“Woi!” Sebuah tepukan mendarat di bahuku dengan keras.
Amarahku yang sudah sempat mereda, kembali melejit tinggi. Aku memelototi oknum
yang baru saja menabokku dengan tajam.
“Ups! Sori. Aku ada perlu sama kamu. Jangan marah, ya!”
ucapnya menyesal sembari mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Ia
menatapku dengan mata berbinar sedih.
Aku menghela napas gusar. Saat ini suasana hatiku tengah
buruk dan aku sedang tak ingin berbicara dengan siapapun. “Penting gak?”
Akhirnya kuputuskan untuk bersuara. Ia meringis akibat suaraku yang terdengar
amat sangat ketus.
Jujur saja. Aku memang benar-benar kesal sekarang. Jadi, aku
tak akan berbaik hati meladeninya jika hal tersebut tak penting.
Ia menggigit bibir bawahnya gelisah. Seolah tak yakin dengan
apa yang harus dikatakannya. Sesekali tangannya mengusap tengkuk belakangnya
gugup. Ia menatap ke dalam mataku gugup. Berdeham beberapa kali sebelum
akhirnya mengeluarkan suaranya. “Penting gak penting, sih,” ucapnya resah.
Kulihat ia meringis sembari menutup matanya rapat-rapat.
Mungkin ia takut aku pukul atau apa. Entahlah. Namun, yang jelas aku tak
sebegitu ringan tangannya hingga akan memukuli siapapun yang membuatku kesal. Aku
menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
Tenang! Jangan luapin
amarah kamu pada seseorang yang tak ada hubungannya sama sekali. Tenang! rapalku
dalam hati agar aku bisa lebih tenang melakukan perbincangan dengannya.
“Ada apa? Katakan saja,” ucapku dengan nada yang biasa-biasa
saja.
Kulihat ia menghela napas lega dan mulai berani menatapku
saat berbicara. “Itu ... ada sedikit masalah soal tugas Pak Agus. Tugas yang
kita kumpul tadi ... menurut Pak Agus punyamu gak ada. Padahal tadi aku yakin
lihat kamu kumpul. Dan Hansen pun bilang begitu, tetapi Pak Agus bersikeras
kalau kamu gak kumpul. Sekarang di ruang dosen tengah ribut.”
Sekali lagi ia memejamkan matanya takut. Kulihat kakiknya
pun sudah mengambil ancang-ancang untuk segera kabur dari sini. Dan benar saja,
begitu aku menghela napas dengan kasar.
“Kamu temui saja Hansen sekarang. Dia ada di ruang Pak Agus,”
ucapnya sebelum mengambil langkah seribu dan menghilang dari pandanganku.
Aku pun berbalik menuju ruang dosen sambil menyumpal
telingaku dengan earphone dan memutar
lagu dengan volume penuh. Sebelum kakiku membawaku ke ruang dosen, entah
mengapa kakiku membawaku ke ruang kelas tadi. Aku menyusuri kelas yang sudah
kosong itu dan menatap meja dosen dengan cermat. Tak ada makalah yang
tertinggal. Itu berarti harusnya makalah milikku dibawah oleh Hansen ke meja
dosen.
Namun, aku juga tak bisa secepat itu mengambil kesimpulan.
Aku pun bergerak cepat ke meja yang diduduki oleh Hansen tadi dan memeriksanya
dengan teliti. Nihil. Tak ada makalah di sana. Jangankan makalah, selembar
kertas pun tak ada di atas maupun bawah mejanya. Aku menyerah, aku memilih
untuk keluar dari kelas tersebut.
Baru saja aku menyeret langkahku keluar menuju ruang dosen. Sudut mataku mendapati
sesuatu yang menarik perhatianku dari dalam tempat sampah di depan kelas. Aku pun
mendekatinya. Mataku membulat tak percaya saat melihat apa itu. Makalahku!
Dasar anak monyet! Siapa orang yang berani-beraninya membuang makalah yang
sudah kususun tanpa tidur nyenyak selama tiga hari belakangan ini? Jika saja
aku tahu siapa orangnya, aku akan memelintir lehernya.
Akan tetapi, sekarang bukan itu yang penting. Aku harus segera meluncur ke ruang dosen dan menyerahkan makalahku pada Pak Agus sebelum beliau benar-benar mencoret namaku di kolom daftar tugas. Begitu sampai di sana, aku melihat Hansen yang tengah memohon pada Pak Agus.
