XI IPA 1. Kelas setan, begitulah guru-guru menyebutnya. Bukan tanpa alasan kelasku dianugerahi nama seperti itu. Di sini, terdapat banyak anak nakal. Anak-anak pembuat onar yang sangat malas belajar. Di setiap mata pelajaran, kelasku selalu ribut bak pasar di pagi hari.
Ada faktor lain mengapa julukan itu sangat pas. Tepat di sebelah gedung kelasku, terdapat beberapa buah kuburan milik orang China. Entah milik siapa, aku tak tahu. Aku memang pernah mendengar selentingan kabar kuburan tersebut milik siapa. Bahkan ada rumor yang mengatakan bahwa sebenarnya itu hanya kuburan kosong. Entahlah. Namun, yang jelas, semua guru menyalahkan kuburan itu saat kelas kami berbuat onar.
"Kalian! Apa kalian tahu seberapa banyak komplain yang saya terima dari guru-guru?!" hardik Pak Lubis, wali kelas sekaligus guru Bahasa Indonesia kami.
Pasti guru yang usianya hampir menginjak ¾ abad itu menerima banyak komplain dari banyak guru mengenai seberapa bandel dan ributnya kami selama proses belajar mengajar berlangsung. Tak heran ia terlihat begitu marah saat ini. Aku mengedarkan pandang ke seluruh kelas yang amat sangat diam secara diam-diam.
"Hah ... saya tidak tahu lagi bagaimana harus mendidik kalian," keluh Pak Lubis bingung. Kelas masih diam bahkan saking diamnya aku yakin jika ada jarum yang jatuh pasti suaranya akan terdengar nyaring.
"Begini saja," ucap Pak Lubis hingga kelima puluh enam kepala kami menatapnya heran. "Saya akan mengutus seseorang dari kalian secara rahasia untuk melaporkan kepada saya siapa saja yang berbuat onar di kelas ini. Setiap kali ada pelajaran Bahasa Indonesia, nama-nama yang saya kantongi akan menjalani sidang."
Aku mengangguk tak acuh. Bukan karena tak takut atau tak menghormati Pak Lubis, melainkan aku yakin kalau aku tak akan masuk ke dalam daftar hitam tersebut. Setelah itu, pelajaran Bahasa Indonesia berlangsung dengan damai. Setelahnya kami menjalani waktu istirahat selama lima belas menit.
"Nanti pas pelajaran kimia, jangan ada yang bersuara. Aku dengar guru yang melapor salah satunya adalah Pak Budi. Kita harus melakukan aksi protes pada Pak Budi karena selama pelajarannya kita tak pernah berbuat onar," jelas Willy, wakil ketua kelas XI IPA1, sesaat sebelum Pak Budi masuk.
Aku melihat sekeliling, hampir satu kelas menyetujui saran tersebut. Beberapa menit berlalu, Pak Budi pun masuk ke dalam kelas. Kami berdiri dan memberi hormat secara kompak dan juga bisu. 'Hukuman' itu benar-benar kami berikan pada Pak Budi.
Tentu saja guru yang seusia dengan orang tua kami itu bingung setengah mati. Awalnya, ia menjelaskan pelajarannya seperti biasa. Setelah dua papan tulis penuh, ia duduk ke meja guru dan memperhatikan kami yang masih bertahan dalam mode diam padahal kelas sudah berlangsung hampir setengah jam. Sungguh rekor diam yang luar biasa.
"Kalian marah sama Bapak?" tanyanya pada akhirnya lantaran tak tahan dengan aksi diam kami. Namun, kami masih tetap menghukum beliau. Kami diam, tak menjawab pertanyaannya.
"Kalian marah sama Bapak," ulangnya lagi, tetapi kali ini bukan pertanyaan melainkan pernyataan. Beliau terdiam, keningnya berkerut dalam. Mungkin beliau tengah mengorek ingatannya, mencari di mana letak kesalahan beliau.
Beberapa menit berlalu, kami masih mencatat catatannya dengan tenang. Setelah satu orang memberi kode isyarat untuk menghapus papan, kami menyetujuinya dengan anggukan kompak. Kami menunggu dengan tenang agar Pak Budi melanjutkan sesi penjelasannya.
