"Mmhh ...."
Erangan itu tertangkap oleh telingaku yang tengah melihat-lihat isi mejaku. Aku mengambil sebilah pisau dapur dan menguji ketajamannya. Menggesek-gesekkan ibu jariku ke mata pisaunya beberapa kali dan mengangguk puas.
Lalu, aku beralih menatap gunting rumput yang baru saja kuasah tadi pagi. Tanpa perlu mencobanya pun, aku yakin bahwa gunting tersebut tak begitu tajam. Aku sengaja membuatnya begitu untuk melakukan sesuatu yang bisa menyenangkanku nantinya.
Kulirik pemuda yang tengah menggeliat di tempat duduknya menandakan bahwa ia mulai tersadar. Kepalanya mendongak, matanya menyipit menghadap depan.
"Halo! Tidurmu nyenyak?" tanyaku seramah mungkin sembari tersenyum manis.
Matanya membelalak lebar membuatku merasa senang sekaligus bersemangat tentang reaksinya. Ia menggerak-gerakkan tubuhnya dengan brutal. Walau begitu, ia tak bisa mencapaiku setelah bertingkah seperti itu selama sepuluh menit. Tentu saja, aku sudah belajar mengikat dengan benar. Makanya ia tak akan lepas semudah itu.
"Sepertinya tidurmu kurang nyenyak, ya?" komentarku masih tetap ramah. Aku bergerak menuju tong besi yang berada beberapa meter di sebelah kanannya. Aku melempar tiga potong kayu ke dalam hingga terdengar suara gemeretak kayu yang terbakar.
Kulirik batangan besi dengan pegangan plastik itu dengan semangat yang menggebu. "Bagaimana kalau kita bermain dengan ini terlebih dahulu?" tanyaku senang.
Matanya membelalak panik. Ia pun semakin brutal menggerakkan badannya hingga suara lantai yang beradu dengan kaki kursi terdengar jelas dan menggema ke seluruh ruangan. Raungan tertahan akibat kain yang kujejalkan ke dalam mulutnya.
"Eh, lupa. Belum dilepas ternyata." Aku tertawa kecil dan mendekatinya. Semakin dekat dengannya, ia menjadi semakin tenang. Walau begitu, wajahnya berubah sangar dan tatapan matanya sangat tajam.
"Aw ... tatapanmu .... Ah! Aku peringatkan saja dulu, ya. Jangan menyesal, loh, nantinya!" peringatku padanya sembari menyeringai lebar. Tanganku terulur ke belakang kepalanya dan membuka ikatan kain yang kujejalkan ke dalam mulutnya.
Ia meludah dan menggeram pelan. "Kurang ajar! Lepasin aku! Dasar jalang gak tau diri!" umpatnya kasar penuh amarah.
Yah, aku juga tak bisa bilang apa-apa mengenai kemarahannya. Akan tetapi, sepertinya ini bukanlah saatnya untuk marah seperti itu. Aku rasa, aku sudah cukup baik. Aku mengangguk-anggukkan kepalaku tak acuh.
Cukup dengan omongan kasarnya. Saatnya aku bermain dengan puas. Aku mengambil batangan besi yang sebelumnya sudah kumasukkan ke dalam tong tempatku membakar kayu.
"Apa yang mau kamu lakuin? Hah?! Kamu gila! Sakit jiwa! Jangan berani kamu mendekat ke arah aku! Mundur!" racaunya panik membuat perutku tergelitik senang.
Aku semakin bersemangat mendekatinya, walau begitu, aku tetap menjaga langkah kakiku agar tetap sama. Perlahan mendekatinya, menikmati horor yang dihantarkan setiap syaraf tubuhnya.
"Mundur! Stop!" bentaknya panik. Wajahnya memucat. Tak ada lagi sisa-sisa keangkuhan di wajah culas itu. Yang kini tersisa hanyalah kengerian dan ketakutan yang luar biasa. Dan hal itu membuatku senang setengah mati.
Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu. Aku berhenti tepat satu langkah di depannya. Kuumbar senyum manisku untuknya. "Ayo kita bersenang-senang!" ujarku riang.
"Gak! Aku gak mau! Aku nolak!" Ia menggelengkan kepalanya ngeri.
Sebuah kekehan kecil meluncur dari bibirku. "Gimana, ya? Aku bukan minta persetujuan, tuh. Aku ngajak dan kamu gak boleh nolak. Jadi ...."
Aku menjeda perkataanku dan mulai menempelkan batangan besi panas itu di pangkal pahanya. Raungan kesakitan terdengar menggema di seluruh ruangan membuat seluruh syarafku bergetar hebat. Lagi. Aku mau lagi.
Aku menarik batangan besi itu dari pangkal pahanya dan tersenyum lebar. "Nyanyianmu indah sekali. Kita main lagi, ya."
Napasnya memburu. Wajahnya memerah. Bulir-bulir besar keringat meluncur dari dahi hingga ke leher. Urat-uratnya tercetak jelas. Ia terlihat amat sangat kesakitan, walau begitu ada sebersit perasaan lega di dalam matanya.
Aku mundur dan melemparkan batangan kayu tersebut masuk kembali ke dalam tong. Aku bergerak menuju meja yang ada di kirinya. Matanya mengikuti pergerakanku dengan ngeri. Matanya membelalak tak percaya begitu melihat isi mejaku.
Gunting rumput, pisau dapur, garpu, gergaji, palu, paku, cairan asam, dan masih banyak lagi alat-alat bermain lainnya. Aku mulai menimbang-nimbang apa yang harus aku ambil selanjutnya. Kuambil gunting rumput itu dan mencobanya.
Matanya membulat ngeri. Kepalanya ia gelengkan sembari menatapku memohon. "Cukup. Tolong aku! Aku bersalah. Tolong selamatkan aku. Aku mohon," mohonnya sembari terisak kecil.
Ah! Tak seru. Masa begini saja sudah nangis? Menyebalkan sekali. Mood bermainku hilang total. Aku pun memutuskan untuk meninggalkannya dan keluar dari gudang tersebut.
Di belakang, aku dengar dia bergumam penuh syukur. Aku juga mendengar lirihannya untuk mencari cara agar bisa kabur secepatnya.
Akan tetapi, aku minta maaf. Rencanamu tak akan pernah berhasil. Dengan cepat kubelokkan langkahku dan berlari ke arahnya sembari menyambar pemukul bisbol yang ada di dekat pintu masuk gudang. Ia melihatku dengan tatapan terkejut.
Namun, aku tak memberinya kesempatan untuk protes atau melakukan apapun. Aku langsung menghantam jidatnya dengan keras hingga jidatnya berdarah dan ia pingsan kembali.
0 comments:
Posting Komentar