Gladys menyusuri gang yang temaram itu sembari terisak kecil. Ia berhenti sejenak demi menatap layar ponselnya sekali lagi.
“Kita putus aja, ya.”
Gladys berjongkok, tak kuasa menahan tangisnya lagi. Ia
menangis sesenggukan di gang sempit itu.
“Jahat! Kenapa?” racaunya kecewa. Ia mengusap air matanya
yang tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Baru saja bibirnya terbuka
hendak mengeluarkan caci maki.
Teriakan kaget meluncur bebas dari bibirnya akibat ada yang
memegang bahunya. “Argh ....” Ia berdiri tegak sembari menutup mata
rapat-rapat. Sebelum ia memacu kakinya dengan kecepatan tinggi, ia menendang
orang yang memengangnya dengan sekuat tenaga.
“Aw! Sial! Oi! Adik kurang ajar!” Samar-samar ia mendengar
suara bariton yang memaki kesakitan. Ia berhenti sejenak karena merasa familiar
dengan suara tersebut.
“Gladys, kampret!” maki pemuda tersebut lagi membuat Gladys
serta merta menoleh ke belakang. Matanya membelalak tak percaya mendapati
abangnya—Gilang—tengah menunduk sembari memegang tulang kering kaki kanannya.
Gladys meringis sambil mendekati abangnya. Ia menatap
abangnya dengan perasaan bersalah. “Sakit, ya, Bang?” tanyanya basa-basi.
Gilang mendongak dan menatap Gladys tajam. Ia menegakkan
tubuhnya sembari berdiri dengan satu kaki. “Menurut kamu gimana?” sinis Gilang
membuat Gladys meringis menyesal.
“Sorry, Bang. Aku
kira preman sini. Jadi ... ya, gitu, deh,” ringis Gladys. Yang dikatakannya
memang bukanlah alasan semata. Di daerah tempat tinggalnya ini, banyak preman
yang suka menggoda gadis-gadis yang berjalan sendirian. Dan jika mereka sedang
sial, mereka akan dipalak juga.
“Nyesel aku jemput kamu, Dek. Bukannya dibilangin terima
kasih, malah ditendang. Dasar adek durhaka,” gerutu Gilang. Gladys yang
mendengarnya langsung tersenyum semringah sambil bergelayut manja di lengan
sang abang.
“Bang,” panggil Gladys saat keduanya berjalan bersama menuju
rumah.
“Hmm?” deham Gilang tanpa menoleh pada adiknya. Sejujurnya,
ia sangat penasaran dengan alasan adiknya menangis sesegukkan di tengah jalan
yang gelap itu. Akan tetapi, ia tahu tak bisa memaksa adiknya untuk bercerita
jika adiknya sedang tak ingin berbagi.
“Gak, deh!” Gladys menggeleng dan tersenyum tipis.
Gilang mengacak rambut adiknya sayang. Sesampainya di rumah,
Gladys langsung bersih-bersih. Sementara Gilang meluncur ke dapur dan
menyiapkan beberapa camilan kecil. Ia tahu adikknya sedang gundah dan butuh
telinga. Maka dari itu, ia siap menjadi telinga untuk sang adik.
Begitu selesai mandi, Gladys mendatangi Gilang dan duduk di
sebelahnya. Ia menatap sang kakak penuh tanya. “Abang gak mau tanya gitu?”
tanyanya heran.
Alis Gilang terangkat. Ada begitu banyak hal yang ingin dia
tanyakan. Akan tetapi, ia tak tahu pertanyaan apa yang dimaksud oleh adiknya
ini. “Tanya apa?” balasnya tak mengerti.
Gladys menunduk. Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa dan
meletakkan kepalanya di atas pangkuan sang abang. Ia menatap dalam abangnya seolah
tengah menimbang sesuatu. Sebuah elusan hangat nan lembut mendarat di puncak
kepalanya membuatnya merasa nyaman dan disayang.
“Bang, menurut abang, lebih bagus meninggalkan atau
ditinggalkan?” Akhirnya Gladys menyuarakan pertanyaan yang sudah bercokol di
otaknya selama beberapa bulan belakangan.
Gilang menghentikan elusannya. Ia mengusap dagunya dan
bergumam sembari berpikir. “Kalau abang sendiri ... bagusnya ditinggalkan aja,
sih. Lebih baik berada di pihak yang tersakiti daripada disakiti.”
Kening Gladys mengerut dalam. Ia sungguh tak mengerti kenapa
abangnya berpikiran seperti itu. “Kenapa jadi disakiti dan menyakiti, sih?”
protesnya tak terima.
Gilang terkekeh pelan. “Gini, loh, Dek. Kalau misalnya kamu
ditinggalkan, sakit gak?” tanya Gilang tenang.
Gladys terdiam sejenak. Wajahnya berubah sendu, lalu ia
mengangguk pelan. “Sakit banget, Kak.” Sebulir bening meluncur dari sudut
matanya dan segera ia usap.
Gilang mengelus puncak kepalanya sayang. “Nah. Kita tahu
kalau ditinggalkan itu sakit, ‘kan? Makanya abang gak mau meninggalkan orang
biar gak nyakitin orang. Lebih baik ditinggalkan karena sakit membuat kita
kuat. Dan menyakiti orang hanya akan menimbulkan dendam. Tapi, bukan berarti
abang nyuruh kamu dendam ke orang yang udah ninggalin kamu, ya.”
Gladys terdiam beberapa saat, mencerna apa yang disampaikan
oleh abangnya. Kemudian, ia mengangguk paham. Seulas senyum ia sunggingkan pada
sang abang.
“Kalau ditinggalkan sama seseorang. Jangan terlalu larut
dalam kesedihan. Bisa aja itu karena kita memang gak cocok sama orang itu. Lebih
baik pisah daripada terus bersama, tapi saling menyakiti. Sedih boleh. Nangis
juga boleh. Tapi setelahnya. Kamu harus tersenyum dan bangkit lagi,” ucap Gilang
lembut.
0 comments:
Posting Komentar