"Apa yang sudah Bapak lakukan sampai membuat kalian mogok bicara dengan Bapak?" tanyanya bingung. Ia masih duduk di meja guru dalam keadaan bingung. Sejujurnya, aku ingin menjawabnya lantaran kasihan. Akan tetapi, aku juga tak bisa mengkhianati teman-temanku.
"Mau sampai kapan kalian mendiamkan Bapak?" tanyanya pasrah. Beliau turun dari meja guru dan mendekati Heri, si ranking pertama. Beliau menatap Heri dalam. "Apa yang sudah Bapak lalukan sampai kalian mendiamkan Bapak?" tanyanya sambil menatap ke dalam mata Heri.
Heri buru-buru menghindari tatapannya dengan membaca buku cetak. Aku tahu, ia tengah dilema—ingin membuka mulut karena kasihan pada Pak Budi, tetapi juga tak ingin menjadi pengadu.
Pak Budi berdiri tegak karena tak berhasil mengorek informasi dari target pertamanya. Ia berjalan ke arahku hingga membuat jantungku kebat-kebit. Aku menoleh ke belakang, tempat di mana Willy duduk tenang sambil memperhatikan apa yang terjadi.
"Elvina, apa yang sudah Bapak lalukan sampai kalian mendiamkan Bapak seperti ini?" tanyanya padaku. Aku tersenyum kikuk, tetapi tak menjawab pertanyaannya juga. Beliau menatapku dan kubalas tatapan itu dengan santai walau aku gugup setengah mati.
Dalam hati, aku menyumpahi Willy yang tak kunjung membuka mulut. Aku doakan ia bisu selamanya jika dia benar-benar tak membeberkan alasannya.
"Elvina?" panggil Pak Budi pelan membuatku semakin terpojok. Walau begitu, aku tetap diam. Tanganku terkepal di bawah meja.
"Kami tahu Bapak yang melaporkan kami pada Pak Lubis kalau kami ribut di kelas Bapak. Padahal kami tak begitu ribut di kelas Bapak." Aku menghela napas lega begitu mendengar suara lantang milik Wili, ketua kelas kami.
Pak Budi menganggukkan kepalanya paham. "Saya tidak mengadu. Kalian tidak percaya pada saya?" tanyanya terlihat tersinggung.
Aku tak mau berbohong, aku tak bisa mempercayainya seratus persen. Aku tahu beliau menyayangi kami lantaran beliau akan menjadi wali kelas kami tahun depan. Akan tetapi, rasanya sangat tak masuk akal jika beliau melaporkan kami pada Pak Lubis. Tak ada untungnya beliau melakukan hal itu.
Aku rasa banyak yang sependapat denganku. Terbukti dengan ucapan Wili yang langsung disetujui teman sekelas dengan cepat.
"Ya, sudah. Hukuman Bapak kami cabut." Dengan begitu, sisa waktu pelajaran Kimia kami lalui dengan normal. Tak ada lagi aksi mogok bicara.
Pelajaran selanjutnya, Seni Musik, kami kembali melakukan aksi mogok bicara. Ya, guru musik ini juga masuk ke dalam daftar guru yang melaporkan kami. Padahal kalau boleh jujur, di kelas beliau kami tak seribut itu. Memang ada saatnya kami berbicara, tetapi kami tak benar-benar ribut. Kalau guru yang satu ini, aku percaya dia benar-benar melaporkan kami. Jadi, aku tak segan melakukan aksi mogok bicara di pelajaran beliau.
Pelajaran musik kami lalui dalam diam bahkan ketika Bu Jeny meminta kami bernyanyi pun kami hanya diam. Tentu saja dia jengkel dengan 'hukuman' yang kami berikan. Dan, benar saja lagi-lagi ia mengadu pada Pak Lubis. Siang itu, sebelum kelas siang berakhir dan dilanjutkan dengan kelas sore. Pak Lubis mendatangi kelas kami dan marah.
Beliau mengatakan bahwa Bu Jeny melapor pada beliau bahwa kami 'menghukum'-nya. Lalu, kami bertanya di mana letak kesalahan kami.
"Kenapa Bapak marah? Kami hanya mengikuti keingin Bu Jeny agar diam, lalu kenapa kami salah lagi?" tanya Jessy tak mengerti.
