Yo! Yang sebelumnya udah dibaca belum?
Zulfa memindahkan angka-angka yang ada
pada faktur ke dalam komputernya dengan gelisah. Setiap satu menit sekali, ia
menjulurkan kepalanya tinggi-tinggi guna mengintip ke pintu ruangan mereka
seolah tengah menunggu sesuatu. Lalu, kemudian ia mengetik lagi tanpa
benar-benar mencurahkan perhatiannya pada pekerjaannya.
"Zulfa!
Kamu kenapa? Saya perhatikan dari tadi, kamu terus-terusan melihat ke pintu
masuk," tegur sebuah suara bariton yang amat sangat dikenali oleh Zulfa.
Zulfa meringis
kecil, yakin bahwa sebentar lagi pria itu akan melontarkan sederet omelan yang
bisa menulikan telinga. Ia berbalik dan menatap Noah dengan seringaian kecil.
"Eh, Bapak," balasnya malu.
Noah menaikkan
sebelah alisnya penuh tanya. Jawaban dari pertanyaannya belum ia dapatkan hingga
ia pun memilih bersedekap di hadapan karyawannya itu. "Pertanyaan saya
belum kamu jawab," tuntutnya pelan.
Zulfa menggaruk
belakang telinganya akibat merasa malu sekaligus bersalah. Dirinya sungguh
sial. Setiap kali berbuat hal yang aneh-aneh, pasti selalu tertangkap oleh mata
Noah. Ia sangat heran. Apakah pria itu selalu memperhatikannya?
Zulfa segera
menggeleng kuat mengusir pemikiran konyol tersebut. Akan tetapi, jika
dipikirkan kembali itu memang masuk akal. Apalagi, di mata Noah dirinya hanya
karyawan kurang ajar dan ceroboh. Bisa saja dengan alasan seperti itu, mata
sang atasan terkunci padanya.
Zulfa melirik
ke seberangnya, Rio menatapnya prihatin sambil tertawa diam-diam. Zulfa melotot
pada Rio dan meminta Rio berhenti tertawa melalui kode yang ia kirimkan lewat
pandangan mata. Bukannya berhenti, Rio malah semakin terbahak tanpa suara.
Geram. Zulfa
mengacungkan kepalan tangannya pada pria itu.
"Kamu
tidak senang saya bertanya apa yang kamu lakukan?" tanya Noah dengan suara
tertahan.
Zulfa tersentak
kaget. Ia melupakan fakta bahwa atasannya itu masih ada di hadapannya.
Buru-buru ia meminta maaf. "Maaf, Pak. Saya lupa Bapak masih di
sini," ungkapnya jujur.
Noah melotot
tak senang. "Jadi, menurut kamu, saya tidak terlihat gitu? Iya?"
Rio tak dapat
menahan gelak tawanya lagi. Begitu pula rekan kerja Zulfa yang lainnya. Zulfa
merutuki mulutnya yang seenaknya meluncurkan kata-kata tanpa diproses terlebih
dahulu oleh otaknya. Ia mendongak dan menatap Noah dengan perasaan bersalah.
“Maaf, Pak. Maksud saya bukan gitu.
Intinya, Pak. Saya lagi kerja, lagi entry data pemasukan dan pengeluaran bulan
ini,” ucap Zulfa seraya memamerkan faktur-faktur yang ada di mejanya.
Sebelah alis Noah terangkat, tatapan tak
percaya ia tunjukkan secara terang-terangan pada karyawannya itu. Melihat itu,
Zulfa jengkel sekali. Ingin sekali gadis itu mengambil garpu dan mencungkil
bola mata yang berwarna hazel itu keluar.
“Bapak gak percaya sama saya?” tanya
Zulfa tak terima dengan tatapan Noah.
Tanpa ragu, Noah mengangguk mantap hingga
Zulfa hanya bisa melongo akibat kehabisan kata-kata. Telunjuk Noah bergerak dan
menunjuk layar komputer gadis itu. Zulfa mengikuti arahan telenjuk atasannya
dan matanya membelalak lebar.
Jelas saja pria itu tak percaya, ia
bahkan tak mengerti apa yang tertuang pada layar komputernya itu. Begitu banyak
angka dan simbol di dalam satu kolom dan letaknya berserakan. Zulfa meringis
malu.
“Maaf, Pak. Saya salah,” pinta Zulfa
menyesal.
