Yo! Apa kabar kalian? Jangan lupa baca part sebelumnya dulu, ya.
Zulfa mengetuk pintu sebanyak tiga kali, lalu menunggu
dengan tenang. Ia melarikan matanya menatap sekeliling koridor yang sepi itu.
Padahal, di ujung koridor, terdapat ruangan yang ramai dengan suara tuts papan
ketik yang tengah ditekan oleh beberapa orang dengan hebohnya.
“Masuk!” Suara bariton itu menghentikan pelarian mata Zulfa.
Zulfa menekan handel pintu dan masuk ke dalam ruangan. Ia menatap pria yang
tengah menekuri dokumen itu dengan tenang.
“Duduk!” titah pria itu tenang tanpa menatap Zulfa sama
sekali. Zulfa menurut. Ia duduk di atas sofa untuk tamu yang memang disediakan
di dalam ruangan itu.
Sekali lagi, Zulfa melarikan matanya ke seluruh penjuru
ruangan tanpa kentara. Dapat dilihatnya bahwa beberapa dekorasi dan letak
ruangan ini telah berubah. Ruangan yang dulunya sangat kosong itu, kini telah
terlihat lebih hidup. Ada beberapa lemari besar yang berisi dokumen. Sebuah
meja kecil di antara dua buah sofa yang berhadapan. Dan sebuah lemari setinggi
pinggang dan di atasnya terdapat sebuah vas bunga untuk memperindah dekorasi
ruangan.
“Ada apa, Zulfa?”
Zulfa yang setengah melamun hampir saja tersedak ludahnya
sendiri. Ia mendongak dan mendapati Noah membuka kancing jasnya hendak duduk di
sofa yang ada di hadapannya.
“Saya dengar dari nenek saya, Bapak kemarin datang ke rumah
saya, ya?” tanya Zulfa sopan.
Noah terdiam sejenak terlihat seolah tengah menimbang
sesuatu. Beberapa detik berlalu, ia kemudian mengangguk mantap. “Ya, saya ke
rumah kamu.”
Belum sempat Noah melanjutkan kalimatnya, Zulfa terlebih
dahulu memotong, “Apa ada kesalahan yang saya buat? Atau ada dokumen yang tak
sengaja saya bawa pulang?”
Noah menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan
perlahan. Karyawan cerobohnya satu ini benar-benar hobi sekali memotong
ucapannya. “Kamu tidak melakukan kesalahan. Dan soal dokumen yang kemungkinan
terbawa pulang olehmu, saya rasa itu benar. Saya kemarin datang ke kantor untuk
mencari proposal promosi yang akan kita berikan selama empat bulan ke depan.
Namun, saya tidak bisa menemukannya di dalam lemari arsip ataupun di meja saya.”
Zulfa menggigit bibirnya cemas. Ia mengorek kembali ingatan
mengenai dokumen tersebut. Ia ingat kalau itu adalah proposal yang dikerjakan
dan dicetak olehnya beberapa hari yang lalu. Zulfa sedikit heran ketika Noah
tiba-tiba berdiri dan menuju laci yang ada di mejanya. Mengambil sebuah laporan
dan kembali ke tempatnya.
“Dan lagi-lagi, kamu menyerahkan ini ke saya,” ucap Noah
lelah. Ia menaruh jurnal pribadi milik Zulfa di hadapan gadis itu.
Zulfa mengumpat dalam hati. Dasar! Bisa-bisanya ia terus
memberikan jurnal pribadinya pada atasannya. Benar-benar bodoh. Zulfa meringis
dan menatap Noah bersalah. “Maaf, Pak. Sepertinya, lagi-lagi ini tertukar
dengan dokumen yang harus saya berikan pada Bapak.”
Zulfa memukul kepalanya pelan. Kemudian, menyambar jurnal
tersebut dan memeluknya kuat. Sepertinya otaknya benar-benar bermasalah.
Bisa-bisanya ia ceroboh seperti ini. “Saya akan menyerahkan dokumen yang benar
untuk Bapak.”
Zulfa pamit undur diri. Setelah menutup pintu. Zulfa
menjedotkan kepalnya ke dinding. “Bodoh! Kenapa salah kasih dokumen terus,
sih?!” makinya kesal pada dirinya sendiri. Setelahnya, ia kembali ke kubikelnya
dan langsung mengobrak-abrik lacinya untuk mencari proposal promosi yang
dimaksud oleh Noah.
“Cari apa, Zul?” tanya Anggi seraya melongokkan kepalanya ke
dalam kubikel Zulfa.
Zulfa mengangkat wajahnya dan menatap Anggi memelas. “Proposal
promosi untuk empat bulan ke depan, Gi,” lirihnya sedih.
