Biar gak bingung, baca dulu ya Part1-nya.
Walau jantungku berdegup kencang akibat rasa takut yang mencekikku dengan kuat. Aku tetap menatap Pak Lubis dengan berani.
Ah! Gila! Apa yang sudah kulakukan? Mengapa aku melakukan hal tersebut? Gila! Gila! Sepertinya aku memang sudah gila. Dalam hati, aku terus memaki kebodohanku. Aku benar-benar tak tahu mengapa aku menariknya ke belakang dan malah maju ke depan menggantikannya.
Ah! Bunuh saja aku! Gila! Ingin rasanya aku berteriak, tetapi aku tetap harus menjaga kewarasan. Aku pun harus menjaga agar tampangku terlihat tenang. Aku melihat beliau mengangkat tangannya tinggi-tinggi, bersiap untuk memukulku.
Mampus aku! rutukku dalam hati. Kali ini aku pasti akan benar-benar mampus mendapat kebrutalan pukulan Pak Lubis. Walau sebenarnya aku pernah dipukuli oleh Mama lebih mengerikan dari ini, tetapi tetap saja hal itu sudah lama berlalu. Mengingat memori itu, tanpa sadar membuat kakiku gemetaran.
Aku menggerakkan kakiku sejenak agar tak ada yang tahu bahwa aku mengalami tremor. Aku menarik napas dalam dan menahannya, bersiap sedia menerima pukulan itu. Akan tetapi, pukulan itu tak kunjung datang.
"Loh? Kamu?" tanya Pak Lubis dengan suara heran.
Lantaran terlalu gugup dan juga takut, aku pun menjawab dengan suara yang cukup keras dan bergetar, "Ya, Pak. Saya."
Aku mendongakkan kepalaku yang entah kapan sudah menunduk demi melihat mimic wajah Pak Lubis. Aku melihat ia memijit pangkal hidungnya dan menatapku frustrasi.
Hah? Apa? Apa yang salah? Apa aku sudah berbuat kesalahan? Aku segera menoleh ke belakang dan menatap Venny dengan pandangan heran. Ia hanya menggedikkan bahunya tanda tak tahu. Aku pun kembali menatap Pak Lubis yang tengah menghela napas panjang.
“Kenapa kamu keluar?” tanyanya heran.
Eh? Loh, kok malah tanya aku kenapa? Apa salahnya kalau aku keluar di saat teman sebangkuku pun keluar? “Karna Venny dipanggil, saya juga keluar, Pak. Logikanya ‘kan harusnya Venny kalau ngobrol itu sama teman sebangkunya. Kalau Venny dibilang rebut, berarti saya juga karena saya teman sebangkunya. Kalau bukan sama saya, lantas Venny ributnya bareng siapa, Pak? Gak mungkin dia ngomong sendiri ‘kan, Pak?” tanyaku bingung.
Pak Lubis menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia menatap ke belakangku yang barisannya masih mengular. Di belakangku terdapat Venny, yang merupakan langganan juara 5 besar. Selain itu, yang juara pertama dan kedua pun mengantre di belakangnya menunggu giliran untuk dihukum.
Kini perasaan takut pun berganti menjadi perasaan bingung dan gelisah. Bingung akibat kefrustrasian Pak Lubis. Dan gelisah akibat tak bisa menebak apa yang ada di pikiran Pak Lubis saat ini. Aku meremas ujung rokku guna mengeringkan telapak tanganku yang sudah basah akibat keringat.
Semenit. Dua menit. Tiga menit. Lima menit sudah berlalu. Pak Lubis masih tetap setia dengan diamnya dan menatap barisan belakangku yang mengular. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat.
Ia menghadap ke depan, menolak untuk menatap barisan mengular yang siap mendapat hukuman. “Masuk!” titahnya membuat kami semua kebingungan. Walau begitu, setiap wajah menunjukkan mimik lega tanpa menyembunyikannya sama sekali.
