Day26 of 30DJC

 

"Hei! Aku mau tanya dong," ucap gadis itu dengan nada penasaran. Lengannya menyenggol lenganku pelan untuk menarik perhatianku.

Aku menoleh menatapnya dengan alis terangkat. Tumben sekali dia ingin bertanya, tetapi minta izin terlebih dahulu. Apa mungkin dia habis terbentur sesuatu di kepalanya? Entahlah, aku tak begitu peduli juga. "Apa?" tanyaku datar.

Ia berdecih pelan dan memutar bola matanya sebal. Sebelum mengajukan pertanyaannya, bibirnya ia kerucutkan sembari bergumam kecil—entah apa karena aku tak dapat menangkap satu kata pun yang meluncur dari bibirnya. Akan tetapi, satu hal yang aku yakin, ia tengah menyumpahiku.

"Kamu pernah bilang, 'kan? Kalau kamu gak akan menyesali keputusan yang kamu ambil," ucapnya hati-hati.

Aku terdiam sejenak. Sejujurnya, aku memang mengulang-ulangi kalimat tersebut. Agar aku tak boleh menyesali apapun keputusan yang telah aku ambil. Bagiku, menyesal pun tak akan ada gunanya. Nasi sudah menjadi bubur dan tak bisa lagi kembali ke bentuk semula. Lebih baik melihat ke depan dan memperbaiki apa yang salah.

Beberapa saat setelahnya. Aku pun mengangguk pelan. "Ya," jawabku sedikit tak yakin. Karena aku memang tak benar-benar yakin.

"Apa kamu benar-benar tak pernah menyesali keputusan yang sudah kamu ambil?" tanyanya sekali lagi. Kali ini, tak ada nada ragu. Hanya ada rasa penasaran yang kuat.

Sekali lagi aku terdiam. Benarkah aku tak pernah menyesali keputusan yang telah aku ambil? Aku mulai menggali ingatanku, baik ingatan yang bagus maupun yang buruk. Beberapa lamanya aku tenggelam di antara memori-memori tak menyenangkan hingga aku merasa emosiku sedang diaduk-aduk.

Aku menghela napas panjang. Berusaha mengenyahkan memori buruk yang mulai memengaruhi emosiku. Ayo, pikirkan hal baik! Hal baik! Hah .... Aku tersentak saat ingatan itu menghantamku dengan keras. Ah! Mungkin aku pernah menyesali keputusan yang aku ambil. Walau sebenarnya aku tak benar-benar menyesal hingga membuatku terpuruk.

"Mungkin ... tidak," bohongku. Aku tak ingin kenangan kelam itu terkorek kembali. Walau satu tahun sudah berlalu, tetapi rasa sakit itu masih ada.

Ia memandangku penuh selidik. Wajahnya terlihat tenang hingga aku tak tahu apa yang tengah berseliweran di pikirannya saat ini. Tak lama, ia berseru—entah marah atau senang—"Bohong! Kamu bohong!"

Aku menatapnya tajam. "Gak!" bantahku dengan nada yang terlalu tinggi. Dan saat itu aku tersadar, kebohonganku sudah terungkap. Dengan marahnya diriku, sudah menjadi bukti yang kuat bahwa aku tengah berbohong.

Aku menghela napas panjang. Menyerah. "Baiklah. Aku pernah. Itu adalah keputusan besar yang pernah aku ambil selama hidupku," jujurku pasrah.

Ia mengangguk-anggukkan kepala tanda paham. Wajahnya melembut, matanya menatapku prihatin. Sedetik kemudian, mimiknya berubah penasaran. Matanya berbinar penuh semangat seolah tengah mendapati misteri baru untuk dipecahkan.

Gusar. Aku pun menghardiknya sebelum ia sempat mengucapkan apapun, "Jangan tanya! Jangan mengorek luka yang bahkan belum sembuh benar!"

