Biar kalian gak kebingungan, bisa baca part 1-nya dulu ya. Selamat membaca :)
-----------------------------------------
Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengangkat wajahnya yang terkulai. Kuteliti wajah yang menurut orang-orang tampan itu dengan saksama. Menurutku, wajahnya semakin manis jika dihiasi oleh darah seperti ini.
Aku melirik jam tanganku sejenak. Sudah hampir satu jam dua puluh menit ia pingsan. Sepertinya ini sudah waktunya dia bangun dari tidur nyenyaknya. Aku mengambil air garam yang kubuat selagi aku menunggunya bangun. Namun, ternyata aku tak sabar menunggunya bangun sendiri.
Maka dari itu, aku memutuskan untuk membangunkannya saja. Pelan-pelan, kuguyur air garam tersebut dari atas ke bawah. Tak lupa kuhadapkan wajahnya ke atas agar ia bisa merasakan air tersebut mengalir melalui wajahnya. Benar saja, saat air tersebut menyentuh pahanya yang terluka. Keningnya mengernyit kesakitan.
Beberapa saat berlalu, erangan perih meluncur dari bibir yang sudah ia gigit dengan kuat. Aku tersenyum senang. Waktu bermainku sudah datang.
“Jangan! Jangan ditahan!” ucapku dengan suara merdu. “Keluarkan saja suaramu yang merdu itu. Aku ingin sekali mendengarnya,” pintaku lembut.
Namun, ia tetap keras kepala. Menolak untuk mengeluarkan suaranya hingga membuat kekesalanku membuncah. Aku menghentikan guyuranku dan mengambil tang kecil. Kemudian berjalan ke arahnya dengan langkah ringan, menebarkan horor pada dirinya.
Benar saja, matanya membelalak ngeri saat kupamerkan tang kecil tersebut. Ia menggeleng cepat sembari meneteskan keringat.
“Gak! Aku salah. Aku minta maaf. Tolong! Jangan! Aku mohon,” mohonnya dengan suara serak.
Aku tersenyum, seketika kesenanganku melambung tinggi. Aku bergerak ke belakangnya dan menyentuh tangannya lembut. Kurasakan jemarinya bergetar hebat dan semakin hebat saat aku menempelkan tang tersebut.
"Jangan! Please, aku mohon!" mohonnya lemah membuatku merasa puas.
Aku berdeham kecil. "No! No! Kita akan bermain sekarang," bisikku di telinganya sembari menyeringai kecil.
Kutempelkan tang tersebut di jempolnya membuat isakannya semakin jelas. Kesenangan memeluk seluruh tubuhku dengan lembut hingga aku merinding dibuatnya. Kujepit jempolnya hingga ia berteriak kesakitan.
"Argh .... Stop! Stop!" raungnya menggema. Bukannya berhenti, aku malah semakin kuat menjepit jempol tersebut hingga ruas jarinya jatuh disusul dengan ceceran cairan merah pekat berbau anyir ke lantai.
Napasnya memburu membuat sesuatu di dalam dadaku bergemuruh hebat. Raungan kesakitannya barusan benar-benar amat sangat membuatku bersemangat. "Lagi! Lagi!" seruku senang.
Setelahnya, aku menggunting jempol satunya lagi. Kemudian aku melemparkan tang tersebut ke sembarang arah karena tak ingin menggunakannya lagi. Aku berjalan pelan menuju meja sembari menimbang apa yang harus kugunakan selanjutnya.
"Menurutmu, kita harus main pakai apa?" tanyaku sembari menatap isi meja penuh pertimbangan.
Kemudian mataku terpancang pada gunting rumput. Aku mengambil gunting tersebut dan mengacungkan padanya. "Ini bagaimana? Aku penasaran akan sesuatu hal," ucapku penasaran.
Ia menatapku lemas. Tak menggeleng ataupun tak mengangguk. Mungkin ia sudah lelah dan pasrah. Aku mengangguk sekali dan berjalan ke arahnya menggenggam gunting tersebut.
"Aku penasaran bagaimana bisa kamu berteriak jika tak memiliki lidah," jelasku pelan padanya. Matanya membelalak ngeri. Ia menggeleng cepat, walau tak ada kata yang meluncur dari bibirnya.
Aku menarik lidahnya keluar. Ia menggeleng kuat, tetapi aku menahan lidahnya lebih kuat lagi. Dan dalam satu kali hentakan, lidah itu lepas. Air matanya mengalir deras. Tak ada teriakan, hanya erangan kesakitan.
Wajahnya memerah. Urat-uratnya menonjol keluar. Matanya meredup seolah memintaku agar mengakhiri penderitaannya saat ini juga. Akan tetapi, aku masih belum puas bermain.
Aku kembali ke meja dan mengambil cairan asam. Kemudian, kembali kepadanya. Memaksanya mendongak dan menuangkan cairan tersebut ke dalam mulutnya. Tubuhnya menggelepar saat cairan tersebut meluncur turun ke dalam perutnya.
Di antara cairan yang tertuang masuk, terdapat cairan merah pekat yang mendesak keluar saat ia terbatuk-batuk. Kepalanya terkulai lemas begitu aku tak menahannya lagi. Ia memuntahkan kembali cairan asam yang belum sempat ditelannya dan juga darah akibat lukanya organ di dalam tubuhnya.
Napasnya melemah. Matanya semakin redup. Ia terlihat pasrah. Aku pun sudah mulai bosan. Aku kembali dan mengambil garpu. Kemudian menancapkan garpu tersebut tanpa belas kasih.
Saat garpu tertancap sempurna, aku menariknya keluar. Aku juga melakukan hal yang sama pada mata yang lainnya. Kini, bukan hanya air mata yang mengalir deras. Namun, juga darah mengalir dari kedua matanya. Ia terlihat seperti seseorang yang menangis darah.
Aku tersenyum senang. "Terima kasih sudah bermain bersamaku," ucapku setulus mungkin.
"Airin! Apa yang sedang kamu lakukan?" bentakan itu membuatku kembali ke dunia nyata.
Aku menoleh ke kanan dan kiri. Ternyata aku tengah berada di lift bersama dengan Tomy, pemuda yang aku siksa sekaligus atasanku, dan Jeffry, rekan kerjaku.
"Kamu gak turun?" tanyanya ketus.
Aku mengerjap beberapa kali. "Turun, Pak." Aku melangkahkan kakiku keluar dari lift. Dan berjalan gontai di samping Jeffry.
Jeffry mendekatkan kepalanya ke telingaku. "Kamu tadi ngapain sih? Kok serem amat rasanya. Seringai sambil cekikikan," bisiknya pelan.
Aku tersenyum puas. "Siksa Tomy di dalam pikiranku. Aku menyiksanya hingga ia merasa lebih baik mati aja," jelasku sambil tersenyum puas.
0 comments:
Posting Komentar