Yo! Biar gak bingung baca yang sebelumnya, ya.
Sebuah ketukan halus pada pintu membuat Zulfa menarik dirinya dari dunia
seberang. Ia mengerang kecil dan menggeliatkan tubuhnya. Sejenak, ia
menelentangkan tubuhnya dan mendapati langit-langit kamarnya hingga keningnya
berkerut. Ia kemudian menoleh ke kanan dan mendapati kaki kasur beserta kolong
kasur.
Saat ingatan kemarin malam menyapanya, ia akhirnya mengerti. Ternyata ia
ketiduran di lantai. Sebuah ketukan halus pada pintu kembali menarik Zulfa dari
dunianya. Ia merenggangkan ototnya kembali sembari menjawab. “Iya, Nek. Zulfa
sudah bangun.”
Zulfa segera menyambar handuk dan berlalu menuju ke kamar mandi. Sebelum
masuk, Zulfa berkaca terlebih dahulu di kaca. Matanya bengkak akibat menangis
terlalu lama. Ia menghela napas panjang. Ia harus bergerak dengan cepat dan
menghindari seisi rumah agar tidak ditanyai macam-macam.
Setelah mandi, Zulfa pun melesat menuju kamarnya dan mengganti baju dengan
cepat. Begitu selesai, ia mempertajam telinganya guna mengetahui apakah ada
orang di luar kamarnya. Saat yakin tak ada orang, ia pun keluar kamar. Dengan
cepat pula ia melesat menuju ruang makan dan meneguk segelas teh manis hangat.
Lalu, mencuci gelasnya dan langsung kabur menuju tempat kerjanya.
Zulfa menghela napas lega begitu kakinya menginjak lobi kantor. Ia melihat
sekeliling, memastikan tak ada yang mengenalinya. Kemudian, berjalan cepat
menuju tangga dan naik ke lantai tiga.
“Hayo! Udah kayak maling aja ngendap-ngendap gitu.”
Zulfa menggigit bibirnya secara spontan agar tak berteriak keras akibat
tepukan serta bisikan pelan itu. Zulfa mengelus dadanya dan memastikan
jantungnya masih berada pada tempatnya. Ia menoleh dan mendapati Anggi yang
tengah tersenyum jail.
“Ih! Ngagetin aja, deh! Dasar!” omel Zulfa seraya memukul gemas pundak
Anggi yang kini sudah menghamburkan tawanya.
Wanita itu terlihat puas sekali setelah mengerjai rekan kerjanya. Setelah
puas terpingkal hingga perutnya kram. Anggi menatap Zulfa dengan tajam. “Mata
kamu bengkak,” komentarnya.
Zulfa mendorong wajah Anggi yang menurutnya terlalu dekat. Ia bahkan bisa
merasakan embusan napas Anggi di wajahnya. “Bukan apa-apa,” elaknya seraya
membuka laci dan mulai mensibukkan dirinya dengan dokumen yang asal ia tarik.
Anggi mengangguk pelan, lalu menghela napas panjang. Menurutnya, Zulfa itu
sangatlah tertutup dan misterius. Ia merasa ia dekat sekaligus jauh dengan
Zulfa. Zulfa selalu mengingat apa yang ia suka dan apa yang tidak. Zulfa selalu
bisa ia ajak bicara banyak. Terkadang, ia bahkan tak perlu menyuarakan apa yang
ia inginkan agar Zulfa tahu. Walau begitu, Zulfa tak pernah berbagi cerita
sulit dengannya. Gadis itu selalu memendamnya sendiri dan berusaha
menyelesaikan semuanya sendiri.
Sekali lagi, Anggi menghela napas panjang. Ia hendak kembali ke kubikelnya,
tetapi suara Zulfa menghentikannya dan memaksanya berbalik untuk menggeplak
kepala rekannya itu.
“Hela napas panjang mulu katanya bisa cepat mati, loh,” kelakar Zulfa tanpa
melirik lawan bicaranya.
“Ah! Ampun! Sakit, tahu?” mohon Zulfa setelah mendapat hadiah pukulan
secara bertubi-tubi.
Walau Zulfa sudah memohon ampun, Anggi tak melepaskannya begitu saja.
