat sangat kesakitan, walau begitu ada sebersit perasaan lega di dalam matanya.

Aku mundur dan melemparkan batangan kayu tersebut masuk kembali ke dalam tong. Aku bergerak menuju meja yang ada di kirinya. Matanya mengikuti pergerakanku dengan ngeri. Matanya membelalak tak percaya begitu melihat isi mejaku.

Gunting rumput, pisau dapur, garpu, gergaji, palu, paku, cairan asam, dan masih banyak lagi alat-alat bermain lainnya. Aku mulai menimbang-nimbang apa yang harus aku ambil selanjutnya. Kuambil gunting rumput itu dan mencobanya.

Matanya membulat ngeri. Kepalanya ia gelengkan sembari menatapku memohon. "Cukup. Tolong aku! Aku bersalah. Tolong selamatkan aku. Aku mohon," mohonnya sembari terisak kecil.

Ah! Tak seru. Masa begini saja sudah nangis? Menyebalkan sekali. Mood bermainku hilang total. Aku pun memutuskan untuk meninggalkannya dan keluar dari gudang tersebut.

Di belakang, aku dengar dia bergumam penuh syukur. Aku juga mendengar lirihannya untuk mencari cara agar bisa kabur secepatnya.

Akan tetapi, aku minta maaf. Rencanamu tak akan pernah berhasil. Dengan cepat kubelokkan langkahku dan berlari ke arahnya sembari menyambar pemukul bisbol yang ada di dekat pintu masuk gudang. Ia melihatku dengan tatapan terkejut.

Namun, aku tak memberinya kesempatan untuk protes atau melakukan apapun. Aku langsung menghantam jidatnya dengan keras hingga jidatnya berdarah dan ia pingsan kembali. 


[bersambung]

 "Selamat siang! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Kinar begitu menempelkan telepon di telinganya.

Kinar mengangguk paham sembari tersenyum sopan. "Ya, cat minyak warna hitam 9 kaleng, cat dasar warna lime fizz 2 galon. Baik. Pesanannya nanti kami antar." Telepon ditutup.

Kinar menoleh pada Hana yang ada di belakangnya. "Han ...."

Belum sempat Kinar menyelesaikan ucapannya, Hana membentuk jari jempol dan telunjuknya bentuk huruf 'O'. Senyum puas ia berikan pada Kinar. "Tolong print fakturnya dong, Nar."

Kinar mengangguk paham dan langsung membuka aplikasi untuk mencetak faktur. Setelah faktur tercetak, Kinar mengoyak faktur tersebut dan menyerahkannya pada Hana. Hana mengambil faktur lembar paling akhir untuk diarsipnya, lalu membawa faktur tersebut keluar.

"Bang, tolong ambil barang ini, ya," ucapnya sembari menyerahkan faktur tersebut pada Adi.

Adi menerima faktur tersebut dan segera naik ke lantai dua dan mengambil barang yang dipesan kemudian turun ke bawah. Kemudian mengumpulkan pesanan di satu tempat agar setelah jam makan siang barang-barang tersebut bisa diantar.

Hana kembali masuk ke dalam kantor dan merekap penjualan hari ini. Ia melirik sudut kiri layar laptop yang menujukkan sudah pukul 12.59 WIB. Hana melirik Kinar yang masih sibuk mengoreksi jurnal miliknya.

"Nar, makan, yuk!" ajaknya dan segera diangguki Kinar penuh semangat.

"Akhirnya .... Kenapa gak dari tadi sih ngajaknya? Aku udah lapar dari satu jam yang lalu," desah Kinar senang.

Hana memutar bola matanya malas. "Kalau lapar kenapa gak bilang dari tadi sih? Mana aku tau kamu lapar kalau kamu gak bilang," omel Hana gemas.

Ia bahkan tak tahu sudah sesiang itu kalau matanya tak sengaja melirik sudut kiri laptop. Ia pun makan dalam diam. Begitu selesai makan dan mencuci rantangnya. Hana keluar dan mencari Dani.

"Bang Dan, udah boleh keluar, nih. Nanti abang gak sempat balik tepat waktu, loh!" peringat Hana.

