Yo! Baca part sebelumnya dulu, ya, biar gak bingung.
Zulfa, Rio, dan Anggi kini tengah berada di pusat pasar.
Mereka bertiga mengitari pasar seraya mencuci mata. Mata Rio jelalatan begitu
melihat jajanan pasar. Sementara Anggi terlihat sudah mulai capai.
“Kita cari makan dulu, yuk,” ajak Zulfa yang sedari tadi
memperhatikan kedua rekannya. Anggi dan Rio segera mengangguk setuju.
Zulfa menyeruput es kelapa mudanya, lalu menarik kursi di
depan Anggi. Ia baru saja kembali setelah memesan kari bihun. “Gi, kamu kenapa?
Kok kayaknya capek banget?”
Anggi menggeleng. Ia memang merasa lesu dari pagi tadi.
Bahkan ia pun merasa sedikit pusing tadi pagi. Wajahnya pun pucat. Zulfa
menyodorkan teh manis hangat yang baru saja datang pada Anggi.
“Mau pulang aja gak, Gi?” tanya Rio khawatir lantaran
bulir-bulir besar keringat dingin mulai menghiasi kening Anggi.
Zulfa pun mulai berpindah ke samping Anggi dan mengelus
punggung Anggi lembut. Anggi terlihat begitu lemas hingga harus menyandarkan
kepalanya pada pundak Zulfa.
“Kita pulang aja deh. Bantuin aku dong, Yo,” putus Zulfa
seraya memapah Anggi dengan hati-hati.
Rio mengangguk mantap dan berpindah ke sisi kiri Anggi dan
memapah wanita itu. Belum sempat mereka berdua menarik Anggi berdiri, Anggi
terlebih dahulu menggeleng pelan.
“Gak usah. Aku tunggu di sini aja. Bentar lagi Kak Dimas
datang, kok. Tadi aku udah telepon suruh jemput,” ucap Anggi lemah. Anggi tak
berbohong. Ia memang sudah menelepon suaminya itu saat Zulfa dan Rio
meninggalkannya untuk mencari makanan.
Rio dan Zulfa saling menatap ragu. Kemudian keduanya
mengangguk mantap. Bersepakat tanpa kata agar bersama-sama dengan Anggi
menunggu hingga Dimas datang menjemput. Benar saja, dua puluh menit kemudian,
pria tersebut datang.
Dimas yang melihat wajah pucat Anggi langsung panik. Dan
Anggi yang sudah lemas pun masih bisa-bisanya terkekeh melihat kepanikan
suaminya itu. “Santai dikit kenapa, sih, Kak? Kamu bikin aku tambah pusing tau,
gak?” ucapnya sembari pura-pura marah.
Dimas pun menjadi sedikit lebih tenang. Ia memapah Anggi
karena Anggi menolak untuk digendong. Mereka berdua pamit dan meninggalkan Zulfa
berdua bersama dengan Rio.
“Jadi? Kita mau lanjut kencan di mana, Zul?” goda Rio seraya
mengedipkan sebelah alisnya nakal.
Zulfa terkekeh. Ia memukul lengan Rio gemas, lalu memasukkan
sesuap kari bihun yang sudah dingin ke dalam mulutnya. “Terserah kamu aja sih,
Say,” balas Zulfa dengan suara yang dimanja-manjakan. Namun, beberapa detik
kemudian, tawa berhambur keluar dari bibir kedua orang itu.
“Geli banget, Yo! Sumpah!” ucap Zulfa di sela-sela tawanya.
Rio mengangguk membenarkan. Sungguh ia merasa kelakuan mereka
barusan sangatlah konyol. “Bener banget. Astaga! Gak kebayang kalau kamu bisa
sekonyol ini, Zul,” ledek Rio seraya berusaha menghentikan tawanya.
Zulfa melotot kesal, tak terima dikatai konyol sendirian. “Enak
aja. Kamu tuh yang lebih konyol. Kan kamu yang mulai. Udah, ah. Cepetan
makannya,” omel Zulfa dan sesaat kemudian ia mengerling jail dan melanjutkan, “supaya
kita bisa lanjut kencannya.”
Lagi-lagi keduanya tergelak. Setelah selesai makan, mereka
berdua kembali mengitari pusat pasar tersebut. Mereka berdua langsung mampir ke
toko yang menjual perlengkapan bayi. Saat memilih-milih, Zulfa membulatkan
matanya dan menepuk-nepuk lengan Rio dengan hebohnya.
“Apaan, sih, Zul? Sakit tau?” keluh Rio sembari mengernyit
kesakitan.
“Kayaknya aku tau kenapa Anggi gitu,” ucap Zulfa sambil
menatap Rio antusias.
Rio memandang Zulfa tak mengerti. Ia memutar otaknya mencari
tahu apa yang dimaksudkan oleh Zulfa. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Empat
menit. Lima menit. Rio masih belum tahu apa yang dimaksudkan oleh Zulfa hingga
membuat gadis itu greget.
Zulfa menunjuk baju bayi yang ada di hadapannya guna memberi
kode pada Rio. Akan tetapi, pria lemot itu masih juga tak paham. Gemas dan
kesal. Zulfa menginjak kaki pria itu keras dan berlalu begitu saja meninggalkan
Rio yang bingung.
Niat Zulfa membeli perlengkapan bayi untuk anak Rangga dan
Michele hancur sudah. Ia sekarang hanya ingin pulang dan langsung merongrong
Anggi dengan berbagai macam pertanyaan. Kini ia menjadi lebih bersemangat dan
langsung keluar dari pusat pasar, melupakan tujuan awalnya.
Sementara itu, Rio yang sudah mulai paham segera mengerjar
Zulfa. Begitu melihat Zulfa sudah dalam jangkauan, Rio segera merangkul gadis
itu. “Wah! Kita harus cepet-cepet nodong Anggi buat cerita nih,” ucapnya dengan
senyum senang yang terukir di wajahnya.
Zulfa mengangguk pasti. Senyum lebar juga menghiasi
wajahnya. Namun, senyum itu langsung luntur saat Rio menyuarakan pertanyaan
yang sudah mengganggunya dari beberapa hari yang lalu.
“Perlengkapan bayi itu buat siapa, Zul?” tanya Rio
penasaran. Walau sebenarnya ia memikirkan ada kemungkinan perlengkapan bayi itu
untuk mereka. Akan tetapi, Rio segera mengenyahkan pemikiran itu karena ia
yakin Zulfa tak mungkin sebodoh itu.
Zulfa meringis kecil hingga membuat Rio membelalak lebar.
Ringisan Zulfa sudah cukup untuk mengonfirmasi apa yang ada di pikirannya saat
ini.
“Bego!” maki Rio gemas. Ia kemudian memaksa Zulfa
menghadapnya dan menyentil kuat dahi Zulfa. “Aku gak akan izinin kamu habisin
uang untuk anak mereka. Jangan jadi orang bodoh, deh, Zul!”
Zulfa lagi-lagi hanya bisa meringis. Ia tak mampu membantah
perkataan Rio walau ingin. Padahal ia yakin argumen yang akan ia lontarkan
cukup kuat. Dan ia juga yakin jika ia melontarkan argumennya, Rio akan
mengomelinya habis-habisan. Ia juga yakin kalau pria itu bahkan mampu
mengeluarkan omelan pedas yang bisa memerahkan telinganya. Maka dari itu, ia
cukup diam dan menuruti kemauan pria itu. Lalu, pergi membeli perlengkapan bayi
itu sendirian.
0 comments:
Posting Komentar