Seorang pemuda berjalan dengan langkah terseok-seok. Kepalanya tertundu. Matanya terpaku pada tanah aspal yang tengah ia lewati. Kedua bahunya merosot turun bak prajurit yang baru saja pulang dengan kekalahan di medan perang.
“Hei, Sam,” tegur seorang pemuda berwajah sangar.
Sam—pemuda itu—mengangkat kepalanya. Tak lupa ia sungingkan
senyum ramah. “Hei, Lan! Baru balik?” tanyanya dengan nada ringan.
Alan mengangguk tegas—sekali. “Iya, nih. Capek banget. Lo
harus rasain capeknya jadi mahasiswa,” keluh pemuda yang hampir menginjak usia
dua puluh itu. Jelas sekali kelelahan yang terselip di setiap nada dari kata
yang ia ucapkan.
“Tapi seru, ‘kan?” ledek Sam sembari menaik turunkan
alisnya. Melihat Alan yang tak menjawab dan hanya bisa menyeringai. Sam pun
menyemburkan tawa. Tawa yang menular hingga Alan pun ikut tertawa bersamanya.
“Udah, ah! Gue mau balik, nih. Lo juga balik, gih. Lo bau
asem. Pasti tadi gak mandi dulu di sekolah,” ejek Alan sembari menganyunkan langkah
cepat meninggalkan Sam yang memaki pelan.
Sepeninggal Alan, Sam kembali berjalan dengan malas menuju
ke rumahnya. Langkahnya terhenti di depan gerbang hitam sebuah rumah besar nan
mewah. Tak lama kemudian, seorang pria berusia empat puluhan keluar dengan
tergopoh-gopoh. “Lho? Den? Kenapa gak minta dijemput aja tadi?” tanyanya cemas.
Sam tersenyum singkat dan menggeleng pelan. “Gak perlu, Pak.
Lagian sekolah sama rumah juga lumayan dekat. Tadi temen aku nganterin sampai
depan komplek, kok,” bohong Sam sambil tersenyum ringan. Ia sengaja berjalan
kaki dari sekolah ke rumahnya demi mengulur waktu sampai ke rumah. Rumah besar
nan mewah yang membuat orang lain merasa iri sekaligus kagum, tetapi malah
membuatnya merasa sesak.
Tanpa banyak kata lagi, didorongnya pintu kayu dengan ukiran
unik itu ringan. Belum sempat kakinya mengayun masuk, terdengar hardikan
seorang pria paruh baya. “Kamu dari mana saja? Habis main bola lagi?!”
Sam meringis mendengarnya. “Maaf, Pa. Hari ini sekolah
sedang ada pertandingan, tapi teman yang seharusnya ikut bertanding mengalami
cedera. Jadi Sam gantiin dia main,” jelasnya setenang mungkin.
“Apa gunanya tanding sepak bola?! Seharusnya kamu pulang!
Belajar biar kamu berhasil ambil beasiswa di jurusan bisnis di Harvard
University. Apa dengan bermain bola kamu bisa masuk ke sana? Hah?!” omel sang
ayah.
Sam menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan tanpa
kentara. Ia pun menundukkan kepalanya, menolak melihat wajah sang ayah yang
merah padam akibat amarah. Di leher dan juga pelipisnya, urat-uratnya tercetak
dengan jelas. Dalam hatinya, ia berharap bahwa ini akan cepat selesai. Rasa
senang akibat kemenangannya tadi telah menguap tanpa bekas sekarang. Ia lelah dan
harus cepat istirahat.
“Pa, sudahlah!” seorang wanita cantik berusia awal empat
puluhan mengusap lengan suaminya lembut. Matanya menatap putranya tegas. “Sam,
kamu naik dan mandilah. Lalu, makan. Setelah itu kamu harus belajar.”
Sam mengangguk patuh. Ia segera melangkahkan kakinya menuju
ke kamarnya di atas. Tanpa mengistirahatkan tubuhnya sama sekali, ia menyambar
handuk bersih dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Mengguyur tubuhnya
dengan air dingin. Setelah tubuh serta otak dan hatinya dingin, ia mematikan
keran dan mengeringkan tubuhnya.
Saat turun menuju meja makan, ia melihat kedua orang tuanya
sudah duduk di meja makan. Ditariknya kursi yang berada di hadapan sang ibu dan
duduk tanpa mengeluarkan suara apa pun. Ia menyendokkan nasi ke dalam piringnya
dan mengambil lauk, lalu makan dalam diam.
“Sam, bagaimana kalau kamu juga ikut les intensif seperti
anak-anak teman Mama?” ujar Sophie memecah keheningan di meja makan tersebut.
Arland berdeham beberapa kali. “Sepertinya itu ide bagus.
Dia lebih baik ikut les daripada bermain bola terus-terusan,” ujar Arland puas.
“Sebaiknya kamu langsung daftarkan saja dia agar besok siang dia sudah bisa
mulai les,” putus Arland tanpa merasa perlu menanyakan pendapat Sam.
Tangan kiri Sam yang berada di bawah meja terkepal. Ia
mempercepat kunyahan nasinya yang tiba-tiba terasa hambar. “Terserah mama sama
papa saja,” ujarnya sebelum mengangkat kakinya dari meja makan. “Aku naik dulu,
mau belajar,” pamitnya sebelum Arland menyemburkan amarahnya.
Sesampainya di kamar, Sam menghela napas gusar. “Apa aku tak
berhak berpendapat? Ini hidupku atau hidup mereka?” dengus pemuda itu sebal. Ia
kemudian mengambil buku tes-tes masuk perguruan tinggi dan memfokuskan dirinya
pada soal-soal tersebut.
#day6
#Jurnal Hydramates
#cerpen
0 comments:
Posting Komentar