Dani mengangguk paham dan mencari kunci mobil. Memasukkan mobil ke dalam gudang. "Cek dulu lah, Han."

"Udah. Waktu abang masukkin mobil tadi. Tinggal naikin aja." Setelah barang-barangnya naik semua, Hana masuk ke dalam kantor.

Begitu masuk, Hana menaikkan alisnya saat melihat Kinar menerima telepon. Tepat saat telepon ditutup, Hana bertanya. "Mama?"

Kinar mengangguk. "Iya, kita disuruh pergi ke rumah tante ngambil sayur. Seperti biasa," ucapnya santai.

Begitu jam pulang, keduanya segera meluncur ke rumah tantenya. Sesampainya di sana, Kinar menelepon tantenya karena saat dibel, tak ada orang yang membuka pintu.

"Loh? Kok kalian ke sini?" tanya Nila, tante Kinar dan Hana, heran.

Kinar dan Hana saling berpandangan bingung selama beberapa detik sebelum kembali menatap Nila bingung.

"Loh? Tapi mama bilang suruh ke sini ambil sayur? Tante gak kasih sayur?" tanya Kinar tak kalah bingung.

Nila terdiam. Ia berpikir sejenak sebelum menggeleng. "Gak kok. Tante gak bilang ada sayur hari ini," ucapnya yakin.

"Loh? Jadi?" tanya Hana heran. Ia menatap Kinar dan bertanya lewat pandangannya.

"Yakin kalian mama suruh kalian ke sini?  Tante gak telepon mama kalian loh hari ini," jelas Nila sambil menerawang ke dalam memorinya.

"Telepon deh, Nar," putus Hana yang segera diangguki Kinar.

Kinar mengeluarkan ponsel pintarnya dan langsung men-dial nomor mamanya. Begitu telepon tersambung, Kinar segera memberondong mamanya dengan pertanyaan.

"Mama tadi suruh aku ke tempat tante, 'kan?" tanyanya tanpa basa-basi.

Hana menatap heran pada Kinar yang mendadak tertawa keras begitu selesai melontarkan pertanyaan. Hana yakin 100% bahwa Kinar sudah salah mendengar. Adiknya itu benar-benar mengesalkan. Pasti dia tak mendengar ucapan Mama dengan benar dan hanya sembarangan menyimpulkan.

"Kenapa?" tanya Nila penasaran.

Kinar masih tertawa. Ia berusaha menghentikan tawanya dengan cara menahan napasnya selama beberapa menit. Setelah yakin tawanya sudah hilang. Ia menatap Hana geli.

"Rupanya kita disuruh ke apotik. Bukan ke sini," ucapnya sambil kembali menyemburkan tawa geli.

Nila yang kesal pun menjewer telinga keponakannya gemas. "Aiyah! Tuh lah! Bukannya denger bagus-bagus omongan mama. Malah sembarangan nyimpulin aja."

"Tau tuh, Tan. Emang dasar, ya! Bener kata orang-orang. Manusia hanya mendengar apa yang ingin mereka dengar. Ini salah satu contohnya," omel Hana pada Kinar yang masih sibuk tertawa.

"Ya, maap, Tan. Habis biasanya mama telepon kan cuma buat nyuruh ke tempat tante ambil sayur. Maaf, ya," sesalnya di sela tawanya.

Senyum semingrah tercetak di bibir tipis Zulfa saat matanya tanpa sengaja melihat jam dinding. Tiga puluh menit lagi sudah bisa pulang. Ia pun menyelesaikan sisa pekerjaannya dengan semangat yang menggebu.

"Pulang! Pulang! Pulang cepat!" senandungnya riang tanpa menghiraukan Jimmy yang cekikikan melihat tingkah konyolnya. Bahkan jika ia melihat Jimmy menertawainya pun, ia tak kan peduli. Pasalnya, rasanya sudah lama sekali ia tak pulang tepat waktu.

"Ciahhh ... seneng amat bisa pulang tepat waktu, Bu," ledek Jimmy begitu melihat Zulfa membereskan barang-barangnya begitu pukul lima tepat.