Anggi menggeleng pelan, berusaha memaklumi tingkah rekannya
yang satu ini. Mencari atau memberikan dokumen yang salah seolah memang ciri
khas Zulfa dalam bekerja. Untung saja hasil kerja gadis itu sangatlah bagus dan
dia juga sangat cekatan. Pintar dan cepat tanggap juga merupakan kelebihannya
sehingga jika perusahaan ingin memecatnya harus berpikir sepuluh kali terlebih
dahulu.
Anggi tersenyum tipis. “Itu proposal kapan terakhir kamu
pegang, Zul? Terus waktu itu kamu lagi ngapain? Coba kamu ingat-ingat dulu,”
saran Anggi.
Zulfa menghentikan aktivitasnya dan mulai mengorek otaknya.
Menggali informasi yang menjadi pertanyaan Anggi. Ia ingat, terakhir kali
melihatnya adalah beberapa hari yang lalu. Saat itu, ia dimarahi oleh Noah
karena salah menyerahkan laporan keuangan bulanan dengan jurnal pribadinya.
Lalu, ia memberikan laporan keuangan yang benar. Kemudian, ia menyambar sebuah
dokumen yang dikiranya adalah jurnal pribadinya. Namun, ternyata bukan.
“Ah!” seru Zulfa senang membuat keempat orang di ruangan itu
terkaget. Zulfa meringis pelan. “Sorry,”
ucapnya menyesal.
Zulfa segera membongkar tas miliknya dan benar saja. Ia
menemukan proposal itu di dalam tasnya. Kali ini, setelah memastikan telah
membawa proposal yang benar sebanyak dua kali. Zulfa berjalan menuju ruangan
Noah dan mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Begitu dipersilakan masuk, Zulfa
langsung masuk dan menyerahkan dokumen itu. Ia langsung keluar dari sana
lantaran Noah tak mengatakan apapun lagi.
Sekembalinya ia di kubikelnya, Zulfa memutuskan untuk
merapikan mejanya yang berantakan. Namun, kegiatannya diinterupsi oleh Anggi.
“Zul, kalau bisa. Rapiin kubikel kamu jangan begitu. Nanti
dokumen yang akan kamu kasih ke Pak Noah tertukar lagi. Kamu pilah dulu mana
dokumen yang beliau butuhkan dan mana yang memang mau diarsip. Yang harus
diarsip, kamu langsung taruh di lemari arsip. Yang ingin kamu kasih ke Pak
Noah, kamu taruh ke lemari kamu. Dan itu—“Mata Anggi menunjuk jurnal pribadi
milik Zulfa yang tergeletak di atas meja—“sebaiknya kamu simpan dulu itu ke
dalam tas kamu.”
Zulfa meringis mendengarnya. Benar kata Anggi, pertama yang
harus ia lakukan adalah menyimpan jurnal miliknya ke dalam tas dan tidak
mengeluarkannya di dalam kantor. Kemudian, ia harus merapikan mejanya.
Memisahkan kertas baru dan bekas pada tempatnya. Setelahnya, ia harus memilah
dokumen yang ada di lacinya dan memasukkannya ke dalam lemari arsip jika
dokumen tersebut sudah tak begitu berguna lagi.
Zulfa memulai kegiatan itu dengan cepat. Ia mengerjakan
semuanya sesuai dengan instruksi Anggi. Ketika dilihatnya waktu masih cukup, ia
pun beralih membereskan lemari arsipnya. Arsip yang sudah agak lama waktunya
segera ia pindahkan ke dalam kotak agar bisa dibawa ke dalam gudang arsip. Ia
selesai tepat saat jam pulang.
“Kamu tidak salah pilah, ‘kan?” tanya Noah tak yakin. Ia
yang tadi hendak ke toilet sengaja menghampiri Zulfa saat mengetahui Zulfa
tengah memilah dokumen yang hendak diarsipkan dan dokumen yang masih harus
dikerjakan.
Zulfa mendongak dan menatap tajam atasannya. Ia tak merasa
perlu menyembunyikan ketersinggungannya atas ucapan atasannya barusan.
Sadar bahwa Zulfa tersinggung, Noah segera membela diri. “Maaf,
bukan maksud saya meragukan kamu. Tapi ... kamu sering salah memberikan dokumen
pada saya, ‘kan?”
Zulfa mengangguk pelan. Tak ada yang bisa ia bantah. Ia juga
tak bisa menyalahkan atasannya jika menaruh curiga padanya. “Saya sudah cek dua
kali sebelum saya masukkan ke dalam kotak. Bapak bisa cek sendiri nanti,”
ucapnya tenang.
“Baiklah. Nanti setelah saya agak senggang, saya akan cek
isi kotak ini,” balas Noah tenang.
Mata Zulfa membelalak tak percaya. Atasannya ini benar-benar
menyebalkan sekali. Tak bisakah pria itu mengatakan bahwa ia percaya padanya
sekali saja?
0 comments:
Posting Komentar