“Kalian tunggu apa lagi?” tanya Pak Lubis lelah. “Masuk dan duduk di tempat masing-masing,” ulangnya lagi. Kali ini nadanya sudah kembali datar seperti biasa.
“Masuk, Pak? Hukumannya?” tanya Willy menyuarakan pertanyaan yang bordering di otak teman-temannya.
“Gak jadi,” ucap Pak Lubis pasrah. “Bapak tidak bisa menghukum orang yang tidak bersalah. Bagaimana mungkin Bapak menghukum mereka yang pendiam ini sementara ada beberapa dari kalian yang sering membuat keributan masih duduk dengan manis di tempatnya masing-masing. Sudahlah. Kalian duduk saja,” jelasnya membuat kami semua tak ragu untuk duduk lagi.
Begitu duduk, aku segera menyibukkan tanganku yang masih tremor untuk menyamarkannya. Aku membolak-balikkan lembar buku cetak milikku dan mencoba menggunakannya untuk menulis saat tremor yang kurasakan semakin mereda.
Jujur, aku sangat lega saat ini. Aku tak bisa membayangkan bagaimana pedasnya tamparan milik Pak Lubis. Aku yakin itu akan membuat telinga berdengung selama beberapa saat. Aku menarik napas panjang dan menatap Pak Lubis yang terlihat kecewa. Ya, kalau aku jadi beliau pun, aku pasti akan kecewa. Anak muridnya bandel semua, tukang membangkang. Pasti akan kecewa sekali. Aku tahu, beliau hanya ingin agar kami menjadi anak-anak yang baik.
“Sebelum Bapak memulai pelajaran hari ini, ada yang ingin Bapak sampaikan,” ucapnya pelan. Kami semua menunggu dengan penuh antisipasi. Perasaan takut dan marah akan dihukum pun kembali menguasai kami.
Pak Lubis menghela napas panjang sebelum melanjutkan pidatonya, “Bapak tak akan menghukum kalian lagi. Tetapi, Bapak mengharapkan satu hal dari kalian. Perhatikanlah pelajaran baik-baik. Baik itu berasal dari guru yang tidak kalian sukai, maupun yang kalian sukai. Itu akan berguna untuk masa depan kalian. Perhatikan juga pelajaran yang walau menurut kalian tak akan membantu kalian di masa depan karena tak ada yang tahu di masa depan kalian akan seperti apa. Ambil apa yang bisa kalian ambil dari guru-guru di sini. Asal kalian tahu, di luar sana, tak ada guru-guru yang sebaik guru di sini. Di beberapa sekolah, murid-muridnya hanya diberikan buku dan sisanya mereka mencari tahu sendiri. Kenapa kalian yang sudah disuapi dan tinggal makan saja tak mau makan?
“Pikirkan baik-baik nasihat Bapak ini. Bapak ingin, semua anak Bapak sukses di kemudian hari. Makanya Bapak mendidik kalian sekeras ini. Bapak tidak ingin kalian hanya dikenal dengan kepintaran kalian tanpa akhlak yang mendukung kepintaran kalian itu. Bapak yakin kalian, anak-anak Bapak yang pintar, ini pasti mengerti apa maksud dari ucapan Bapak sekarang.” Pak Lubis menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan.
Kami menundukkan kepala. Mungkin sebagian besar dari teman-temanku tengah merenungi apa yang disampaikan oleh Pak Lubis. Mungkin sebagian dari mereka ada yang menolak nasihat dari beliau. Akan tetapi, aku yakin pasti ada yang menerima nasihat beliau. Apa yang beliau katakan memang bertujuan baik untuk kami semua dan aku percaya beliau bukan guru kejam yang hanya suka main tangan. Beliau guru yang baik dan menginginkan anak-anaknya menjadi generasi penerus yang sukses dan juga baik.
#30daysjournalingchallenge
#day27-part2
0 comments:
Posting Komentar