“Bosan,” keluh Angel sembari tiduran di kursi rotan sembari
memandang langit-langit. Ia mengangkat tangannya ke atas dan menutupi
matanya—menghalau sinar matahari.
Jonathan menatapnya datar. Entah sudah keberapa kalinya ia
mendengar saudara sepupunya mengeluh seperti itu. Ia bahkan sudah bosan
mendengarnya. Ia melompat turun dari balkon yang didudukinya hendak masuk ke
dalam rumah sang nenek.
“Kita main masak-masak, mau?” tanya Via menatap keempat
sepupunya dengan mata berbinar. “Aku sudah minta sama Kak Calvint untuk
mengambil kerak lilin sisa dari sembahyang.”
Mendengar hal itu, Angel, Valery, dan Christi menatapnya
dengan penuh semangat. Sementara, Jonathan menatap keempat sepupunya itu dengan
tatapan ngeri. Walau begitu, Jonathan tetap mengikuti sepupu-sepupunya bergerak
menuju halaman belakang rumah sang nenek.
Begitu sampai di belakang, mereka segera bergerak mencari
daun-daun yang bisa mereka gunakan untuk bahan memasak. Namun, daun yang lebih
dominan mereka kumpulkan adalah daun pepaya. Selain karena dedaunan lain
merupakan sayur yang ditanam sang nenek untuk dijual, daun pepaya merupakan
daun yang paling gampang diambil karena amat sangat banyak di sana.
“Udah, nih. Kayaknya cukup,” ucap Angel puas. Ia menatap
tumpukan daun pepaya dan beberapa daun—yang entah apa namanya—yang sudah mereka
berlima petik. Ia menatap sekeliling dan berpikir.
Angel menepuk kedua tangannya keras membuat keempat
sepupunya kaget. “Cari batu buat dijadikan tungku dan cari kaleng buat
dijadikan kualinya. Ayo, cepat! Gerak!” komandonya penuh semangat dan langsung
dilaksanakan oleh keempat sepupunya itu tanpa protes.
Angel mencari batu bersama Via dan Jonatahan. Sementara
Valery dan Christi mengitari rumah nenek mereka untuk mencari kaleng kosong
yang sudah tak digunakan lagi. Setelah hampir sepuluh menit mereka mencari,
akhirnya mereka berlima berkumpul kembali membawa barang-barang tersebut.
“Oke! Sudah ada semua. Tinggal kerak lilinnya aja. Tunggu di
sini, ya. Aku mau cari Kak Calvint dulu,” pinta Via semangat.
“Tunggu! Aku ikut!” seru Christi berlari masuk ke dalam
rumah neneknya mengekori Via. Mereka berdua berbagi tugas untuk memeriksa
seluruh ruangan yang ada di dalam rumah. Akan tetapi, nihil. Calvint tak ada di
dalam rumah. Akhirnya keduanya pun memutuskan untuk berlari ke ladang belakang
untuk mencari abang mereka itu.
“Ketemu!” seru Christi sembari berlari kencang ke arah
Calvint.
“Kak, minta kerak lilin yang sudah Via pesan, dong!” pinta
Christi tanpa basa-basi pada abangnya yang tengah memberi pupuk pada sayuran
yang ditanaminya.
Calvint menoleh dan menatap adik sepupunya itu malas. “Tunggu
kakak selesai ini dulu, ya?” ucapnya sambil tetap menyirami sayurannya dengan
pupuk.
Lima menit pertama, Christi dan Via mengekori Calvint dalam
diam. Namun, menit berikutnya, keduanya mulai menyuarakan rasa penasaran mereka
dengan aktif hingga Calvint kewalahan menjawab pertanyaan kritis dari kedua
gadis kecil yang berusia delapan tahun itu.
“Sudah! Kalau kalian ganggu terus, kapan kakak kelarnya?”
bentak Calvint yang mulai hilang kesabaran.
Via mendengus. Ia balas menatap Calvint dengan tajam. “Kalau
gitu bilang aja simpan di mana kerak lilinnya biar kami cari sendiri,” balas
gadis kecil itu tak kalah garang dari si abang.