Zulfa menoleh ke arah Jimmy dan tersenyum manis. "Jelas dong. Kan udah berapa ribu purnama aku gak pulang tepat waktu," balas Zulfa melebih-lebihkan. Padahal ia hanya tak pulang tepat waktu selama dua minggu terakhir saja.

"Halah! Gayanya gak pulang tepat waktu sampe ribuan purnama. Lebay amat, Bu," ejek Rima sembari menyampirkan selempangnya di bahu. Ia kemudian berlalu begitu saja setelah pamit tanpa memberikan Zulfa kesempatan untuk membalasnya.

Zulfa yang tak mau mood-nya hancur pun memilih segera hengkang dari kubikelnya. Ia berjalan penuh semangat sembari melompat-lompat kecil dan bergumam riang menuju lobi kantor. Begitu sampai di depan pintu utama. Semangat dan keriangan Zulfa hilang akibat langit mendung.

"Ah ... Kenapa harus hari ini sih mendungnya?" keluhnya kesal. Ia pun segera meluncur ke tempat parkir dan menyambar sepedanya, lalu mengayuhnya kencang.

Baru sepuluh meter jauhnya ia mengayuh, hujan pun turun dengan derasnya. Memaksa Zulfa untuk berteduh. Buru-buru, ia menepi di mini market terdekat dan masuk ke dalam. Melihat ada dispenser, Zulfa pun memutuskan untuk mengisi perutnya yang sudah memprotes minta diisi.

Zulfa mengambil satu buah mie cup dan sebungkus kopi instan. Ia kemudian membayar belanjaannya itu dan langsung menyeduhnya. Saat menunggu mienya matang, mata Zulfa menangkap sebuah siluet tinggi tegap yang tengah mengenyahkan bulir-bulir air yang jatuh di tubuhnya.

Sebuah senyum manis terkembang tatkala sosok tersebut masuk ke dalam mini market. Apalagi wajah tersebut tampan. Sorot mata pemuda itu terlihat hangat dan meneduhkan. Zulfa sampai tak kuasa mengalihkan pandang darinya.

Sesaat, Zulfa hanyut dalam lamunannya hingga sebuah dehaman menariknya kembali ke dunia nyata. Zulfa mendongak dan hanya bisa melongo dengan suksesnya. Pemuda yang Zulfa khayalan tadi, berdiri tepat di hadapannya sekarang dengan senyum ramah.

"Maaf. Boleh saya duduk di sini?" Suara lembut membelai gendang telinga Zulfa hingga membuat gadis itu kembali meluncur ke dunia khayalannya.

"Hmm ... Mbak?" Pemuda itu melambaikan tangannya di depan Zulfa sembari menatap Zulfa aneh.

Zulfa tersadar dan buru-buru mengangguk. "Ya, silakan," jawabnya setenang mungkin walau jantungnya bertalu dengan cepat.

Zulfa berusaha mengalihkan pandangannya pada mie miliknya sembari sesekali menyesap kopinya. Diam-diam ia mencuri lirik ke arah kanannya. Pemuda tampan itu menyesap kopinya dengan tenang sembari memainkan ponselnya.

Terkadang ada kerutan yang terbentuk di keningnya saat menggeser layar ponselnya. Kadang, ekspresi puas tercetak di wajah tampan tersebut. Zulfa tak bisa menahan senyumnya melihat perubahan ekspresi tersebut.

"Ada sesuatu di wajah saya?" tanya suara lembut itu membuat Zulfa yang sedang menyeruput mienya tersedak.

Wajahnya memerah akibat malu ketahuan melirik dan juga keselek. Ia terbatuk-batuk. Pemuda tersebut kaget bukan main mendapati reaksi Zulfa yang berlebihan. Walau begitu, tangan besar itu menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.

Setelah batuknya mereda, Zulfa menggeleng pelan.  "Tidak. Saya hanya melihat Anda karena kagum saja. Anda sangat tampan." Mata Zulfa terbelalak lebar begitu menyadari ucapannya.

"Maaf, saya permisi," pamit Zulfa lantaran tak kuat menanggung malu. Ia segera membereskan sampahnya dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian berlari keluar mini market dan mengayuh sepedanya dengan cepat.

