“Ini!” Mata Bintang membelalak lebar dan tangannya bergerak
menutup mulutnya saking tak percayanya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Mendadak, dadanya terasa sesak. Ia sangat mengesalkan mengapa Liliana sama
sekali tak mengatakan apapun padanya. Padahal ia selalu menceritakan semua hal
pada Liliana hingga hal sepele seperti ia melihat orang yang membuang ingus
sembarangan.
“Lili!” bentak Bintang gemas membuat Liliana yang hendak
menggendong bocah kecil berusia sekitar 4 tahun menegak dengan cepat.
Liliana berbalik dan menatap Bintang dengan mata terbelalak lebar.
“Bin-Bintang?” serunya kaget. Kakinya melangkah mundur dengan pelan, setelah
menilai situasi sejenak, Liliana membalikkan badannya dan langsung menyambar
bocah kecil itu dan masuk ke dalam rumah. Namun, ia terlambat, Bintang lebih
cepat darinya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Bintang. Wajahnya mengeras melukiskan
seberapa besar rasa kecewanya pada Liliana. Gadis yang sering mengatakan bahwa
ia sahabatnya malah kabur—bukan hanya sekali, tetapi dua kali—setelah melihatnya.
“Kenapa kabur terus? Memangnya aku hantu?” tanyanya tak terima.
Liliana menelan ludah gugup. “Bu-bukan kayak gitu,” sergah.
Liliana menatap kakinya yang sedang ia tending-tendangkan ke lantai—kebiasaannya
ketika cemas ataupun gugup. Bibir bawahnya ia gigit hingga merah.
“Kita kan sahabat, Li. Kamu bebas cerita apa aja ke aku,” ungkap Bintang
pelan. “Aku bakal bantu kamu sebisa aku, kalau pun gak bisa. Setidaknya aku mau
ngeringanin beban kamu dengan mendengar apa uneg-uneg kamu sekarang,” jelas
Bintang mengungkapkan apa yang ia ingin ungkapkan sejak tahun lalu.
Air mata Liliana menetes mendengarnya. Isakan kecil pun mulai
meluncur dari bibirnya. “Ini anakku.” Liliana memulai percakapan dengan
menunjukkan wajah bocah kecil yang amat manis itu. Kedua matanya besar menatap
polos dan penuh keingintahuan pada Bintang membuat kedua sudut bibir Bintang
tertarik lebar. Pipinya yang tembam membuat siapa saja ingin mencoba
menjawilnya barang sekali saja.
Bintang pun tak kuasa menahan keinginannya itu, disentuhnya pipi
gembil itu dengan gemas. “Halo, Manis. Namanya siapa, Sayang?” tanyanya sembari
mendekatkan wajahnya pada anak lucu itu.
Mata besar itu sempat melirik Liliana sebentar, lalu menatap
Bintang kembali dengan perasaan ingin tahu. “Ulan,” ucapnya dengan suara
cadelnya.
Kening Bintang berkerut dalam. Huh? Ulan? Bulan? Wulan? Mulan?
Begitu banyak nama berputar di otak Bintang. Fokus Bintang terpecah ketika
mendengar suara kekehan merdu yang amat sangat ia rindukan.
“Bulan. Namanya Bulan,” ujar Liliana setelah berhasil meredakan tawanya.
Bintang mendengkus sebal, tahu bahwa yang tengah menjadi objek
tertawaan adalah dirinya. Sementara, Bulan menatap ibunya dengan padangan
heran. “Kan wajar aku bingung. Coba kamu pikir, seberapa banyak nama anak cewek
yang berakhir dengan Ulan?” sungut Bintang. Walau bersungut, gadis itu terlihat
senang. Terbukti dengan senyum yang masih belum luntur dari wajahnya. Tangan
putih mulusnya pun masih sibuk memainkan pipi gembil Bulan.
“Halo, Bulan. Kamu cantik, persis mama kamu,” pujinya sambil
menoel-noel pipi Bulan dengan gemas. “Aku mau gendong,” gumam Bintang gemas.
Refleks, Bulan merentangkan kedua tangannya pada Bintang. Bintang
sempat bingung sejenak, sebelum akhirnya menggendong Bulan karena Liliana
menyerahkan bocah kecil itu padanya.
“Namanya Bulan karena aku selalu ingin merasa dekat sama kamu,”
jelas Liliana tanpa diminta. “Waktu aku ikut olimpiade Fisika itu … Kak Fikri ….”
Suara Liliana menghilang ditelan isak tangis.
Bintang mengulurkan tangannya yang bebas untuk menepuk pundak
Liliana. Ia paham sekarang, rumor yang ia dengar di sekolah, bukan rumor
semata. Rumor bahwa Liliana menggoda Fikri saat olimpiade Fisika dan berakhir
hamil. Namun, pastinya kenyataannya berbeda dengan itu karena ia kenal dengan
Liliana. Ia juga tahu bagaimana berengseknya Fikri.
“Fikri,” desis Bintang marah, “aku pasti bakal bikin perhitungan
sama kamu,” lanjutnya lagi penuh dendam.
Liliana memegang lengan Bintang pelan membuat Bintang menatapnya
gemas. Liliana menggeleng pelan. “Aku dengar, Kak Fikri kena HIV. Keadaannya
semakin buruk karena dia juga nyentuh obat-obatan terlarang.”
Napas Bintang tercekat. “Jadi kamu?”
Liliana mengangguk pelan. Matanya menatap Bulan penuh kasih dan
juga kesedihan. “Waktuku tak begitu banyak lagi,” ujar Liliana sambil lalu
seolah hal tersebut bukanlah apa-apa.
Tangan Bintang terkepal kuat. Giginya bergemeletak kuat. Ia
berjanji dalam hati, setidaknya ia harus melayangkan satu pukulan kuat di
kepala Fikri kalau tidak bisa menghajarnya habis-habisan.
Liliana mengusap lengan Bintang lembut. Ditariknya masuk Bintang
ke dalam rumah kontrakannya. Walau luarnya terlihat kotor, tetapi di dalamnya
sangat nyaman dan juga bersih serta rapi, khas Liliana. Bintang memangku Bulan
sembari memainkan rambut hitam legamnya yang masih pendek.
#day12
#jurnalHydramates
#cerbung
0 comments:
Posting Komentar