“Di belakang rumah nenek. Di dekat mesin jahit baju. Kalau
kalian teliti pasti bisa dapat,” jawab Calvint enteng. Ia menggeleng kepalanya
pasrah saat kedua adik sepupunya melesat tanpa pamit.
“Dapat!” Via memamerkan sekantung plastik penuh berisi kerak
lilin. Ia juga memamerkan korek api yang berhasil ia ambil dari dapur sang
nenek. Mereka kemudian menyusun bebatuan itu di dekat gudang sang nenek dan
mulai acara memasak mereka.
“Aku mau pesan, ya, Bu! Cah sayurnya satu porsi,” ucap
Valery bertingkah bak pembeli pada Christi.
Christi tersenyum dan mengangguk paham. “Bentar, ya, Kak.
Lima menit lagi pesanannya bakalan siap,” balas Christi bak penjual
profesional.
Sementara itu, Jonathan sibuk memotong-motong kerak lilin.
Via sibuk memotong daun pepaya serta daun daun lainnya. Dan Angel sibuk memasak
sayuran yang dipesan oleh Valery. Mereka bersenang-senang sambil sesekali
bertukar peran.
Akan tetapi, saat Valery dan Via ingin bertukar peran siapa
yang hendak memasak. Valery yang ingin menyerahkan posisinya tak sengaja
menyenggol kaleng tersebut sehingga isinya—lelehan lilin—tumpah semua. Api
membesar akibat tumpahan lilin tersebut hingga mulai membakar tanaman-tanaman
yang ada di sana. Kepanikan pun melanda kelimanya.
“Air! Cepat ambil air!” seru Angel panik sembari berlari
mencari ember untuk mengambil air. Begitu mendapatkan air, Angel segera
menyiramkannya pada api. Tentu saja api tersebut tak padam lantaran masa jenis
air lebih berat dibandingkan minyak. Jadi api tersebut, bukannya padam malah
semakin meninggi akibat air yang menaikkan minyak tersebut.
Melihat hal itu, kelima bocah itu menjadi semakin panik.
Chirsti dan Valeri bahkan sudah menangis dan membujuk Angel agar meminta
bantuan pada orang tua saja. Namun, Angel tetap menolak karena takut dimarahi.
Jonathan sibuk mencari cara memadamkan api tersebut.
“Tanah! Jo, cepat ambil tanah dan tutupin ke api itu,” titah
Via tiba-tiba setelah terdiam cukup lama.
Jonathan yang panik dan masih belum bisa berpikir jernih
hanya menggerakkan tubuhnya sesuai dengan yang diperintahkan. Setelah beberapa
menit, tepat sebelum api merambat menyentuh dinding kayu gudang, mereka
berhasil memadamkan api tersebut dengan tanah. Kelima bocah itu mendesah lega
dan terduduk lemas di atas tanah.
“Ada apa? Tadi mama denger kalian teriak-teriak.” Yenny
muncul dan menghampiri Via dengan panik.
Via menelan ludahnya dengan susah payah dan menggeleng
pelan. “Gak ada, Ma,” bohongnya sambil menghindari sang mama. Ia bergerak
membereskan peralatan main mereka. Matanya membulat sempurna saat mendapati
dinding kayu tersebut sedikit gosong akibat dilalap api. Buru-buru ia
menendangkan tanah untuk menutupinya. Diam-diam ia merasa beruntung
mendengarkan penjelasan guru IPA-nya beberapa hari yang lalu.
wah cerpennya ada materi sekolahnya. keren ih
BalasHapusaku juga baru tau kalau api dari minyak itu pakai tanah memadamkannya.
Jadi inget, pas kecil dulu aku juga sering main masak2an pakai api beneran heheb
BalasHapusIni mengingatkan masa kecilku, masak beneran pakai bekas kaleng susu..๐๐
BalasHapusWah keren cerpennya, gudang nenek terselamatkan gegara Via memperhatikan pelajaran ๐ ๐
BalasHapus