Cerpen Liliana - 2



Sebelumnya


“Aku ....” Liliana menunduk, menatap kedua kakinya yang sedang ia sepak-sepakan ke atas lantai. Kedua jemarinya saling melilit cemas.

 

Di sebelahnya, Bintang memandanginya dengan gemas. Digenggamnya kedua jemari yang saling melilit itu dengan kedua tangannya hingga membuat Liliana mendongak dan menatapnya heran. Seulas senyum ditariknya lembut. Ia pun tak mengatakan apa seolah menunggu Liliana-lah yang memecah keheningan terlebih dahulu.

 

Senyum Bintang menular pada Liliana. Bahunya kini sudah tak setegang tadi. Kedua tangannya pun sudah berhenti saling melilit. Kakinya juga sudah berhenti menendang. Ia menatap Bintang, lalu menatap lurus ke depan; ke arah langit biru yang mulai berubah menjadi jingga.

 

“Aku—“ Liliana menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak. Kedua matanya mulai berkaca-kaca dan memerah dengan cepat. Liliana mendongak sebentar, mencegah kristal bening yang mulai mendesak turun. “Sepertinya aku harus berhenti sekolah,” ujarnya cepat dan sangat pelan, hampir menyerupai bisikan.

 

Namun, kalimat itu terdengar begitu jelas di telinga Bintang. Ia langsung menatap Liliana heran. Apa maksudnya itu? Setahunya, Liliana tak pernah memiliki masalah apapun. Ya, mungkin masalah biaya sekolah, tetapi itu selalu tertutupi dengan beasiswa prestasi yang diraih oleh gadis itu.

 

“Kenapa?” lirih Bintang lemah.

 

Liliana hanya mengangkat bahunya dan tersenyum tipis. “Begitulah,” desahnya pelan. “Itu terjadi begitu saja,” lanjutnya lagi dengan suara yang terdengar sangat jauh.

 

Kepala Bintang terasa kosong. Ia sungguh tak mengerti. Ia bahkan tak bisa mempercayai pendengarannya barusan. Akan tetapi, semua yang ia dengar adalah kebenarannya. Esoknya, ia tak menemukan Liliana di mana pun di sekolah itu. Bahkan, saat ia bertanya pada guru-guru pun, mereka hanya bisa menggeleng pelan dengan senyum miris yang melekat di wajah mereka.

 

Kekecewaan dan amarah menyelimutinya dengan cepat. Ia merasa dikhianati oleh Liliana karena gadis itu tak mengatakan apa-apa dan malah menghilang begitu saja. Pamit pun tak dilakukan oleh gadis itu.

 

Satu minggu penuh, ia mencari Liliana ke sana ke mari, bahkan sampai menyambangi rumahnya—yang ternyata sudah kosong entah sejak kapan. Bintang memilih untuk melanjutkan hidupnya dan mencari teman baru. Walau awalnya sulit, tetapi ia mulai terbiasa dan dengan cepat akrab dengan anak-anak yang lainnya.

 

@_@

 

Desember 2020

 

“Aku kan sudah bilang kalau aku bisa sendiri.”

 

Bintang berjengit mendengar suara bernada tinggi itu. Selang beberapa detik, ia langsung menoleh ke asal suara karena ia sangat mengenali suara tersebut. Tiga meter dari tempatnya berdiri, seorang gadis berpakaian lusuh dengan rambut dicepol asal-asalan tengah menyambar sebuah kantongan besar berwarna hitam dari tangan seorang pemuda.

 

“Lili?” desis Bintang kaget.

 

Gadis itu menoleh saat mendengar namanya didesiskan dengan nada penuh kerinduan. Wajahnya memutih saat melihat gadis seumurannya yang amat dikenalinya itu. Panik, ia pun meninggalkan semua barang dagangannya dan berlari menghindar.

 

“Lili!” teriak Bintang kaget melihat Liliana berlari menjauhinya. “Liliana!” panggilnya sekali lagi, tetapi sahabatnya itu terus berlari tanpa menoleh sama sekali. Beberapa kali, gadis itu menabrak orang dan berbalik serta membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf.

 

Napas Bintang terengah. Ia meraup oksigen sebanyak yang ia bisa sebelum lanjut menganyunkan kakinya dengan cepat menyusul Liliana—yang ia yakini juga merasa kelelahan. Setelah merasa pasokan oksigennya sudah cukup, Bintang melangkahkan kakinya mantap menyusuri arah yang sebelumnya dilalui oleh Liliana.

Kini, ia tak lagi memanggil gadis itu, ia hanya mengikuti gadis itu diam-diam. Beberapa menit yang lalu, ia mendapati Liliana menarik napas dengan terengah-engah sambil menatap sekeliling dengan was-was. Beruntung, tempat itu cukup ramai hingga ia tersembunyi di balik keramaian. Ia bisa melihat Liliana yang menolehkan kepalanya dengan heboh untuk mencari jejaknya dan saat tak menemukan jejaknya Liliana menarik napas lega.

 

Bintang tersenyum kecil. Liliana, temannya, masih sepolos dulu. Ia tak mau repot-repot untuk mengecek dengan benar jika sudah merasa yakin. Gadis itu cenderung ceroboh dan masa bodoh. Walau begitu, ia baik hati dan pintar makanya Bintang sangat menyayanginya.

 

Diam-diam membuntuti Liliana seperti ini membuat Bintang menyadari bahwa amarah dan kekecewaannya sejak 5 tahun lalu sudah habis terkikis begitu melihat wajah Liliana. Liliana yang keras kepala dan lebih menyukai mengerjakan semuanya sendiri walau kelimpungan sangat ia rindukan.

 

Sudah satu jam penuh Liliana berjalan menuju ke dalam gang-gang sempit di balik pasar. Semakin dalam Liliana berjalan, semakin kotor dan becek pula tempatnya. Walau Bintang tak menyukai sesuatu hal yang kotor, ia tetap membuntuti temannya itu tanpa memedulikan sepatu putihnya mulai menghitam dijilat lumpur.

 

“Ini!” seru Bintang tak percaya.

 



TBC

 

 

#day11
#jurnalHyramates
#cerbung


0 comments:

Posting Komentar