Cerpen Lemahkah Aku?

Aku menolehkan kepalaku ke sekeliling, mencarinya yang sudah jauh-jauh memanggilku ke tempat seperti ini. Sejauh mataku memandang, hanya ada hamparan rumput yang begitu luas. Aku terus berjalan ke depan menyusuri rumput-rumput itu. Entah berapa lama aku berjalan—sepertinya tak begitu lama juga—aku melihat seseorang duduk memunggungiku dan menghadap ke sebuah danau. Entah danau tersebut asli atau tidak, aku tak tahu. Di sekitar danau itu, tak begitu banyak rumput dan lebih banyak bebatuan serta kerikil.

Aku menghampirinya setelah yakin dialah yang telah memanggilku ke sini. Saat sudah dekat, aku bisa merasakannya bahwa hari ini dia berbeda. Ia terlihat murung dan tak bersemangat. Ia hanya memandang kosong ke depan sembari melempar asal kerikil kecil ke dalam danau. Beberapa menit lamanya aku memandangi dirinya. Entah apa yang ia pikirkan, aku tak tahu. Namun, satu hal yang aku tahu. Ia tahu aku sudah sampai.

Terbukti dengan beberapa saat berlalu, ia tersenyum tipis walau masih tetap menghadap depan. “Bagaimana? Bagus, ‘kan?” tanyanya ingin tahu. Nada suaranya terdengar sedih.

Aku mengangguk pelan—walau tahu bahwa ia tak melihat. Harus kuakui bahwa pemandangan di sini sangat bagus. Indah, sejuk, dan damai. Jika saja bisa, aku ingin hidup di sini selama sisa hidupku. Akan tetapi, tentu saja hal tersebut tak mungkin.

“Ada apa?” tanyaku padanya. Aku tahu ia sedang ada masalah dan butuh tempat cerita, makanya ia memintaku datang ke sini.

Ia menoleh dan tersenyum miris. Tak ada kata apapun yang meluncur dari bibir tipisnya. Aku duduk di sebelahnya, juga tanpa kata. Selama beberapa saat, kami terdiam. Menikmati keindahan alam di depan kami.

“Aku ingin cerita.” Tiba-tiba ia membuka suara. Walau begitu, aku tak menjawab ataupun menoleh padanya. Aku hanya membiarkannya saja. “Kamu tahu tidak?” tanyanya dengan suara pelan.

Aku menggeleng. “Tidak,” ucapku sembari meneliti mimik wajahnya yang terlihat sendu. Ia mungkin tengah mengenang apa yang selama ini telah ia alami.

“Kenapa aku berakhir seperti ini? Aku masih belum tahu. Kenapa aku memilih jalan itu? Aku pun masih belum tahu.” Terlihat jelas kerutan heran di dahinya.

Ia menoleh dan menatap ke dalam mataku—menuntut. “Menurutmu, apa aku lemah karena memilih jalan itu?” tanyanya menyesal.

Aku terdiam. Pertanyaan yang sebenarnya sudah bisa kuduga. Walau begitu, aku tak tahu harus menjawab apa. Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Kulempar tatapanku ke danau kembali.

“Entahlah. Apa kamu lemah? Aku rasa tidak. Mungkin kamu kuat, tetapi mungkin juga tidak,” jawabku ambigu.

Sebuah tawa renyah ia lemparkan ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum tipis. Sungguh, aku tak tahu apa jawaban atas pertanyaannya barusan.

“Apa kamu merasa tenang setelah sampai di sini?” tanyaku berusaha mengalihkan topik.

Ia menggedikkan bahunya tak tahu. “Entahlah. Di sini, aku lebih sering menghabiskan waktuku untuk berpikir. Apakah langkah yang sudah kuambil ini tepat atau malah membuatnya semakin runyam? Apakah aku sudah salah dengan memilih untuk mengakhiri hidupku dan berada di sini selamanya?”

“Kurasa ... tidak. Entahlah. Kamu hanya lelah. Mungkin kamu salah, tetapi mungkin juga tidak. Aku tak tahu. Aku juga tak mengerti,” jawabku seadanya.

“Ya, sudah. Kamu kembali saja. Mereka menunggumu. Berbeda denganku, tak ada yang menungguku,” ujarnya sambil tersenyum miris. Aku bisa menangkap sakit hati dalam nada suaranya.

Aku menatapnya dalam. Kemudian menggapai tangannya. “Ayo! Ikut. Kamu dan aku satu. Jika kamu tak kembali, aku pun tak bisa. Mereka bukan hanya menungguku. Namun juga menunggumu. Ke depannya, mungkin lebih baik kita tak melakukannya lagi. Semelelahkan apapun itu, ayo berjuang bersama. Kamu punya aku dan aku pun punya kamu. Bagaimana?”

Ia terdiam dan berpikir sejenak. Beberapa saat berlalu, ia tersenyum lembut dan mengangguk paham. “Ayo!”

Ya, kami satu. Walau kami terkadang bertentangan, kami tetaplah berada di satu raga. Jika ia memilih untuk menyerah, aku pun sama. Jika ia memilih untuk bertarung, aku pun akan ikut dengannya.

Walau aku tak tahu dari mana dimulainya kesalahan ini, aku hanya ingin berjuang bersamanya. Berusaha memperbaiki semuanya agar menjadi lebih indah. Dan tak akan melarikan diri lagi dengan cara seperti ini.

0 comments:

Posting Komentar