“Aku ....” Liliana menunduk, menatap kedua kakinya yang
sedang ia sepak-sepakan ke atas lantai. Kedua jemarinya saling melilit cemas.
Di sebelahnya, Bintang memandanginya dengan gemas. Digenggamnya
kedua jemari yang saling melilit itu dengan kedua tangannya hingga membuat
Liliana mendongak dan menatapnya heran. Seulas senyum ditariknya lembut. Ia pun
tak mengatakan apa seolah menunggu Liliana-lah yang memecah keheningan terlebih
dahulu.
Senyum Bintang menular pada Liliana. Bahunya kini sudah tak
setegang tadi. Kedua tangannya pun sudah berhenti saling melilit. Kakinya juga
sudah berhenti menendang. Ia menatap Bintang, lalu menatap lurus ke depan; ke
arah langit biru yang mulai berubah menjadi jingga.
“Aku—“ Liliana menarik napas panjang. Dadanya terasa sesak.
Kedua matanya mulai berkaca-kaca dan memerah dengan cepat. Liliana mendongak
sebentar, mencegah kristal bening yang mulai mendesak turun. “Sepertinya aku
harus berhenti sekolah,” ujarnya cepat dan sangat pelan, hampir menyerupai
bisikan.
Namun, kalimat itu terdengar begitu jelas di telinga
Bintang. Ia langsung menatap Liliana heran. Apa maksudnya itu? Setahunya,
Liliana tak pernah memiliki masalah apapun. Ya, mungkin masalah biaya sekolah,
tetapi itu selalu tertutupi dengan beasiswa prestasi yang diraih oleh gadis
itu.
“Kenapa?” lirih Bintang lemah.
Liliana hanya mengangkat bahunya dan tersenyum tipis. “Begitulah,”
desahnya pelan. “Itu terjadi begitu saja,” lanjutnya lagi dengan suara yang
terdengar sangat jauh.
Kepala Bintang terasa kosong. Ia sungguh tak mengerti. Ia
bahkan tak bisa mempercayai pendengarannya barusan. Akan tetapi, semua yang ia
dengar adalah kebenarannya. Esoknya, ia tak menemukan Liliana di mana pun di
sekolah itu. Bahkan, saat ia bertanya pada guru-guru pun, mereka hanya bisa
menggeleng pelan dengan senyum miris yang melekat di wajah mereka.
Kekecewaan dan amarah menyelimutinya dengan cepat. Ia merasa
dikhianati oleh Liliana karena gadis itu tak mengatakan apa-apa dan malah
menghilang begitu saja. Pamit pun tak dilakukan oleh gadis itu.
Satu minggu penuh, ia mencari Liliana ke sana ke mari,
bahkan sampai menyambangi rumahnya—yang ternyata sudah kosong entah sejak
kapan. Bintang memilih untuk melanjutkan hidupnya dan mencari teman baru. Walau
awalnya sulit, tetapi ia mulai terbiasa dan dengan cepat akrab dengan anak-anak
yang lainnya.
@_@
Desember 2020
“Aku kan sudah bilang kalau aku bisa sendiri.”
Bintang berjengit mendengar suara bernada tinggi itu. Selang
beberapa detik, ia langsung menoleh ke asal suara karena ia sangat mengenali
suara tersebut. Tiga meter dari tempatnya berdiri, seorang gadis berpakaian
lusuh dengan rambut dicepol asal-asalan tengah menyambar sebuah kantongan besar
berwarna hitam dari tangan seorang pemuda.
“Lili?” desis Bintang kaget.
Gadis itu menoleh saat mendengar namanya didesiskan dengan
nada penuh kerinduan. Wajahnya memutih saat melihat gadis seumurannya yang amat
dikenalinya itu. Panik, ia pun meninggalkan semua barang dagangannya dan
berlari menghindar.
“Lili!” teriak Bintang kaget melihat Liliana berlari
menjauhinya. “Liliana!” panggilnya sekali lagi, tetapi sahabatnya itu terus
berlari tanpa menoleh sama sekali. Beberapa kali, gadis itu menabrak orang dan
berbalik serta membungkukkan badannya sebagai permintaan maaf.
Napas Bintang terengah. Ia meraup oksigen sebanyak yang ia
bisa sebelum lanjut menganyunkan kakinya dengan cepat menyusul Liliana—yang ia
yakini juga merasa kelelahan. Setelah merasa pasokan oksigennya sudah cukup,
Bintang melangkahkan kakinya mantap menyusuri arah yang sebelumnya dilalui oleh
Liliana.
Kini, ia tak lagi memanggil gadis itu, ia hanya mengikuti
gadis itu diam-diam. Beberapa menit yang lalu, ia mendapati Liliana menarik
napas dengan terengah-engah sambil menatap sekeliling dengan was-was.
Beruntung, tempat itu cukup ramai hingga ia tersembunyi di balik keramaian. Ia
bisa melihat Liliana yang menolehkan kepalanya dengan heboh untuk mencari
jejaknya dan saat tak menemukan jejaknya Liliana menarik napas lega.
Bintang tersenyum kecil. Liliana, temannya, masih sepolos
dulu. Ia tak mau repot-repot untuk mengecek dengan benar jika sudah merasa
yakin. Gadis itu cenderung ceroboh dan masa bodoh. Walau begitu, ia baik hati
dan pintar makanya Bintang sangat menyayanginya.
Diam-diam membuntuti Liliana seperti ini membuat Bintang
menyadari bahwa amarah dan kekecewaannya sejak 5 tahun lalu sudah habis terkikis
begitu melihat wajah Liliana. Liliana yang keras kepala dan lebih menyukai
mengerjakan semuanya sendiri walau kelimpungan sangat ia rindukan.
Sudah satu jam penuh Liliana berjalan menuju ke dalam
gang-gang sempit di balik pasar. Semakin dalam Liliana berjalan, semakin kotor
dan becek pula tempatnya. Walau Bintang tak menyukai sesuatu hal yang kotor, ia
tetap membuntuti temannya itu tanpa memedulikan sepatu putihnya mulai menghitam
dijilat lumpur.
“Ini!” seru Bintang tak percaya.
#day11
#jurnalHyramates
#cerbung
0 comments:
Posting Komentar