Cinta pada Pandangan Pertama

Senyum semingrah tercetak di bibir tipis Zulfa saat matanya tanpa sengaja melihat jam dinding. Tiga puluh menit lagi sudah bisa pulang. Ia pun menyelesaikan sisa pekerjaannya dengan semangat yang menggebu.

"Pulang! Pulang! Pulang cepat!" senandungnya riang tanpa menghiraukan Jimmy yang cekikikan melihat tingkah konyolnya. Bahkan jika ia melihat Jimmy menertawainya pun, ia tak kan peduli. Pasalnya, rasanya sudah lama sekali ia tak pulang tepat waktu.

"Ciahhh ... seneng amat bisa pulang tepat waktu, Bu," ledek Jimmy begitu melihat Zulfa membereskan barang-barangnya begitu pukul lima tepat.

Zulfa menoleh ke arah Jimmy dan tersenyum manis. "Jelas dong. Kan udah berapa ribu purnama aku gak pulang tepat waktu," balas Zulfa melebih-lebihkan. Padahal ia hanya tak pulang tepat waktu selama dua minggu terakhir saja.

"Halah! Gayanya gak pulang tepat waktu sampe ribuan purnama. Lebay amat, Bu," ejek Rima sembari menyampirkan selempangnya di bahu. Ia kemudian berlalu begitu saja setelah pamit tanpa memberikan Zulfa kesempatan untuk membalasnya.

Zulfa yang tak mau mood-nya hancur pun memilih segera hengkang dari kubikelnya. Ia berjalan penuh semangat sembari melompat-lompat kecil dan bergumam riang menuju lobi kantor. Begitu sampai di depan pintu utama. Semangat dan keriangan Zulfa hilang akibat langit mendung.

"Ah ... Kenapa harus hari ini sih mendungnya?" keluhnya kesal. Ia pun segera meluncur ke tempat parkir dan menyambar sepedanya, lalu mengayuhnya kencang.

Baru sepuluh meter jauhnya ia mengayuh, hujan pun turun dengan derasnya. Memaksa Zulfa untuk berteduh. Buru-buru, ia menepi di mini market terdekat dan masuk ke dalam. Melihat ada dispenser, Zulfa pun memutuskan untuk mengisi perutnya yang sudah memprotes minta diisi.

Zulfa mengambil satu buah mie cup dan sebungkus kopi instan. Ia kemudian membayar belanjaannya itu dan langsung menyeduhnya. Saat menunggu mienya matang, mata Zulfa menangkap sebuah siluet tinggi tegap yang tengah mengenyahkan bulir-bulir air yang jatuh di tubuhnya.

Sebuah senyum manis terkembang tatkala sosok tersebut masuk ke dalam mini market. Apalagi wajah tersebut tampan. Sorot mata pemuda itu terlihat hangat dan meneduhkan. Zulfa sampai tak kuasa mengalihkan pandang darinya.

Sesaat, Zulfa hanyut dalam lamunannya hingga sebuah dehaman menariknya kembali ke dunia nyata. Zulfa mendongak dan hanya bisa melongo dengan suksesnya. Pemuda yang Zulfa khayalan tadi, berdiri tepat di hadapannya sekarang dengan senyum ramah.

"Maaf. Boleh saya duduk di sini?" Suara lembut membelai gendang telinga Zulfa hingga membuat gadis itu kembali meluncur ke dunia khayalannya.

"Hmm ... Mbak?" Pemuda itu melambaikan tangannya di depan Zulfa sembari menatap Zulfa aneh.

Zulfa tersadar dan buru-buru mengangguk. "Ya, silakan," jawabnya setenang mungkin walau jantungnya bertalu dengan cepat.

Zulfa berusaha mengalihkan pandangannya pada mie miliknya sembari sesekali menyesap kopinya. Diam-diam ia mencuri lirik ke arah kanannya. Pemuda tampan itu menyesap kopinya dengan tenang sembari memainkan ponselnya.

Terkadang ada kerutan yang terbentuk di keningnya saat menggeser layar ponselnya. Kadang, ekspresi puas tercetak di wajah tampan tersebut. Zulfa tak bisa menahan senyumnya melihat perubahan ekspresi tersebut.

"Ada sesuatu di wajah saya?" tanya suara lembut itu membuat Zulfa yang sedang menyeruput mienya tersedak.

Wajahnya memerah akibat malu ketahuan melirik dan juga keselek. Ia terbatuk-batuk. Pemuda tersebut kaget bukan main mendapati reaksi Zulfa yang berlebihan. Walau begitu, tangan besar itu menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.

Setelah batuknya mereda, Zulfa menggeleng pelan.  "Tidak. Saya hanya melihat Anda karena kagum saja. Anda sangat tampan." Mata Zulfa terbelalak lebar begitu menyadari ucapannya.

"Maaf, saya permisi," pamit Zulfa lantaran tak kuat menanggung malu. Ia segera membereskan sampahnya dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian berlari keluar mini market dan mengayuh sepedanya dengan cepat.

Di sepanjang sisa perjalanan pulangnya, Zulfa merutuki mulutnya yang kelewat gila. Bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti itu kepada pemuda yang baru ia temui. Sesampainya di rumah, Zulfa mengerutkan keningnya dalam.

"Ada tamu?" gumamnya heran saat melihat mobil asing terparkir di depan rumah.

"Tante! Zul pulang!" ucapnya mendeklarasikan kepulangannya. Begitu sampai di rumah ia kaget bukan main.

"Kamu?" ucapnya bersamaan dengan pemuda yang tengah duduk di sofa.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Zevanya pada Zulfa dan pemuda yang duduk di sampingnya. Lengan Zevanya bergelayut manja pada lengan pemuda itu membuat Zulfa merasakan sakit di hatinya.

"Gak kok. Tadi ketemu di mini market depan," balas Zulfa setenang mungkin.

Zevanya mengangguk paham. "Sini! Kenalin ini Rafael, calon suami aku."

Hati Zulfa berdenyut nyeri. Cinta pertamanya hancur dalam waktu kurang dari dua puluh menit. Ia memaksakan dirinya untuk tersenyum ramah.

"Oh! Selamat, ya, Zee. Semoga langgeng," doanya tulus. "Aku pamit ke kamar dulu, ya," pamitnya lalu segera bergerak menuju kamarnya.

0 comments:

Posting Komentar