Cerbung Zulfa Heart's Problem Part11

 Yo! Baca part sebelumnya dulu, ya, biar gak bingung.


Zulfa, Rio, dan Anggi kini tengah berada di pusat pasar. Mereka bertiga mengitari pasar seraya mencuci mata. Mata Rio jelalatan begitu melihat jajanan pasar. Sementara Anggi terlihat sudah mulai capai.

“Kita cari makan dulu, yuk,” ajak Zulfa yang sedari tadi memperhatikan kedua rekannya. Anggi dan Rio segera mengangguk setuju.

Zulfa menyeruput es kelapa mudanya, lalu menarik kursi di depan Anggi. Ia baru saja kembali setelah memesan kari bihun. “Gi, kamu kenapa? Kok kayaknya capek banget?”

Anggi menggeleng. Ia memang merasa lesu dari pagi tadi. Bahkan ia pun merasa sedikit pusing tadi pagi. Wajahnya pun pucat. Zulfa menyodorkan teh manis hangat yang baru saja datang pada Anggi.

“Mau pulang aja gak, Gi?” tanya Rio khawatir lantaran bulir-bulir besar keringat dingin mulai menghiasi kening Anggi.

Zulfa pun mulai berpindah ke samping Anggi dan mengelus punggung Anggi lembut. Anggi terlihat begitu lemas hingga harus menyandarkan kepalanya pada pundak Zulfa.

“Kita pulang aja deh. Bantuin aku dong, Yo,” putus Zulfa seraya memapah Anggi dengan hati-hati.

Rio mengangguk mantap dan berpindah ke sisi kiri Anggi dan memapah wanita itu. Belum sempat mereka berdua menarik Anggi berdiri, Anggi terlebih dahulu menggeleng pelan.

“Gak usah. Aku tunggu di sini aja. Bentar lagi Kak Dimas datang, kok. Tadi aku udah telepon suruh jemput,” ucap Anggi lemah. Anggi tak berbohong. Ia memang sudah menelepon suaminya itu saat Zulfa dan Rio meninggalkannya untuk mencari makanan.

Rio dan Zulfa saling menatap ragu. Kemudian keduanya mengangguk mantap. Bersepakat tanpa kata agar bersama-sama dengan Anggi menunggu hingga Dimas datang menjemput. Benar saja, dua puluh menit kemudian, pria tersebut datang.

Dimas yang melihat wajah pucat Anggi langsung panik. Dan Anggi yang sudah lemas pun masih bisa-bisanya terkekeh melihat kepanikan suaminya itu. “Santai dikit kenapa, sih, Kak? Kamu bikin aku tambah pusing tau, gak?” ucapnya sembari pura-pura marah.

Dimas pun menjadi sedikit lebih tenang. Ia memapah Anggi karena Anggi menolak untuk digendong. Mereka berdua pamit dan meninggalkan Zulfa berdua bersama dengan Rio.

“Jadi? Kita mau lanjut kencan di mana, Zul?” goda Rio seraya mengedipkan sebelah alisnya nakal.

Zulfa terkekeh. Ia memukul lengan Rio gemas, lalu memasukkan sesuap kari bihun yang sudah dingin ke dalam mulutnya. “Terserah kamu aja sih, Say,” balas Zulfa dengan suara yang dimanja-manjakan. Namun, beberapa detik kemudian, tawa berhambur keluar dari bibir kedua orang itu.

“Geli banget, Yo! Sumpah!” ucap Zulfa di sela-sela tawanya.

Rio mengangguk membenarkan. Sungguh ia merasa kelakuan mereka barusan sangatlah konyol. “Bener banget. Astaga! Gak kebayang kalau kamu bisa sekonyol ini, Zul,” ledek Rio seraya berusaha menghentikan tawanya.

Zulfa melotot kesal, tak terima dikatai konyol sendirian. “Enak aja. Kamu tuh yang lebih konyol. Kan kamu yang mulai. Udah, ah. Cepetan makannya,” omel Zulfa dan sesaat kemudian ia mengerling jail dan melanjutkan, “supaya kita bisa lanjut kencannya.”

Lagi-lagi keduanya tergelak. Setelah selesai makan, mereka berdua kembali mengitari pusat pasar tersebut. Mereka berdua langsung mampir ke toko yang menjual perlengkapan bayi. Saat memilih-milih, Zulfa membulatkan matanya dan menepuk-nepuk lengan Rio dengan hebohnya.

“Apaan, sih, Zul? Sakit tau?” keluh Rio sembari mengernyit kesakitan.

“Kayaknya aku tau kenapa Anggi gitu,” ucap Zulfa sambil menatap Rio antusias.

Rio memandang Zulfa tak mengerti. Ia memutar otaknya mencari tahu apa yang dimaksudkan oleh Zulfa. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Empat menit. Lima menit. Rio masih belum tahu apa yang dimaksudkan oleh Zulfa hingga membuat gadis itu greget.

Zulfa menunjuk baju bayi yang ada di hadapannya guna memberi kode pada Rio. Akan tetapi, pria lemot itu masih juga tak paham. Gemas dan kesal. Zulfa menginjak kaki pria itu keras dan berlalu begitu saja meninggalkan Rio yang bingung.

Niat Zulfa membeli perlengkapan bayi untuk anak Rangga dan Michele hancur sudah. Ia sekarang hanya ingin pulang dan langsung merongrong Anggi dengan berbagai macam pertanyaan. Kini ia menjadi lebih bersemangat dan langsung keluar dari pusat pasar, melupakan tujuan awalnya.

Sementara itu, Rio yang sudah mulai paham segera mengerjar Zulfa. Begitu melihat Zulfa sudah dalam jangkauan, Rio segera merangkul gadis itu. “Wah! Kita harus cepet-cepet nodong Anggi buat cerita nih,” ucapnya dengan senyum senang yang terukir di wajahnya.

Zulfa mengangguk pasti. Senyum lebar juga menghiasi wajahnya. Namun, senyum itu langsung luntur saat Rio menyuarakan pertanyaan yang sudah mengganggunya dari beberapa hari yang lalu.

“Perlengkapan bayi itu buat siapa, Zul?” tanya Rio penasaran. Walau sebenarnya ia memikirkan ada kemungkinan perlengkapan bayi itu untuk mereka. Akan tetapi, Rio segera mengenyahkan pemikiran itu karena ia yakin Zulfa tak mungkin sebodoh itu.

Zulfa meringis kecil hingga membuat Rio membelalak lebar. Ringisan Zulfa sudah cukup untuk mengonfirmasi apa yang ada di pikirannya saat ini.

“Bego!” maki Rio gemas. Ia kemudian memaksa Zulfa menghadapnya dan menyentil kuat dahi Zulfa. “Aku gak akan izinin kamu habisin uang untuk anak mereka. Jangan jadi orang bodoh, deh, Zul!”

Zulfa lagi-lagi hanya bisa meringis. Ia tak mampu membantah perkataan Rio walau ingin. Padahal ia yakin argumen yang akan ia lontarkan cukup kuat. Dan ia juga yakin jika ia melontarkan argumennya, Rio akan mengomelinya habis-habisan. Ia juga yakin kalau pria itu bahkan mampu mengeluarkan omelan pedas yang bisa memerahkan telinganya. Maka dari itu, ia cukup diam dan menuruti kemauan pria itu. Lalu, pergi membeli perlengkapan bayi itu sendirian.


[bersambung]

0 comments:

Posting Komentar