Di sepanjang sisa perjalanan pulangnya, Zulfa merutuki mulutnya yang kelewat gila. Bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti itu kepada pemuda yang baru ia temui. Sesampainya di rumah, Zulfa mengerutkan keningnya dalam.

"Ada tamu?" gumamnya heran saat melihat mobil asing terparkir di depan rumah.

"Tante! Zul pulang!" ucapnya mendeklarasikan kepulangannya. Begitu sampai di rumah ia kaget bukan main.

"Kamu?" ucapnya bersamaan dengan pemuda yang tengah duduk di sofa.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Zevanya pada Zulfa dan pemuda yang duduk di sampingnya. Lengan Zevanya bergelayut manja pada lengan pemuda itu membuat Zulfa merasakan sakit di hatinya.

"Gak kok. Tadi ketemu di mini market depan," balas Zulfa setenang mungkin.

Zevanya mengangguk paham. "Sini! Kenalin ini Rafael, calon suami aku."

Hati Zulfa berdenyut nyeri. Cinta pertamanya hancur dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Ia memaksakan dirinya untuk tersenyum ramah.

"Oh! Selamat, ya, Zee. Semoga langgeng," doanya tulus. "Aku pamit ke kamar dulu, ya," pamitnya lalu segera bergerak menuju kamarnya.

“Bosan,” keluh Angel sembari tiduran di kursi rotan sembari memandang langit-langit. Ia mengangkat tangannya ke atas dan menutupi matanya—menghalau sinar matahari.

Jonathan menatapnya datar. Entah sudah keberapa kalinya ia mendengar saudara sepupunya mengeluh seperti itu. Ia bahkan sudah bosan mendengarnya. Ia melompat turun dari balkon yang didudukinya hendak masuk ke dalam rumah sang nenek.

“Kita main masak-masak, mau?” tanya Via menatap keempat sepupunya dengan mata berbinar. “Aku sudah minta sama Kak Calvint untuk mengambil kerak lilin sisa dari sembahyang.”

Mendengar hal itu, Angel, Valery, dan Christi menatapnya dengan penuh semangat. Sementara, Jonathan menatap keempat sepupunya itu dengan tatapan ngeri. Walau begitu, Jonathan tetap mengikuti sepupu-sepupunya bergerak menuju halaman belakang rumah sang nenek.

Begitu sampai di belakang, mereka segera bergerak mencari daun-daun yang bisa mereka gunakan untuk bahan memasak. Namun, daun yang lebih dominan mereka kumpulkan adalah daun pepaya. Selain karena dedaunan lain merupakan sayur yang ditanam sang nenek untuk dijual, daun pepaya merupakan daun yang paling gampang diambil karena amat sangat banyak di sana.

“Udah, nih. Kayaknya cukup,” ucap Angel puas. Ia menatap tumpukan daun pepaya dan beberapa daun—yang entah apa namanya—yang sudah mereka berlima petik. Ia menatap sekeliling dan berpikir.

Angel menepuk kedua tangannya keras membuat keempat sepupunya kaget. “Cari batu buat dijadikan tungku dan cari kaleng buat dijadikan kualinya. Ayo, cepat! Gerak!” komandonya penuh semangat dan langsung dilaksanakan oleh keempat sepupunya itu tanpa protes.

Angel mencari batu bersama Via dan Jonatahan. Sementara Valery dan Christi mengitari rumah nenek mereka untuk mencari kaleng kosong yang sudah tak digunakan lagi. Setelah hampir sepuluh menit mereka mencari, akhirnya mereka berlima berkumpul kembali membawa barang-barang tersebut.

“Oke! Sudah ada semua. Tinggal kerak lilinnya aja. Tunggu di sini, ya. Aku mau cari Kak Calvint dulu,” pinta Via semangat.

“Tunggu! Aku ikut!” seru Christi berlari masuk ke dalam rumah neneknya mengekori Via. Mereka berdua berbagi tugas untuk memeriksa seluruh ruangan yang ada di dalam rumah. Akan tetapi, nihil. Calvint tak ada di dalam rumah. Akhirnya keduanya pun memutuskan untuk berlari ke ladang belakang untuk mencari abang mereka itu.

