Jangan lupa baca yang sebelumnya.
Zulfa terkekeh melihat raut tak enak Rio. Ia mengangguk
membenarkan pertanyaan Rio. “Iya, Michele yang itu, Yo. Kenapa?” balas Zulfa
santai.
Sementara itu, Rio dan Anggi yang baru saja selesai
mengunyah tersedak. Keduanya sibuk menggapai air dan juga terbatuk-batuk dengan
hebohnya. Zulfa menggelengkan kepalanya geli melihat respons heboh kedua rekan
kerjanya itu.
Setelah batuknya mereda, Rio melotot lebar sembari
mencondongkan wajahnya di depan Zulfa. “Beneran Michele yang itu?”
Zulfa menegak minumnya, lalu menatap Rio tajam. "Rio
sayang, menurut kamu sendiri aku kenal berapa Michele? Hmm?" tanya Zulfa
Rio dan Anggi terdiam, memikirkan apa yang harus mereka
katakan saat ini. Zulfa menutup sendok dan garpunya karena sudah selesai makan.
Ia menegak airnya sebelum menatap kedua rekannya yang kini tengah berpikir
dengan serius.
“Ya, udah, sih. Biarin aja. Aku dan Michele emang kenal
dekat dari kecil. Terus kenapa kalau akhirnya dia pacaran sama Rangga?” tanya
Zulfa enteng. Raut wajahnya memang menunjukkan bahwa ia tak peduli sama sekali.
Walau begitu, Rio dan Anggi tetap saja menunjukkan mimik prihatin.
“Bukan gitu, bego!” maki Anggi gemas. Kini rautnya berubah
menjadi marah. Gadis itu melahap daging ayamnya dengan ganas membuat dua
rekannya menatapnya ngeri.
“Iya, aku emang bego,” celutuk Zulfa dengan nada jenaka,
berusaha mencairkan suasana. Akan tetapi, bukannya suasananya semakin ringan,
suasananya malah semakin horor.
Rio menegak minumnya dan menutup peralatan makannya.
Piringnya sudah tandas dan kini ia siap untuk merepet. “Iya. Emang. Bego
banget. Bisa-bisanya kamu ngalah gitu aja,” omel Rio kesal.
Zulfa terdiam mendengar omelan Rio. Alisnya berkerut tak
paham. Ia tak mengerti kenapa kedua rekannya yang seperti orang kebakaran
jenggot.
“Kamu tuh, ya! Sudah berapa kali dia ngerebut cowok yang
sama kamu?” sembur Anggi galak.
Zulfa terdiam kaget. Ia mulai menggali ingatan lamanya.
Michele dan ia sudah berteman lebih dari 10 tahun. Mereka pertama kali bertemu
saat mereka berusia 8 tahun. Dan selama itu pula, mereka sering bersekolah di
tempat yang sama—atau lebih tepatnya Michele selalu mengekori di mana pun ia
bersekolah. Saat bersekolah, mereka sering naksir pada pria yang sama.
Kemudian, selalu Zulfa yang mengalah. Membiarkan Michele
mendekati para lelaki itu hingga akhirnya mereka jadian dan putus beberapa
minggu kemudian. Zulfa tak pernah mengajukan protes karena takut hubungan
mereka rusak. Akan tetapi, kali ini, ia merasa Michele sudah cukup kelewatan.
Sebab, di masa sebelum ini, cowok-cowok itu hanya dalam tahap pedekate dengannya. Namun, Rangga
berbeda. Rangga sudah berstatus calon suami Zulfa. Maka dari itu, ia memilih
untuk memutus pertemanannya saja.
“Ah! Sudahlah! Lagian hal seperti ini tak akan terulang
lagi. Aku sudah tak bersahabat lagi dengannya,” sela Zulfa sebelum omelan Rio
dan Anggi membuatnya tuli.
Anggi menggebrak meja kesal. “Masalahnya itu di kamu!”
tuding wanita itu gusar.
Zulfa melotot tak terima. Mengapa malah dirinya yang menjadi
masalah? Dia yang dikhianati dan dia juga yang salah? Ia sungguh tak mengerti. “Kenapa
jadi salahku?” tanya Zulfa tak terima.
Rio yang merasa suasana sudah mulai memanas, tak lagi
menuangkan bensin di atas kobaran api itu. Ia hanya duduk diam sambil memantau
pertikaian kedua rekan kerjanya. Ia menunggu celah yang tepat agar bisa masuk.
“Iya. Masalahnya itu ada di kamu,” kekeuh Anggi gusar.
Zulfa mendengus. Ia mengangkat piringnya dan bangkit dari
duduknya. Memilih untuk menghindari pertengkaran yang menurutnya tak ada
artinya ini. Baru langkah pertama Zulfa ambil, Anggi kembali bersuara hingga
membuat Zulfa berang.
“Lihat, ‘kan? Masalahnya itu ada di kamu, Zul,” ulang Anggi
dengan nada yang menyebalkan.
Zulfa berbalik dan menatap Anggi tajam. “Apa maksudmu? Aku
sudah menjauh untuk menghindari pertengkaran gak berguna ini, tapi apa yang
kamu lakukan? Kenapa kamu mancing terus?” sembur Zulfa gusar. Ia tak lagi
peduli tatapan penasaran yang ditujukan pada seisi kantin pada mereka bertiga.
Sementara itu, Rio masih bergeming—menunggu celah yang tepat
untuk masuk. Anggi membalas tatapan Zulfa tak kalah tajam. Seulas senyum
mengejek ia hadiahkan untuk gadis yang tengah mati-matian mengontrol amarahnya
itu.
“Lihat, ‘kan? Kamu selalu begini. Makanya kamu bisa
diinjak-injak sama Michele. Coba kalau dari awal kamu melawan. Apa Rangga akan
direbut oleh Michele?” sinis Anggi tajam.
“Jadi menurut kamu, aku harus ngambil ayah dari anak yang
dikandung oleh Michele?”
Pertanyaan yang tak disangka-sangka oleh Anggi dan Rio
membuat keduanya terdiam dengan wajah kaget. Keduanya menganga tak percaya
mendengar pertanyaan Zulfa yang dilemparkan olehnya dengan gusar. Awalnya,
Zulfa tak ingin menyebarkan aib milik Michele. Namun, karena keadaannya sudah
begini, ia tanpa sengaja membeberkan apa yang ia dengar di malam itu.
“Iya. Michele hamil. Aku mendengarnya. Malam itu, sewaktu
Rangga ulang tahun. Aku mengunjunginya untuk memberikan kejutan. Tapi, kejutan
itu malah berbalik padaku. Aku awalnya melihat mereka ciuman, lalu aku
mendengarnya. Kado ulang tahun dari Michele untuk Rangga itu adalah seorang
anak yang tengah dikandungnya,” tutur Zulfa yang kini sudah tenang kembali.
Anggi dan Rio terdiam. Tak tahu harus berkomentar bagaimana.
Mereka tak menyangka masalahnya akan sepelik ini. Sungguh! Siapa yang sangka
kalau Michele akan hamil anak Rangga? Tak ada. Bahkan, di saat mereka
berkumpul, Michele dan Rangga selalu terlihat tak akur. Jadi siapa yang akan
menyangka hal itu akan terjadi?
“Sorry,” ungkap Anggi menyesal. Ia sungguh menyesal karena
sudah mendorong Zulfa sejauh itu tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Minggu ini aku mau beli perlengkapan bayi. Kalian mau ikut?”
tanya Zulfa sambil menatap kedua rekannya serius.
0 comments:
Posting Komentar