Cerpen Liliana - 1



Desember 2015

 

Liliana berlari sekuat tenaga menembus lautan manusia yang ada di depannya agar bisa mencapai kelasnya tepat waktu. Beruntung ia memiliki tubuh kecil dan ramping sehingga ia bisa menyelip kerumunan dengan mudahnya. Walau beberapa kali ia harus menggumamkan kata maaf akibat menabrak orang, tetapi ia tidak terjebak di antaranya.

 

“Liliana Valerie!”

 

Liliana segera menerobos masuk ke dalam kelas dan menundukkan kepala sebagai tanda permintaan maafnya pada sang guru. “Maaf, Bu. Saya terlambat.”

 

“Ya sudah! Duduk sana!” titah guru wanita itu tegas. Setelah membungkukkan badan sekali lagi, Liliana segera ngacir ke tempat duduknya.

 

Bintang menyenggol lengan Liliana pelan. “Lo kenapa bisa telat, sih?” bisiknya heran. Tak biasanya sahabatnya itu terlambat masuk kelas.

 

Liliana mengatur napasnya sejenak dan hanya memberikan senyum tipis pada Bintang. Ia lalu kembali menekuri buku bahasa Indonesia yang sudah ia buka dan mencatat semua penjelasan dari Dita—guru bahasa Indonesia-nya.

 

Di saat jam istirahat berbunyi, Liliana terlebih dahulu kabur meninggalkan Bintang yang sedang membereskan peralatan tulisnya. Gadis itu mengambil langkah cepat menuju perpustakaan—tempat yang paling dihindari oleh Bintang.

 

Di dalam, Liliana segera berjalan menuju rak buku tempat buku pengetahuan umum berada dan langsung menyambar satu buku secara acak. Kakinya terus melangkah menuju pojok perpustakaan. Hanya dalam waktu satu menit penuh, ia sudah larut dalam bacaannya. Ternyata buku yang ia ambil menceritakan tentang sejarah bumi.

 

“Ah, ternyata karna ini ya Bumi miring dan Bulan itu ada?” gumam Liliana kagum.

 

“Wah! Karna apa tuh?” tanya sebuah suara ingin tahu.

 

Tanpa menoleh, Liliana menjawab berdasarkan apa yang baru saja ia baca tadi. “Ini ... di sini dibilang kalau kemiringan bumi dan bulan terbentuk karna terjadinya tabrakan besar, sih. Tabrakan antara Bumi dengan sebuah benda seukuran planet Mars yang disebut dengan Theia.” Liliana terdiam sejenak lantaran merasa ada yang aneh. Ia merasa familiar dengan suara yang barusan bertanya padanya.

 

Kepala Liliana menoleh ke asal suara. Matanya membulat sempurna dan ia hampir saja tersedak ludahnya sendiri. Bintang tersenyum lebar sembari melambaikan tangannya di depan wajah Liliana.

 

“Jadi? Gimana tadi?” tanya Bintang dengan nada manis.

 

Liliana tersenyum kikuk. Habis sudah! Ia tak dapat mengelak lagi. Akhirnya, ia pun menyerah dan mengembalikan buku tersebut ke tempatnya, lalu menggiring Bintang keluar dari sana. “Kita ke tempat yang sepi baru bicara,” bisiknya sembari melihat situasi sekitar.

 

Bintang menghela napas panjang. Padahal di sekitar mereka sudah jarang terlihat orang berlalu lalang. Mau sesepi apa tempat yang dikehendaki Liliana? Walau begitu, ia tak banyak protes dan hanya mengekori gadis itu saja.

 

Liliana menggiring Bintang menuju atap sekolah—yang terlarang untuk dimasuki siapapun—diam-diam. Awalnya, Bintang hendak menolak, tetapi rasa penasaran membuat kalah dengan ketakutannya. Kini, mereka berdiri bersisian sambil menatap ke bawah sana. Angin sepoi-sepoi menerbangkan anak rambut mereka yang tak terikat. Walau matahari terik di atas sana, di sini tak begitu panas dengan adanya embusan angin.

 

Lima belas menit penuh sudah keduanya berdiri di sana tanpa ada yang berniat memecah keheningan tersebut. Liliana menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan. Kedua jemarinya saling memilin cemas. “Aku ...,” lirihnya dengan suara kecil bahkan bisa dikatakan seperti berbisik.

 

Bintang melirik temannya sekilas. Ia tak menoleh secara penuh pada gadis itu karena ia khawatir jika ditatap dengan penuh penasaran, Liliana tak akan melanjutkan perkataannya lagi. Maka dari itu ia berusaha sebisa mungkin untuk tak menaruh perhatian penuh pada temannya.

 

TBC

 

#day10
#jurnalHydramates
#cerbung 

 

0 comments:

Posting Komentar