Marah
Siapapun,
pasti pernah marah. Saat marah, pasti selalu ada ucapan kasar yang keluar dari
mulut kita. Entah kita bermaksud mengatakannya atau tidak, hal itu tidaklah
begitu penting. Hal yang terpenting adalah kita telah mengucapkan
kalimat-kalimat menyakitkan tersebut.
Kata-kata
kasar penuh amarah bukanlah sesuatu yang bisa ditarik kembali. Apa yang
terlontar dari mulut kita tak akan bisa kita tarik kembali. Sama seperti kertas
yang sudah kita remas, tak akan kembali ke wujudnya semula. Kalimat yang kita
lontarkan akan terus membekas di hati orang yang mendengarnya.
Penyesalan
Tentunya,
setelah marah dan melontarkan kata kasar, kita akan merasa tak enak pada orang
yang sudah kita marahi itu. Walaupun, orang tersebut memiliki kesalahan kepada
kita. Tak bisa kita pungkiri bahwa melontarkan kata kasar kepadanya juga
bukanlah sebuah solusi atas kemarahan yang kita rasakan.
Saat
itu, sebaiknya jangan sungkan untuk meminta maaf. Mungkin bagi orang yang
egonya tinggi, terutama diriku. Kata maaf akan sulit terucap. Walau begitu,
bukan berarti aku tak merasa menyesal sama sekali.
Aku
sering melihat kakakku yang menangis setelah terlibat adu mulut denganku. Aku pernah
mengatainya cengeng, tak beguna, dan yang lainnya. Aku yakin ia pasti sakit
hati. Akan tetapi, seperti yang telah tertulis di atas tadi, apa yang sudah
kulontarkan, tidak bisa kutarik kembali.
Namun,
tak pernah sekalipun kata maaf keluar dari bibirku. Gengsiku terlalu tinggi
untuk membiarkanku mengucapkannya. Entah dia tahu atau dia bahwa aku menyesal.
Sejujurnya, aku berharap bahwa ia tahu aku tak pernah bermaksud untuk
menyakitinya. Walau tentu saja pada kenyataannya aku telah menyakitinya.
Lalu,
saat aku terlibat adu mulut dengan Mama pun. Aku melakukan hal yang sama. Kami
pernah terlibat perselisihan akibat aku tak tahan lagi kerja di perusahaanku
yang lama. Aku pun berkonsultasi pada orang tuaku karena aku ingin berhenti.
Mama
tentu saja marah besar. Ia mengomeliku manja dan lain sebagainya. Setelahnya,
ia memintaku untuk melamar ke perusahaan besar lainnya. Saat itu, aku menolak.
Karena saat itu aku bekerja di perusahaan besar dan aku tak cocok dengan budaya
kerja mereka yang saling menjatuhkan.
Aku
terlalu takut untuk dijatuhkan seperti itu. Mentalku tak kuat sehingga aku
mengatakan bahwa aku tak ingin melamar di perusahaan yang direkomendasikan oleh
Mama. Tentu saja lagi-lagi Mama marah. Mama mengatakan bahwa beliau bukannya
ingin mengaturku atau bagaimana.
Namun,
karena aku sudah gelap mata, aku pun membantah dengan tegas bahwa memang benar
bahwa beliaulah yang telah mengaturku. Kuliah dan sekolah, uangku dan
lain-lain. Bahkan perusahaan tempatku bekerja saat itu adalah perusahaan yang diminta
mama untukku lamar.
Aku
cukup beruntung hingga bisa lolos dan bertahan selama 3 tahun lamanya. Namun,
semakin lama, mentalku semakin rusak karena budaya kerja di sana cukup keras.
Aku hanya ingin menyerah dan saat itu aku yang naïf berpikir bahwa lebih bagus
bekerja di perusahaan kecil karena budayanya tak semengerikan budaya kerja
perusahaan besar.
Tentu
saja, sekali lagi penilaian naifku itu salah besar. Saat ini, aku bekerja di
perusahaan kecil. Dan ternyata, budaya kerja di perusahaan kecil pun sama saja!
Sekali lagi, aku tak ingin menahannya lagi. Setelah bekerja 2,5 tahun, aku pun
kembali memutuskan untuk ‘lari’. Kali ini, aku ingin lari ke tempat yang jauh.
Amat
sangat jauh untuk membuang semua luka ini dan memulai kehidupan yang baru. Tanpa
ada orang-orang yang bisa memperparah luka yang kupunya.
0 comments:
Posting Komentar