Cerbung Zulfa Heart's Problem Part12

 Yo! Yang sebelumnya udah dibaca belum?


Zulfa memindahkan angka-angka yang ada pada faktur ke dalam komputernya dengan gelisah. Setiap satu menit sekali, ia menjulurkan kepalanya tinggi-tinggi guna mengintip ke pintu ruangan mereka seolah tengah menunggu sesuatu. Lalu, kemudian ia mengetik lagi tanpa benar-benar mencurahkan perhatiannya pada pekerjaannya.

"Zulfa! Kamu kenapa? Saya perhatikan dari tadi, kamu terus-terusan melihat ke pintu masuk," tegur sebuah suara bariton yang amat sangat dikenali oleh Zulfa.

Zulfa meringis kecil, yakin bahwa sebentar lagi pria itu akan melontarkan sederet omelan yang bisa menulikan telinga. Ia berbalik dan menatap Noah dengan seringaian kecil. "Eh, Bapak," balasnya malu.

Noah menaikkan sebelah alisnya penuh tanya. Jawaban dari pertanyaannya belum ia dapatkan hingga ia pun memilih bersedekap di hadapan karyawannya itu. "Pertanyaan saya belum kamu jawab," tuntutnya pelan.

Zulfa menggaruk belakang telinganya akibat merasa malu sekaligus bersalah. Dirinya sungguh sial. Setiap kali berbuat hal yang aneh-aneh, pasti selalu tertangkap oleh mata Noah. Ia sangat heran. Apakah pria itu selalu memperhatikannya?

Zulfa segera menggeleng kuat mengusir pemikiran konyol tersebut. Akan tetapi, jika dipikirkan kembali itu memang masuk akal. Apalagi, di mata Noah dirinya hanya karyawan kurang ajar dan ceroboh. Bisa saja dengan alasan seperti itu, mata sang atasan terkunci padanya.

Zulfa melirik ke seberangnya, Rio menatapnya prihatin sambil tertawa diam-diam. Zulfa melotot pada Rio dan meminta Rio berhenti tertawa melalui kode yang ia kirimkan lewat pandangan mata. Bukannya berhenti, Rio malah semakin terbahak tanpa suara.

Geram. Zulfa mengacungkan kepalan tangannya pada pria itu.

"Kamu tidak senang saya bertanya apa yang kamu lakukan?" tanya Noah dengan suara tertahan.

Zulfa tersentak kaget. Ia melupakan fakta bahwa atasannya itu masih ada di hadapannya. Buru-buru ia meminta maaf. "Maaf, Pak. Saya lupa Bapak masih di sini," ungkapnya jujur.

Noah melotot tak senang. "Jadi, menurut kamu, saya tidak terlihat gitu? Iya?"

Rio tak dapat menahan gelak tawanya lagi. Begitu pula rekan kerja Zulfa yang lainnya. Zulfa merutuki mulutnya yang seenaknya meluncurkan kata-kata tanpa diproses terlebih dahulu oleh otaknya. Ia mendongak dan menatap Noah dengan perasaan bersalah.

“Maaf, Pak. Maksud saya bukan gitu. Intinya, Pak. Saya lagi kerja, lagi entry data pemasukan dan pengeluaran bulan ini,” ucap Zulfa seraya memamerkan faktur-faktur yang ada di mejanya.

Sebelah alis Noah terangkat, tatapan tak percaya ia tunjukkan secara terang-terangan pada karyawannya itu. Melihat itu, Zulfa jengkel sekali. Ingin sekali gadis itu mengambil garpu dan mencungkil bola mata yang berwarna hazel itu keluar.

“Bapak gak percaya sama saya?” tanya Zulfa tak terima dengan tatapan Noah.

Tanpa ragu, Noah mengangguk mantap hingga Zulfa hanya bisa melongo akibat kehabisan kata-kata. Telunjuk Noah bergerak dan menunjuk layar komputer gadis itu. Zulfa mengikuti arahan telenjuk atasannya dan matanya membelalak lebar.

Jelas saja pria itu tak percaya, ia bahkan tak mengerti apa yang tertuang pada layar komputernya itu. Begitu banyak angka dan simbol di dalam satu kolom dan letaknya berserakan. Zulfa meringis malu.

“Maaf, Pak. Saya salah,” pinta Zulfa menyesal.