Ia tersenyum lembut, tak terpengaruh oleh kegusaranku. Ia menepuk bahuku pelan, lalu memijitnya dengan lembut hingga otot-ototku yang sempat menegang menjadi sedikit lebih rileks.

"Kamu tahu?" Ia menjeda ucapannya hingga berhasil memancing rasa penasaranku. Aku menatapnya dengan alis terangkat sebelah.

"Ada seorang teman yang mengatakan padaku bahwa luka itu harus diungkapkan agar penyembuhannya bisa lebih cepat. Dan kurasa ... mungkin hal itu benar adanya," ucapnya serius.

Matanya menatap mataku dalam hingga aku tenggelam di dalam sana. Aku terusik mendapati ketenangannya hingga cerita itu meluncur begitu saja tanpa bisa dikendalikan.

"Kejadiannya setahun yang lalu. Kamu tahu? Saat itu aku bekerja di suatu perusahaan besar. Aku rasa tak perlu disebutkan namanya. Di sana, aku tertekan. Atasan dan seniorku, aku tak bisa bilang kalau mereka adalah orang yang jahat. Tapi aku juga tak bisa mengatakan bahwa mereka orang yang baik. Di sana, aku selalu berpikir 'mungkin saja aku memang tak berbakat dalam bekerja'. Aku tak tahu apakah memang benar seperti itu ataukah mereka yang membuatku berpikir seperti itu. Selain tekanan dari mereka, aku juga mendapatkan tekanan di rumah.

"Dengan tekanan yang seperti itu. Ditambah lagi dengan harus memikirkan skripsi. Itu membuatku benar-benar hampir gila. Saat itu, pertengahan Bulan Juni. Dan kontrak kerjaku di perusahaan tersebut berakhir di akhir Bulan Juli. Aku berdiskusi dengan Mama, aku bilang aku ingin berhenti kerja saja. Tentu saja Mama menolak. Tak heran, biaya wisuda sangat mahal. Belum lagi harus bayar uang kuliah. Tetapi aku bersikeras ingin berhenti karena memang sudah benar-benar tak tahan lagi.

"Suatu malam, aku bertengkar hebat dengan Mama karena masalah berhenti kerja itu. Aku marah karena masuk ke sana sebenarnya bukan murni keinginanku. Aku hanya menuruti kemauan Mama dan beruntung aku berhasil. Setelah pertengkaran itu, hubunganku dengan Mama yang sudah renggang menjadi semakin renggang. Akhir bulan Juni, Mama menyetujui keinginanku hingga aku pun mengatakannya pada atasanku.

"Mereka terus-terusan memintaku memikirkannya kembali. Walau begitu, mereka tetap mencerca gaya kerjaku yang katanya tak rapi dan lamban. Mereka juga bilang bahwa mereka itu perusahaan besar jadi tak masalah jika satu karyawan pergi karena banyak yang melamar di sana. Aku tak tahu kenapa harus mendengar omong kosong semacam itu. Bahkan mereka bilang, aku tak akan bisa bekerja di mana pun dengan gaya bekerjaku itu. Jujur, saat itu aku sangat sakit hati. Walau begitu, aku tetap menujukkan wajahku yang tersenyum sambil mengatakan 'tidak apa-apa'.

"Mereka akhirnya menyetujui pengunduran diriku dan mengajukan syarat kepadaku. Jangan berhenti sebelum mereka menemukan penggantiku. Aku menyanggupi hal tersebut. Akan tetapi, yang terjadi adalah 2 hari sebelum tanggal 31 Juli, mereka menerbitkan surat bahwa aku akan diberhentikan tanggal 31 Juli nanti. Saat itu, aku benar-benar merasa hancur. Dan penyesalan itu datang. Karena di hari pengumuman itu keluar, di hari itu juga pengumuman biaya sidang dan wisuda juga keluar. Waktu itu, aku benar-benar harus menguras semua tabunganku hasil kerja untuk biaya kuliah, uang sidang, dan juga biaya wisuda."

#30daysjournalingchallenge
#day26

0 comments:

Posting Komentar