Wanita itu malah mencubit gemas pipi Zulfa. Ia menarik-narik pipi Zulfa dan
mengunyel-ngunyel wajah gadis itu.
“Pagi-pagi udah mesra aja, sih,” ledek Rio yang baru saja sampai.
Zulfa mendelik. Ia merasa sepertinya otak pemuda itu bermasalah. Bagaimana
bisa penyiksaan sepihak ini dikatakan mesra? Setelah berhasil lepas dari
siksaan Anggi, Zulfa meraih kalender mejanya dan menimpuk Rio.
“Dasar! Otak kamu kayaknya bermasalah, deh! Aku disiksa gini malah dikatai
mesra-mesraan?” omel Zulfa.
Rio terkekeh puas. Ia mengambil kalender milik Zulfa dan mengembalikannya
ke tempat semula. “Kamu habis nangis semaleman? Habis diputusin pacar, ya?”
tanya Rio sambil lalu.
Zulfa mengerutkan keningnya dalam. Oh, iya. Dia habis putus dengan Rangga.
Dan saat itu, ia malah tak merasakan apapun. “Aku udah putus sama Rangga dari
seminggu yang lalu. Dia selingkuh sama Michele,” ungkap Zulfa datar.
Anggi langsung memeluk Zulfa dan mengelus kepala Zulfa prihatin. “Yang
sabar, ya, Zul,” ucapnya lembut.
Zulfa ingin terbahak, tetapi karena suasananya sangat sendu. Ia
mengurungkan niatnya itu. Ia akhirnya mengikuti alur dan mengangguk pelan. “Iya,
Gi. Makasih.”
“Sok memelas kamu,” komentar Rio sadis merusak suasana sendu di antara
mereka bertiga.
Zulfa tak bisa lagi menghentikan tawanya. Ia terpingkal hingga perutnya
kram membuat dua orang yang ada di hadapanya menatapnya heran. Mereka mengira
bahwa Zulfa sudah menderita gangguan psikis akibat putus cinta.
“Sisa jatah cuti kamu ada berapa hari lagi, Zul?” tanya Rio tiba-tiba
hingga membuat tawa Zulfa terhenti dan menatapnya heran.
“Masih sekitar enam sampai tujuh hari. Kenapa, Yo?” Zulfa mengerutkan
alisnya menatap Rio.
Rio mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. “Hmm ... kayaknya cukup, sih,”
ucapnya tak sambung.
Kening Zulfa semakin berkerut mendengar balasan Rio yang tak relevan dengan
topik mereka. “Apaan sih, Yo? Gak jelas banget,” omel Zulfa gemas.
“Cukup buat konsultasi ke psikolog. Kayaknya kamu jadi aneh setelah putus
cinta,” balas Rio dan langsung kabur menghindari amukan Zulfa.
Melihat Rio yang kabur, Zulfa segera bangkit dari kursinya dan mengejar
pria itu. Akan tetapi, langkahnya terhenti saat Noah melewati ruangan mereka. “Pak,”
sapanya sopan. Ia menatap Rio yang ternyata juga sudah berhenti berlari dan
kini tengah berdiri canggung.
Setelah Noah masuk ke dalam ruangannya sendiri, semuanya bubar dan kembali
ke tempat masing-masing. Mereka sepakat tanpa suara akan membuka topik tersebut
saat makan siang nanti.
“Jadi? Rangga dan Michele pacaran?” tanya Rio memastikan pendengarannya.
Zulfa mengangguk tegas. Ia menyuapkan sesendok penuh nasi ke dalam mulutnya.
Sejenak, Rio mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Namun, beberapa detik
kemudian, matanya membelalak lebar. “Sebentar!” serunya membuat sendok yang
hendak masuk ke dalam mulut Anggi terhenti di udara. Sementara Zulfa yang
tengah mengunyah pun menghentikan kunyahannya. Mereka berdua menatap Rio dengan
pandangan bertanya.
“Michele itu ... yang itu bukan, sih?” tanya Rio ragu-ragu. Mendengar
pertanyaan itu, Zulfa kembali mengunyah makanannya dengan santai. Kemudian,
meneguk minumnya sebelum membuka mulut.
0 comments:
Posting Komentar