Noah tak bisa berkata apa-apa, ia sudah
lelah menghadapi karyawannya yang satu ini. Namun, ia juga tak bisa memecatnya
karena memang membutuhkan tenaga gadis itu. Akhirnya ia hanya menghela napas
panjang dan berlalu tanpa kata.
“Pak Noah marah banget kayaknya,” lirih
Zulfa pelan seraya menghapus seluruh ketikan acak yang ia kerjakan sejak dua
jam yang lalu. Ia menepuk kedua pipinya keras hingga rekan kerjanya yang lain
kaget akibat suaranya.
Zulfa mengusap pipinya yang mulai memerah
sembari meringis pelan. “Fokus, Zul! Fokus! Jangan sampai kamu dipecat! Ingat!
Kamu butuh uang! Semangat!” serunya kecil pada dirinya sendiri.
Ia kemudian mengulang kembali
pekerjaannya dengan benar. Saat semua sudah bersiap pulang, Zulfa masih setia
di dalam kubikelnya untuk memindahkan data yang ada pada faktur ke dalam
komputer. Sebuah tepukan halus mengagetkannya hingga ia pun mendongak.
“Apa?” tanyanya pada Rio agak ketus
karena kesal dikagetkan.
Rio memutar bola matanya malas. “Kamu gak
mau pulang?” tanya Rio sambil memamerkan sekelilingnya yang sudah kosong.
Zulfa mengangguk pelan. “Mau, tapi ini
tanggung. Sisa dikit,” balasnya seraya mempercepat laju jarinya yang menari di
atas tuts papan ketik. Sepuluh menit kemudian, Zulfa merenggangkan badannya dan
mulai membereskan mejanya.
Setelah semuanya sudah rapi, ia
memastikan kembali apakah ada faktur yang tertinggal di atas meja. Tidak ada.
Senyum puas ia sunggingkan dan ia menyambar tas ranselnya, lalu berbalik hendak
pulang. Saat berdiri, ia agak kaget mendapati Noah berada di belakangnya.
“Kok kamu belum balik?” Zulfa menyuarakan
keheranannya.
Noah menggeleng pelan. “Nungguin kamu
lah. Kamu sadar gak udah jam berapa sekarang?” tanya Noah seraya menggedikkan
kepalanya ke arah jam dinding yang terpasang di atas pintu.
Mata Zulfa membelalak lebar. “Mampus! Aku
telat!” rutuknya, lalu berlari keluar ruangan dengan panik. Di belakangnya,
Noah menyusul gadis itu dengan keheranan yang mengisi kepalanya.
Ia mengikuti Zulfa yang masih berlari
panik menuju jalan raya. Zulfa yang baru saja melangkahkan kakinya hendak
menyeberang, hampir terjungkal ke belakang akibat tarikan kuat Rio.
“Nyebrang tuh liat-liat! Kamu bisa mati
tau gak?! Jadi orang kok ceroboh banget, sih?!” omel Rio sambil melotot lebar.
Walau begitu, matanya tetap menyusuri setiap jengkal tubuh Zulfa memastikan
bahwa tak ada luka yang bersarang di tubuh gadis itu.
Zulfa masih bergeming di tempatnya.
Terlalu syok untuk mengucapkan sesuatu. Akan tetapi, daripada syok hampir
tertabrak truk yang lewat, ia lebih syok akibat omelan Rio yang terdengar cukup
mengerikan di telinganya itu.
“Thanks,” ucap Zulfa setelah berhasil
mengusir keterjutannya.
“Kurangi ceroboh kamu itu. Kalau masih
ceroboh terus. Suatu hari nanti, kamu bakal celaka karna kecerobohan kamu.
Sial-sial kamu bisa meninggal.” Rio masih setia dengan omelannya bak ibu-ibu
yang tengah mengomeli anaknya yang nakal.
Zulfa terdiam. Beberapa saat berlalu, Rio
sudah selesai memindai Zulfa dan memastikan tak ada luka yang bersarang. Ia pun
menarik Zulfa kembali ke gedung kantor mereka dan menuju tempat parkir.
Keduanya berhenti di depan sebuah motor gede berwarna hitam dengan stiker
merah.
Rio dengan santai menaiki motor tersebut
dan memakai helmnya. Setelahnya, ia menyodorkan sebuah helm berwarna merah pada
Zulfa. “Pakai. Aku antar pulang,” titahnya final tak ingin dibantah.
0 comments:
Posting Komentar