“Gawat! Cepat! Cepat! Kita udah telat, nih!” seru Monica panik sembari membereskan barang-barangnya.
Sherly yang awalnya
tenang pun ikutan panik setelah melihat jam di sudut kiri layar monitornya. Ia
segera menyimpan file tugasnya dan mematikan komputernya. “Mon, bayar dulu,
gih. Cepetan!” perintahnya pada Monica yang sudah siap beberes. Sementara ia
sendiri harus menyimpan buku dan beberapa alat tulisnya.
“Cepet, Sher!” seru
Monica panik sambil melompat-lompat tak sabar di depan pintu warnet. Dua menit
lagi bel masuk berbunyi dan mereka masih harus mengambil barang-barang mereka
yang ada di kantin.
Sherly tak menjawab. Ia
hanya langsung melangkahkan kakinya secepat mungkin menuju sekolah. Jarak yang
biasa mereka tempuh empat menit, dibabat menjadi satu setengah menit.
“Mon! Tas!” teriak
Sherly pada Monica yang melupakan tas yang mereka titipkan di kantin. Monica
segera berbalik dan berlari menuju kantin.
Sherly segera menyambar
tas miliknya. Namun, ia tak bisa bergerak lantaran tasnya ditarik ke arah yang
berlawanan. Kesal, ia menarik tasnya dengan sekuat tenaga. Akan tetapi,
lagi-lagi orang itu menarik tas tersebut tak kalah kuat.
Sherly menoleh dan
menatap tajam pemilik tangan usil yang menarik tasnya. Seorang pemuda
berseragam SMA. Ia ingin menegur kakak kelasnya itu, tetapi tak berani karena
ia hanyalah murid kelas 2 SMP.
Akhirnya, ia hanya
bungkam sembari menarik tasnya. Teman-teman pemuda itu melihatnya dan melihat
teman mereka itu. Dua orang teman pemuda tersebut mengode pemuda itu agar
menatap ke belakang.
“Apaan, sih?” tanya
pemuda itu kesal.
Teman gadis pemuda itu
menunjuk menggunakan dagunya ke arah belakang. “Itu ... adeknya mau ngambil
tasnya, tuh,” ucapnya sambil tersenyum geli tanpa memedulikan wajah Sherly yang
sudah semerah tomat akibat malu.
Sementara itu, Monica
memperhatikan Sherly dari koridor sembari tertawa tanpa suara. Rasanya
menggelikan sekali melihat sahabatnya tengah tarik menarik tas miliknya dengan
seorang kakak kelas yang lumayan tenar.
Pemuda itu yang tak lain
adalah Reinald—bintang basket SMA Sakti—menoleh. Ia menatap Sherly sejenak
sebelum mengalihkan pandangannya pada tas yang tengah ia peluk.
“Oh! Sorry,” ucapnya
menyesal.
Sherly mendiamkannya. Ia
menarik tasnya kasar dan menyampirkannya di pundak. Tanpa kata, ia langsung
beranjak menuju laboratorium IPA—kelasnya saat ini.
“Sorry, ya. Gue pikir
itu tas gue.” Samar-samar, Sherly sempat mendengar permintaan maaf tersebut.
Walau begitu, ia menghiraukannya akibat tak sanggup menanggung malu yang lebih
lagi.
Begitu sampai di hadapan
Monica, tawa Monica lepas tak terkendali. Bukan hanya Monica, ternyata ada
beberapa teman sekelasnya melihat kejadian lucu itu. “Jangan ketawa!” ancam
Sherly dengan suara bergetar akibat malu dan juga marah.
Bukannya mereda, tawa
mereka justru semakin meledak. “Jangan ketawa!” Tanpa sadar Sherly berteriak
dengan suara yang cukup kencang hingga membuat teman-temannya terpaku. Sherly
mengangkat tangannya dan menyadari bahwa ia melupakan sesuatu.
Ia menatap Monica
memelas. “Mon, botol minumku ketinggalan,” ucapnya hampir menangis.
“Balik lah! Ambil.
Mumpung labnya belum buka,” balas Monica enteng.
Sherly mendengus. Balik?
Enak saja! Ia tak akan mau kembali ke sana saat ini. Biarkan saja botol
minumnya menghilang. Ia tak sanggup untuk mengalami hal memalukan itu lagi.
Cukup sudah pengalaman tarik menarik tas yang berakhir dia kabur tanpa sepatah
kata pun.
Masa ia harus balik lagi
dan menjadi bulan-bulanan kakak kelasnya hanya demi mengambil botol minum?
Lebih baik ia kehausan sepanjang sore ini daripada harus balik ke sana dan
ditertawai oleh kakak-kakak kelasnya.
“Gak usah!” sinis
Sherly, lalu berjalan kesal masuk ke dalam laboratorium.
0 comments:
Posting Komentar