Cerbung Zulfa Heart's Problem Part8

 Yo! Jangan lupa baca yang sebelumnya, ya.

 

 

Suasana temaram menemani Zulfa malam itu. Ia menggigit pensilnya sembari mengetuk-ngetukkan kepalanya dengan jari telunjuknya. Ia menghela napas panjang.

"Kalau gini ceritanya, kayaknya aku harus cari sampingan," ungkapnya pasrah. Ia kini tengah menyusun pengeluaran panti beserta pribadinya dan juga pendapatannya dengan nenek serta hasil donasi dari donatur.

Sekali lagi, Zulfa melarikan matanya di atas kertas yang sudah penuh dengan berbagai angka itu. Berusaha memeriksa ulang apakah dia ada salah tulis atau bagaimana. Setelah mengecek kembali dan sudah benar semua, ia menghela napas panjang.

"Gak ada cara lain lagi," keluhnya sembari tersenyum miris. Ia sudah menghitungnya dengan benar. Dan memang benar adanya keuangan panti masih mengalami kekurangan sebab anak-anak panti semakin bertambah.

Sudah 20 tahun panti tersebut berdiri, tetapi selama panti tersebut berdiri tak ada satupun anak yang berhasil diadopsi oleh keluarga baru. Namun, anak-anak panti yang tadinya tak ada, kini sudah berjumlah sebanyak 30 orang. Dan itu dimulai dari 14 tahun yang lalu.

Angga menjadi penghuni pertama panti yang didirikan oleh ayahnya. Saat itu, ayahnya membawa Angga dalam keadaan hampir beku. Bibir bayi kecil itu berwarna biru. Bayi kecil itu bahkan tak bisa bersuara. Dan saat dibawa ke dokter, dokter pun sudah hampir menyerah.

Namun, ayahnya tak menyerah demi menyelamatkan bayi itu. Berlapis-lapis selimut hangat ia lilitkan pada tubuh bayi kecil itu. Susu hangat pun ia berikan pada bayi kecil itu. Walau susu itu lebuh banyak tak bisa masuk ke dalam kerongkongannya.

Zulfa yang saat itu masih berusia 9 tahun ikut menjaga bayi kecil itu. Berkat perjuangan yang tak putus semalaman, akhirnya bayi itu berhasil melewati masa kritisnya keesokan paginya. Itu sungguh sebuah keajaiban bagi ayah Zulfa dan neneknya. Mereka senang bukan main.

Zulfa terkaget saat ada yang mendorong pintu kamarnya. Pasalnya, kini sudah lewat beberapa menit tengah malam. Dan ia sudah memastikan bahwa semua sudah tidur dari dua jam yang lalu. Ia menoleh dan agak kaget dengan kedatangan Angga.

"Kenapa, Ga?" tanyanya lembut menyambut tamunya masuk ke dalam kamar.

Angga mengucek matanya dan melirik kertas yang dipegang Zulfa sejenak. "Angga gak mau sekolah," ungkapnya tiba-tiba hingga membuat Zulfa sedikit bingung.

Lambat-lambat, perasaan bingung itu berganti menjadi kemarahan. Walau begitu, Zulfa tak boleh marah. Ia harus tahu alasan kenapa adik sulungnya itu tak mau sekolah. Maka dari itu, ia pun bertanya dengan nada lembut. "Kenapa, Ga? Ada yang ganggu kamu di sekolah? Bukannya nilai-nilai kamu selalu bagus, ya?"

Angga menatap Zulfa penuh pertimbangan. Lalu matanya kemudian beralih pada lembaran yang kini berusaha Zulfa sembunyikan darinya. "Angga tahu kalau uang Nenek dan Kak Zulfa gak cukup untuk biayain kami semua. Jadi, Angga gak mau sekolah lagi. Dan beban kalian bisa berkurang sedikit."

Hati Zulfa sakit mendengar penuturan Angga yang penuh perhatian itu. Ia menggigit bibirnya kuat dan menolak untuk menatap Angga selama beberapa menit. Matanya memanas. Zulfa menarik napas panjang agar bisa menetralkan nada suara dan juga hatinya.

Setelah yakin tak akan menangis di depan Angga, Zulfa kembali melarikan matanya menatap adiknya itu. Sebuah senyum tipis ia lukiskan untuk adiknya. "Kamu harus sekolah. Soal biaya, kamu jangan takut. Lagian, selama ini karna kegigihan kamu belajar. Kamu dapat pengurangan uang sekolah, 'kan? Jadi jangan takut dan tetap sekolah. Kekurangan kita juga gak banyak, kok. Nanti kakak bakal cari cara lain buat nambahin penghasilan. Kamu paham?"

Bagi Zulfa membeberkan kebenaran itu lebih baik daripada menutupinya, lalu membiarkan adiknya itu berpikir macam-macam. Ia harap, setelah adiknya melihat kebenaran itu, adiknya akan mengerti dan memikirkan ulang kembali akan keputusannya.

Angga terdiam. Ia terlihat berpikir. Zulfa menyentuh pundaknya lembut hingga Angga menatapnya.

"Udah. Sekarang lebih baik kamu tidur dulu. Besok pagi baru kita bicara lagi. Hmm?" pintanya sembari mengusap puncak kepala Angga.

Angga masih bergeming di tempatnya. Zulfa masih menantinya dengan senyum lembut hingga tiba-tiba ia bersuara. "Angga bisa kerja," ungkap Angga yakin. Semangat terlihat berkobar di kedua matanya.

Itu membuat Zulfa mengurut pangkal hidungnya gemas. Ia menarik napas dan menghembuskannya gusar. Bukan begini hasil akhir yang ingin dia capai. Tangannya terkepal kuat guna menyalurkan emosinya.

"Angga, kita bicarain ini besok pagi aja, ya?" pintanya lembut dan penuh permohonan.

Tahu bahwa kakaknya sedang diliputi kemarahan. Angga memilih menurut tanpa membantah. Angga keluar dari kamar Zulfa dan menuju kamarnya. Di kamarnya, ia masih belum bisa tidur. Ia malah mulai berpikir apa pekerjaan yang ingin ia cari dan lakukan. Kapan dan di mana ia akan bekerja.

Sementara itu, di dalam kamarnya, Zulfa berusaha keras agar tak berteriak marah. Ia marah pada dirinya sendiri yang tak mampu mengatur keuangan panti. Ia marah lantaran ia tak berusaha lebih giat agar neneknya tak usah bekerja lagi di usianya yang sudah tua. Ia marah lantaran ia tak berusaha lebih giat lagi agar keuangan panti bisa tercukupi. Ia juga marah pada keadaan yang tak berpihak padanya.

Pada akhirnya, kemarahan itu tertumpah melalui bulir-bulir bening yang meluncur bebas dari kedua sudut matanya. Tubuhnya gemetar hebat lantaran menangis. Tangisan bisu yang menjadi saksi betapa sakit hatinya saat ini. Ia menangis dan terus menangis hingga tertidur di lantai.

 

[bersambung

 


0 comments:

Posting Komentar