Yo! Jangan lupa baca yang sebelumnya,
ya.
Suasana temaram menemani Zulfa malam itu. Ia menggigit pensilnya
sembari mengetuk-ngetukkan kepalanya dengan jari telunjuknya. Ia menghela napas
panjang.
"Kalau gini ceritanya, kayaknya aku harus cari
sampingan," ungkapnya pasrah. Ia kini tengah menyusun pengeluaran panti
beserta pribadinya dan juga pendapatannya dengan nenek serta hasil donasi dari
donatur.
Sekali lagi, Zulfa melarikan matanya di atas kertas yang sudah
penuh dengan berbagai angka itu. Berusaha memeriksa ulang apakah dia ada salah
tulis atau bagaimana. Setelah mengecek kembali dan sudah benar semua, ia
menghela napas panjang.
"Gak ada cara lain lagi," keluhnya sembari tersenyum
miris. Ia sudah menghitungnya dengan benar. Dan memang benar adanya keuangan
panti masih mengalami kekurangan sebab anak-anak panti semakin bertambah.
Sudah 20 tahun panti tersebut berdiri, tetapi selama panti
tersebut berdiri tak ada satupun anak yang berhasil diadopsi oleh keluarga
baru. Namun, anak-anak panti yang tadinya tak ada, kini sudah berjumlah
sebanyak 30 orang. Dan itu dimulai dari 14 tahun yang lalu.
Angga menjadi penghuni pertama panti yang didirikan oleh ayahnya.
Saat itu, ayahnya membawa Angga dalam keadaan hampir beku. Bibir bayi kecil itu
berwarna biru. Bayi kecil itu bahkan tak bisa bersuara. Dan saat dibawa ke
dokter, dokter pun sudah hampir menyerah.
Namun, ayahnya tak menyerah demi menyelamatkan bayi itu.
Berlapis-lapis selimut hangat ia lilitkan pada tubuh bayi kecil itu. Susu
hangat pun ia berikan pada bayi kecil itu. Walau susu itu lebuh banyak tak bisa
masuk ke dalam kerongkongannya.
Zulfa yang saat itu masih berusia 9 tahun ikut menjaga bayi kecil
itu. Berkat perjuangan yang tak putus semalaman, akhirnya bayi itu berhasil
melewati masa kritisnya keesokan paginya. Itu sungguh sebuah keajaiban bagi
ayah Zulfa dan neneknya. Mereka senang bukan main.
Zulfa terkaget saat ada yang mendorong pintu kamarnya. Pasalnya,
kini sudah lewat beberapa menit tengah malam. Dan ia sudah memastikan bahwa
semua sudah tidur dari dua jam yang lalu. Ia menoleh dan agak kaget dengan
kedatangan Angga.
"Kenapa, Ga?" tanyanya lembut menyambut tamunya masuk ke
dalam kamar.
Angga mengucek matanya dan melirik kertas yang dipegang Zulfa
sejenak. "Angga gak mau sekolah," ungkapnya tiba-tiba hingga membuat
Zulfa sedikit bingung.
Lambat-lambat, perasaan bingung itu berganti menjadi kemarahan.
Walau begitu, Zulfa tak boleh marah. Ia harus tahu alasan kenapa adik sulungnya
itu tak mau sekolah. Maka dari itu, ia pun bertanya dengan nada lembut.
"Kenapa, Ga? Ada yang ganggu kamu di sekolah? Bukannya nilai-nilai kamu
selalu bagus, ya?"
Angga menatap Zulfa penuh pertimbangan. Lalu matanya kemudian
beralih pada lembaran yang kini berusaha Zulfa sembunyikan darinya. "Angga
tahu kalau uang Nenek dan Kak Zulfa gak cukup untuk biayain kami semua. Jadi, Angga
gak mau sekolah lagi. Dan beban kalian bisa berkurang sedikit."
Hati Zulfa sakit mendengar penuturan Angga yang penuh perhatian
itu. Ia menggigit bibirnya kuat dan menolak untuk menatap Angga selama beberapa
menit. Matanya memanas. Zulfa menarik napas panjang agar bisa menetralkan nada
suara dan juga hatinya.
Setelah yakin tak akan menangis di depan Angga, Zulfa kembali
melarikan matanya menatap adiknya itu. Sebuah senyum tipis ia lukiskan untuk
adiknya. "Kamu harus sekolah. Soal biaya, kamu jangan takut. Lagian,
selama ini karna kegigihan kamu belajar. Kamu dapat pengurangan uang sekolah,
'kan? Jadi jangan takut dan tetap sekolah. Kekurangan kita juga gak banyak,
kok. Nanti kakak bakal cari cara lain buat nambahin penghasilan. Kamu paham?"
Bagi Zulfa membeberkan kebenaran itu lebih baik daripada
menutupinya, lalu membiarkan adiknya itu berpikir macam-macam. Ia harap,
setelah adiknya melihat kebenaran itu, adiknya akan mengerti dan memikirkan
ulang kembali akan keputusannya.
Angga terdiam. Ia terlihat berpikir. Zulfa menyentuh pundaknya
lembut hingga Angga menatapnya.
"Udah. Sekarang lebih baik kamu tidur dulu. Besok pagi baru
kita bicara lagi. Hmm?" pintanya sembari mengusap puncak kepala Angga.
Angga masih bergeming di tempatnya. Zulfa masih menantinya dengan
senyum lembut hingga tiba-tiba ia bersuara. "Angga bisa kerja,"
ungkap Angga yakin. Semangat terlihat berkobar di kedua matanya.
Itu membuat Zulfa mengurut pangkal hidungnya gemas. Ia menarik
napas dan menghembuskannya gusar. Bukan begini hasil akhir yang ingin dia
capai. Tangannya terkepal kuat guna menyalurkan emosinya.
"Angga, kita bicarain ini besok pagi aja, ya?" pintanya
lembut dan penuh permohonan.
Tahu bahwa kakaknya sedang diliputi kemarahan. Angga memilih
menurut tanpa membantah. Angga keluar dari kamar Zulfa dan menuju kamarnya. Di
kamarnya, ia masih belum bisa tidur. Ia malah mulai berpikir apa pekerjaan yang
ingin ia cari dan lakukan. Kapan dan di mana ia akan bekerja.
Sementara itu, di dalam kamarnya, Zulfa berusaha keras agar tak
berteriak marah. Ia marah pada dirinya sendiri yang tak mampu mengatur keuangan
panti. Ia marah lantaran ia tak berusaha lebih giat agar neneknya tak usah
bekerja lagi di usianya yang sudah tua. Ia marah lantaran ia tak berusaha lebih
giat lagi agar keuangan panti bisa tercukupi. Ia juga marah pada keadaan yang
tak berpihak padanya.
Pada akhirnya, kemarahan itu tertumpah melalui bulir-bulir bening
yang meluncur bebas dari kedua sudut matanya. Tubuhnya gemetar hebat lantaran
menangis. Tangisan bisu yang menjadi saksi betapa sakit hatinya saat ini. Ia
menangis dan terus menangis hingga tertidur di lantai.
0 comments:
Posting Komentar