“Ketemu!” seru Christi sembari berlari kencang ke arah Calvint.

“Kak, minta kerak lilin yang sudah Via pesan, dong!” pinta Christi tanpa basa-basi pada abangnya yang tengah memberi pupuk pada sayuran yang ditanaminya.

Calvint menoleh dan menatap adik sepupunya itu malas. “Tunggu kakak selesai ini dulu, ya?” ucapnya sambil tetap menyirami sayurannya dengan pupuk.

Lima menit pertama, Christi dan Via mengekori Calvint dalam diam. Namun, menit berikutnya, keduanya mulai menyuarakan rasa penasaran mereka dengan aktif hingga Calvint kewalahan menjawab pertanyaan kritis dari kedua gadis kecil yang berusia delapan tahun itu.

“Sudah! Kalau kalian ganggu terus, kapan kakak kelarnya?” bentak Calvint yang mulai hilang kesabaran.

Via mendengus. Ia balas menatap Calvint dengan tajam. “Kalau gitu bilang aja simpan di mana kerak lilinnya biar kami cari sendiri,” balas gadis kecil itu tak kalah garang dari si abang.

“Di belakang rumah nenek. Di dekat mesin jahit baju. Kalau kalian teliti pasti bisa dapat,” jawab Calvint enteng. Ia menggeleng kepalanya pasrah saat kedua adik sepupunya melesat tanpa pamit.

“Dapat!” Via memamerkan sekantung plastik penuh berisi kerak lilin. Ia juga memamerkan korek api yang berhasil ia ambil dari dapur sang nenek. Mereka kemudian menyusun bebatuan itu di dekat gudang sang nenek dan mulai acara memasak mereka.

“Aku mau pesan, ya, Bu! Cah sayurnya satu porsi,” ucap Valery bertingkah bak pembeli pada Christi.

Christi tersenyum dan mengangguk paham. “Bentar, ya, Kak. Lima menit lagi pesanannya bakalan siap,” balas Christi bak penjual profesional.

Sementara itu, Jonathan sibuk memotong-motong kerak lilin. Via sibuk memotong daun pepaya serta daun daun lainnya. Dan Angel sibuk memasak sayuran yang dipesan oleh Valery. Mereka bersenang-senang sambil sesekali bertukar peran.

Akan tetapi, saat Valery dan Via ingin bertukar peran siapa yang hendak memasak. Valery yang ingin menyerahkan posisinya tak sengaja menyenggol kaleng tersebut sehingga isinya—lelehan lilin—tumpah semua. Api membesar akibat tumpahan lilin tersebut hingga mulai membakar tanaman-tanaman yang ada di sana. Kepanikan pun melanda kelimanya.

“Air! Cepat ambil air!” seru Angel panik sembari berlari mencari ember untuk mengambil air. Begitu mendapatkan air, Angel segera menyiramkannya pada api. Tentu saja api tersebut tak padam lantaran masa jenis air lebih berat dibandingkan minyak. Jadi api tersebut, bukannya padam malah semakin meninggi akibat air yang menaikkan minyak tersebut.

Melihat hal itu, kelima bocah itu menjadi semakin panik. Chirsti dan Valeri bahkan sudah menangis dan membujuk Angel agar meminta bantuan pada orang tua saja. Namun, Angel tetap menolak karena takut dimarahi. Jonathan sibuk mencari cara memadamkan api tersebut.

“Tanah! Jo, cepat ambil tanah dan tutupin ke api itu,” titah Via tiba-tiba setelah terdiam cukup lama.

Jonathan yang panik dan masih belum bisa berpikir jernih hanya menggerakkan tubuhnya sesuai dengan yang diperintahkan. Setelah beberapa menit, tepat sebelum api merambat menyentuh dinding kayu gudang, mereka berhasil memadamkan api tersebut dengan tanah. Kelima bocah itu mendesah lega dan terduduk lemas di atas tanah.

“Ada apa? Tadi mama denger kalian teriak-teriak.” Yenny muncul dan menghampiri Via dengan panik.