Pak Lubis hanya bisa menggeleng pelan. Kemudian ia berlalu dengan pasrah. Setelah kami 'menghukum' guru-guru kami selama seminggu penuh. Kelas kami kembali seperti semula. Ribut bak pajak di pagi hari. Dan lagi-lagi, objek yang disalahkan adalah kuburan di samping gedung kami.
"Sepertinya setan penunggu kuburan sebelah kembali lagi ke sini," ucap Miss Lilis sambil menggeleng pasrah.
Setelah seminggu melakukan aksi diam. Kebar-baran kami pun keluar juga selama seminggu penuh. Dan tak usah ditanya lagi. Kami mendapatkan hukuman dari Pak Lubis. Sepertinya, 'agen rahasia' miliknya benar-benar bekerja.
"Dewa! Jessy! Selly! Willy wakil! Inggrid! Andi! Jackson! Jeffry! Steven! Angel! Christine! Chris! Ferry!" Sebuah jeda Pak Lubis, bersamaan dengan itu semua murid yang namanya dipanggil maju ke depan sambil menunduk. "Clara! Johan! Venny! Maju ke depan"
Mataku membulat tak percaya mendengar nama terakhir itu. Tentu saja aku kaget bukan main. Nama terakhir itu milik teman sebangkuku. Ia pun dengan patuh keluar dari tempat duduknya. Aku tahu dia beberapa kali memang berbicara di sana sini, tetapi menurutku dia tak masuk dalam kategori yang membuat keributan di dalam kelas.
"Apa ada lagi yang kurang? Siapa yang merasa membuat keributan saat proses belajar mengajar berlangsung, maju ke depan!" titah Pak Lubis tak bisa dibantah.
Aku menatap sekelilingku. Tak ada yang berani maju. Namun, melihat kanan kiri dan belakangku kosong karena di panggil ke depan. Aku pun memutuskan untuk maju tanpa mempertimbangkan resikonya. Melihatku maju, terdengar kasak-kusuk di belakang hingga membuat Pak Lubis geram dan menggebrak meja.
"Maju saja! Akui perbuatan kalian. Siapa yang merasa berbuat keributan di kelas, maju ke depan," hardik Pak Lubis geram.
Kasak-kusuk pun mereda. Kulihat, walau enggan banyak yang berdiri. Aku tak tahu alasan mereka maju ke depan, tetapi sekilas aku mendengar bisikan mereka.
"Elvina yang pendiam aja keluar, masa kamu yang tukang ngoceh duduk?" Begitulah kira-kira kasak-kusuk yang menyebabkan mereka maju ke depan. Bahkan juara pertama dan juara kedua pun bersedia maju ke depan dengan kaki mereka sendiri lantaran solidaritas antar kelas. Hanya ada beberapa orang yang tak keluar. Dari 56 orang di kelas kami, hanya ada 6 yang pantatnya setia menempel pada bangku.
Willy yang berada tepat di depan Pak Lubis pun segera mendapatkan hukuman. Tamparan keras yang kuyakin membuat telinga berdengung itu ia terima tanpa perlawanan. Pasti sakit sekali melihat pipi kanannya langsung membekas mencetak telapak tangan Pak Lubis. Tak cukup hanya dengan tamparan, Pak Lubis menjambak kasar rambut Willy dan menggoyang-goyangkan kepala Willy dengan kasar. Aku yakin sekali jika Willy adalah sebuah boneka, pasti kepala itu akan lepas.
Bulu kudukku meremang melihat hukuman itu. Walau aku bukan tipe orang yang tak pernah mendapatkan hukuman fisik, tetapi tetap saja menurutku hukuman yang diberikan Pak Lubis amat sangat mengerikan. Tiga orang cowok di depanku mendapatkan hukuman yang sama. Pipi kanan mereka memerah akibat tamparan itu. Tiba giliran Venny selanjutnya, tetapi entah mengapa aku menariknya ke belakang dan berdiri mengganti posisinya.
Walau jantungku berdegup kencang akibat rasa takut yang mencekikku dengan kuat. Aku tetap menatap Pak Lubis dengan berani.
[berlanjut ke Part 2]
#30daysjournalingchallenge
#day27-part1
0 comments:
Posting Komentar