Noah tak bisa berkata apa-apa, ia sudah lelah menghadapi karyawannya yang satu ini. Namun, ia juga tak bisa memecatnya karena memang membutuhkan tenaga gadis itu. Akhirnya ia hanya menghela napas panjang dan berlalu tanpa kata.

“Pak Noah marah banget kayaknya,” lirih Zulfa pelan seraya menghapus seluruh ketikan acak yang ia kerjakan sejak dua jam yang lalu. Ia menepuk kedua pipinya keras hingga rekan kerjanya yang lain kaget akibat suaranya.

Zulfa mengusap pipinya yang mulai memerah sembari meringis pelan. “Fokus, Zul! Fokus! Jangan sampai kamu dipecat! Ingat! Kamu butuh uang! Semangat!” serunya kecil pada dirinya sendiri.

Ia kemudian mengulang kembali pekerjaannya dengan benar. Saat semua sudah bersiap pulang, Zulfa masih setia di dalam kubikelnya untuk memindahkan data yang ada pada faktur ke dalam komputer. Sebuah tepukan halus mengagetkannya hingga ia pun mendongak.

“Apa?” tanyanya pada Rio agak ketus karena kesal dikagetkan.

Rio memutar bola matanya malas. “Kamu gak mau pulang?” tanya Rio sambil memamerkan sekelilingnya yang sudah kosong.

Zulfa mengangguk pelan. “Mau, tapi ini tanggung. Sisa dikit,” balasnya seraya mempercepat laju jarinya yang menari di atas tuts papan ketik. Sepuluh menit kemudian, Zulfa merenggangkan badannya dan mulai membereskan mejanya.

Setelah semuanya sudah rapi, ia memastikan kembali apakah ada faktur yang tertinggal di atas meja. Tidak ada. Senyum puas ia sunggingkan dan ia menyambar tas ranselnya, lalu berbalik hendak pulang. Saat berdiri, ia agak kaget mendapati Noah berada di belakangnya.

“Kok kamu belum balik?” Zulfa menyuarakan keheranannya.

Noah menggeleng pelan. “Nungguin kamu lah. Kamu sadar gak udah jam berapa sekarang?” tanya Noah seraya menggedikkan kepalanya ke arah jam dinding yang terpasang di atas pintu.

Mata Zulfa membelalak lebar. “Mampus! Aku telat!” rutuknya, lalu berlari keluar ruangan dengan panik. Di belakangnya, Noah menyusul gadis itu dengan keheranan yang mengisi kepalanya.

Ia mengikuti Zulfa yang masih berlari panik menuju jalan raya. Zulfa yang baru saja melangkahkan kakinya hendak menyeberang, hampir terjungkal ke belakang akibat tarikan kuat Rio.

“Nyebrang tuh liat-liat! Kamu bisa mati tau gak?! Jadi orang kok ceroboh banget, sih?!” omel Rio sambil melotot lebar. Walau begitu, matanya tetap menyusuri setiap jengkal tubuh Zulfa memastikan bahwa tak ada luka yang bersarang di tubuh gadis itu.

Zulfa masih bergeming di tempatnya. Terlalu syok untuk mengucapkan sesuatu. Akan tetapi, daripada syok hampir tertabrak truk yang lewat, ia lebih syok akibat omelan Rio yang terdengar cukup mengerikan di telinganya itu.

“Thanks,” ucap Zulfa setelah berhasil mengusir keterjutannya.

“Kurangi ceroboh kamu itu. Kalau masih ceroboh terus. Suatu hari nanti, kamu bakal celaka karna kecerobohan kamu. Sial-sial kamu bisa meninggal.” Rio masih setia dengan omelannya bak ibu-ibu yang tengah mengomeli anaknya yang nakal.

Zulfa terdiam. Beberapa saat berlalu, Rio sudah selesai memindai Zulfa dan memastikan tak ada luka yang bersarang. Ia pun menarik Zulfa kembali ke gedung kantor mereka dan menuju tempat parkir. Keduanya berhenti di depan sebuah motor gede berwarna hitam dengan stiker merah.

Rio dengan santai menaiki motor tersebut dan memakai helmnya. Setelahnya, ia menyodorkan sebuah helm berwarna merah pada Zulfa. “Pakai. Aku antar pulang,” titahnya final tak ingin dibantah.

 

[bersambung]

0 comments:

Posting Komentar