Via menelan ludahnya dengan susah payah dan menggeleng pelan. “Gak ada, Ma,” bohongnya sambil menghindari sang mama. Ia bergerak membereskan peralatan main mereka. Matanya membulat sempurna saat mendapati dinding kayu tersebut sedikit gosong akibat dilalap api. Buru-buru ia menendangkan tanah untuk menutupinya. Diam-diam ia merasa beruntung mendengarkan penjelasan guru IPA-nya beberapa hari yang lalu.

Biar gak bingung, baca dulu ya Part1-nya.

Walau jantungku berdegup kencang akibat rasa takut yang mencekikku dengan kuat. Aku tetap menatap Pak Lubis dengan berani.

Ah! Gila! Apa yang sudah kulakukan? Mengapa aku melakukan hal tersebut? Gila! Gila! Sepertinya aku memang sudah gila. Dalam hati, aku terus memaki kebodohanku. Aku benar-benar tak tahu mengapa aku menariknya ke belakang dan malah maju ke depan menggantikannya.

Ah! Bunuh saja aku! Gila! Ingin rasanya aku berteriak, tetapi aku tetap harus menjaga kewarasan. Aku pun harus menjaga agar tampangku terlihat tenang. Aku melihat beliau mengangkat tangannya tinggi-tinggi, bersiap untuk memukulku.

Mampus aku! rutukku dalam hati. Kali ini aku pasti akan benar-benar mampus mendapat kebrutalan pukulan Pak Lubis. Walau sebenarnya aku pernah dipukuli oleh Mama lebih mengerikan dari ini, tetapi tetap saja hal itu sudah lama berlalu. Mengingat memori itu, tanpa sadar membuat kakiku gemetaran.

Aku menggerakkan kakiku sejenak agar tak ada yang tahu bahwa aku mengalami tremor. Aku menarik napas dalam dan menahannya, bersiap sedia menerima pukulan itu. Akan tetapi, pukulan itu tak kunjung datang.

"Loh? Kamu?" tanya Pak Lubis dengan suara heran.

Lantaran terlalu gugup dan juga takut, aku pun menjawab dengan suara yang cukup keras dan bergetar, "Ya, Pak. Saya."

Aku mendongakkan kepalaku yang entah kapan sudah menunduk demi melihat mimic wajah Pak Lubis. Aku melihat ia memijit pangkal hidungnya dan menatapku frustrasi.

Hah? Apa? Apa yang salah? Apa aku sudah berbuat kesalahan? Aku segera menoleh ke belakang dan menatap Venny dengan pandangan heran. Ia hanya menggedikkan bahunya tanda tak tahu. Aku pun kembali menatap Pak Lubis yang tengah menghela napas panjang.

“Kenapa kamu keluar?” tanyanya heran.

Eh? Loh, kok malah tanya aku kenapa? Apa salahnya kalau aku keluar di saat teman sebangkuku pun keluar? “Karna Venny dipanggil, saya juga keluar, Pak. Logikanya ‘kan harusnya Venny kalau ngobrol itu sama teman sebangkunya. Kalau Venny dibilang rebut, berarti saya juga karena saya teman sebangkunya. Kalau bukan sama saya, lantas Venny ributnya bareng siapa, Pak? Gak mungkin dia ngomong sendiri ‘kan, Pak?” tanyaku bingung.

Pak Lubis menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia menatap ke belakangku yang barisannya masih mengular. Di belakangku terdapat Venny, yang merupakan langganan juara 5 besar. Selain itu, yang juara pertama dan kedua pun mengantre di belakangnya menunggu giliran untuk dihukum.

Kini perasaan takut pun berganti menjadi perasaan bingung dan gelisah. Bingung akibat kefrustrasian Pak Lubis. Dan gelisah akibat tak bisa menebak apa yang ada di pikiran Pak Lubis saat ini. Aku meremas ujung rokku guna mengeringkan telapak tanganku yang sudah basah akibat keringat.

Semenit. Dua menit. Tiga menit. Lima menit sudah berlalu. Pak Lubis masih tetap setia dengan diamnya dan menatap barisan belakangku yang mengular. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat.