"Pak, saya yakin tadi Elvina sudah menyerahkannya pada saya. Saya mohon Bapak mau memberikan kelonggaran waktu padanya. Nanti akan saya sampaikan padanya," mohon Hansen yang tak diacuhkan oleh Pak Agus.
Aku mendekat dan menghadap dosenku yang terkenal galak itu. Aku menyentuh lengan Hansen agar ia tahu bahwa aku sudah ada di sana untuk memberikan pembelaan. "Pak, ini makalah yang sudah saya kerjakan." Aku langsung menyodorkan makalah lusuh milikku pada Pak Agus.
"Baru saja kamu kerjakan, 'kan? Makalah kamu tidak saya terima karena sudah melebihi batas waktu pengumpulan," tegasnya tak ingin dibantah.
Tanganku terkepal kuat, saking kuatnya aku merasakan sakit pada telapak tanganku akibat tergores kuku. Aku menarik napas dalam dan berusahan menekan amarah yang sudah hampir meledak tersebut. "Saya sudah selesaikan sejak jam 1 dini hari. Dan ini juga saya sudah kumpulkan pada Hansen bersama teman-teman yang lain, tapi saya tidak tahu kenapa makalah saya ini bisa ada di tempat sampah," ucapku membuka pembelaan diriku.
"Bagaimana kalau Bapak ambil dulu makalah ini dan berikan tugas tambahan karena Elvina sudah mengumpulkan makalahnya melebihi batas waktu yang sudah Bapak berikan?" tanya Hansen membuatku memelototinya geram.
Jelas saja! Tugas kami masih banyak dan dia memintaku berkutat dengan tugas baru lagi? Aku sudah sangat ingin bermesraan dengan kasurku dan dia menyarankan agar aku berkencan kembali dengan tugass? Luar biasa sekali temanku yang satu ini. Jika saja aku tak ingat bahwa saat ini kami sedang berada di ruang dosen, aku pasti sudah menempeleng kepalanya itu. Dia yang sudah menyebabkan makalahku masuk ke tempat sampah dan berakhir dengan hal seperti ini, malah menyarankanku untuk membuat makalah baru.
"Baiklah! Dua hari lagi, kumpulkan makalah mengenai manajemen pemasaran. Jangan lupa untuk menyertakan data-data perusahaan yang relevan di makalah kamu," putus Pak Agus tanpa bisa kubantah sama sekali. Ia menerima makalah lusuh itu dan meletakkannya di tumpukan teratas tugas kelasku.
Begitu keluar dari ruang dosen, Hansen segera membawaku ke kantin kampus. Tanpa pikir panjang, aku langsung duduk di pojok kantin dan meletakkan kepalaku ke atas meja dan memejamkan mata. Sementara kedua tanganku aktif menyumpal telingaku dengan earphone. Baru saja hentakan musik yang keras menyapa gendang telingaku, aku merasakan dingin yang luar biasa menyentuh lenganku.
Aku mengangkat wajah dan mendapati soda dingin yang disodorkan oleh Hansen. Sebuah coklat dan seringaian juga ia hadiahkan untukku. "Makan dan minumlah. Kamu pasti bakal baik-baik saja seperti biasanya," ucapnya tanpa beban. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan berat. "Sori, kalau tadi aku langsung kumpulin tugas itu, pasti punyamu gak bakal hilang dan berakhir di tong sampah," lanjutnya lagi dengan mimik menyesal.
"No prob. Semua udah kejadian, mau disesali seperti apapun juga bakal sama aja. Lebih bagus sekarang aku pulang, terus tidur. Biar perasaanku lebih baik. By the way, thanks coklat sama minumnya." Aku berjalan menjauh meninggalkannya. Saat aku mengingat kembali kebaikannya di ruang dosen tadi, aku berbalik. "Hansen! Thanks juga buat yang tadi di ruang dosen."
Sesampainya di kos, aku segera merebahkan tubuh lelahku di atas kasur. Kupejamkan mata, tak lupa menyumpal telinga dengan alunan lagu. Setelahnya aku tidur sepanjang hari untuk menenangkan emosiku. Lagu dan tidur, memang hal yang paling dibutuhkan ketika sedang kesal.
#30daysjournalingchallenge
#day30
0 comments:
Posting Komentar