Ia menghadap ke depan, menolak untuk menatap barisan mengular yang siap mendapat hukuman. “Masuk!” titahnya membuat kami semua kebingungan. Walau begitu, setiap wajah menunjukkan mimik lega tanpa menyembunyikannya sama sekali.

“Kalian tunggu apa lagi?” tanya Pak Lubis lelah. “Masuk dan duduk di tempat masing-masing,” ulangnya lagi. Kali ini nadanya sudah kembali datar seperti biasa.

“Masuk, Pak? Hukumannya?” tanya Willy menyuarakan pertanyaan yang bordering di otak teman-temannya.

“Gak jadi,” ucap Pak Lubis pasrah. “Bapak tidak bisa menghukum orang yang tidak bersalah. Bagaimana mungkin Bapak menghukum mereka yang pendiam ini sementara ada beberapa dari kalian yang sering membuat keributan masih duduk dengan manis di tempatnya masing-masing. Sudahlah. Kalian duduk saja,” jelasnya membuat kami semua tak ragu untuk duduk lagi.

Begitu duduk, aku segera menyibukkan tanganku yang masih tremor untuk menyamarkannya. Aku membolak-balikkan lembar buku cetak milikku dan mencoba menggunakannya untuk menulis saat tremor yang kurasakan semakin mereda.

Jujur, aku sangat lega saat ini. Aku tak bisa membayangkan bagaimana pedasnya tamparan milik Pak Lubis. Aku yakin itu akan membuat telinga berdengung selama beberapa saat. Aku menarik napas panjang dan menatap Pak Lubis yang terlihat kecewa. Ya, kalau aku jadi beliau pun, aku pasti akan kecewa. Anak muridnya bandel semua, tukang membangkang. Pasti akan kecewa sekali. Aku tahu, beliau hanya ingin agar kami menjadi anak-anak yang baik.

“Sebelum Bapak memulai pelajaran hari ini, ada yang ingin Bapak sampaikan,” ucapnya pelan. Kami semua menunggu dengan penuh antisipasi. Perasaan takut dan marah akan dihukum pun kembali menguasai kami.

Pak Lubis menghela napas panjang sebelum melanjutkan pidatonya, “Bapak tak akan menghukum kalian lagi. Tetapi, Bapak mengharapkan satu hal dari kalian. Perhatikanlah pelajaran baik-baik. Baik itu berasal dari guru yang tidak kalian sukai, maupun yang kalian sukai. Itu akan berguna untuk masa depan kalian. Perhatikan juga pelajaran yang walau menurut kalian tak akan membantu kalian di masa depan karena tak ada yang  tahu di masa depan kalian akan seperti apa. Ambil apa yang bisa kalian ambil dari guru-guru di sini. Asal kalian tahu, di luar sana, tak ada guru-guru yang sebaik guru di sini. Di beberapa sekolah, murid-muridnya hanya diberikan buku dan sisanya mereka mencari tahu sendiri. Kenapa kalian yang sudah disuapi dan tinggal makan saja tak mau makan?

“Pikirkan baik-baik nasihat Bapak ini. Bapak ingin, semua anak Bapak sukses di kemudian hari. Makanya Bapak mendidik kalian sekeras ini. Bapak tidak ingin kalian hanya dikenal dengan kepintaran kalian tanpa akhlak yang mendukung kepintaran kalian itu. Bapak yakin kalian, anak-anak Bapak yang pintar, ini pasti mengerti apa maksud dari ucapan Bapak sekarang.” Pak Lubis menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan.

Kami menundukkan kepala. Mungkin sebagian besar dari teman-temanku tengah merenungi apa yang disampaikan oleh Pak Lubis. Mungkin sebagian dari mereka ada yang menolak nasihat dari beliau. Akan tetapi, aku yakin pasti ada yang menerima nasihat beliau. Apa yang beliau katakan memang bertujuan baik untuk kami semua dan aku percaya beliau bukan guru kejam yang hanya suka main tangan. Beliau guru yang baik dan menginginkan anak-anaknya menjadi generasi penerus yang sukses dan juga baik.

 

#30daysjournalingchallenge
#day27-part2