"Hei! Suntuk amat saan muka kamu," sapa Nia pada Jasmine yang tengah duduk melamun.
Jasmine terlonjak dan menatap Nia sedikit linglung. "Oh, gak," ucapnya pelan.
Jasmine menatap Nia penuh pertimbangan. "Ni," panggilnya pelan membuat Nia yang baru saja selesai memesan makanan menoleh padanya.
"Yo, Jas? Ada apa?" tanya Nia sambil lalu.
Sekali lagi, ia menatap temannya penuh pertimbangan. Terlihat jelas sekali kalau ia tengah kalut dan butuh tempat cerita. "Aku ... gimana, ya? Menurut kamu, aku harus gimana? Aku ...."
Belum sempat Jasmine menyelesaikan kalimatnya. Nia dengan semangat memotong ucapannya. "Eh, Jas. Kamu tau, gak?"
Secara otomatis, Jasmine menggeleng pelan. Nia pun melanjutkan dengan penuh semangat. "Masa kan, ya. Aku tadi ketemu loh sama Kak Elang. Terus ... terus,"—Nia menyambar tangan Jasmine dan mengcengkramnya dengan gemas—"dia nyapa aku duluan dan ngajak ngobrol, dong!" serunya bahagia.
Jasmine tersenyum tipis. "Bagus, dong. Kamu 'kan udah lama naruh rasa sama Kak Elang?" balasnya antusias.
"Iya. Aku senang banget, Jas. Bayangin! Udah 3 tahun lamanya aku diam-diam mendam rasa ke dia dan gak pernah ngobrol. Terus tau-tau hari ini, dia ngajak aku ngobrol," ujar Nia tak menutup-nutupi kebahagiaannya sedikitpun.
Jasmine tersenyum. Ia ikut senang dengan kebahagiaan temannya itu. "Bagus, nah. Nanti kalau jadian jangan lupa PJ-nya, ya," ledeknya.
"Tentu, dong!" balas Nia antusias. Kemudian, setelah menyeruput lemon tea-nya yang baru datang, ia menatap Jasmine serius. "Tadi kamu mau ngomong apa, Jas?"
Jasmine tersenyum tipis. "Oh, itu. Eum ... sebenarnya aku lagi bingung. Aku gak tahu harus gimana," ucapnya pelan sambil memainkan sedotannya.
Jasmine yang menunduk, mengangkat wajahnya karena Nia tak kunjung memberikan respons. Hatinya seolah tercubit melihat temannya itu tengah tersenyum pada layar ponselnya. Tanpa bertanya pun, ia sudah tahu itu siapa. Pasti Elang karena senyuman Nia begitu lebar.
"Oh, iya, iya. Tadi kamu ngomong apa, Jas?" tanya Nia setelah mematikan layar ponselnya.
Jasmine tersenyum dan menggeleng pelan. "Gak deh. Gak jadi," ucapnya pelan sembari tersenyum tipis. Ia tahu bahwa ia ceritakan pun percuma saja. Nia tak akan mendengarnya.
Tak lama, Nia kembali fokus pada ponselnya. Beberapa saat berlalu, Nia mengangkat wajahnya dan menatap Jasmine dengan tatapan menyesal.
"Jas, sorry. Gue tinggal, ya? Soalnya Kak Elang ngajakin jalan. Gak papa, ya?" tanya Nia tak enak.
Jasmine mengangguk pelan dan tersenyum tipis. "Ya. Hati-hati, ya. Semoga kalian bisa jadi," doanya tulus.
Jasmine memutuskan untuk keluar dari food court tersebut tak lama setelah Nia pergi. Ia melangkahkan kakinya ke mana pun kakinya ingin berpijak. Ia masih belum ingin pulang saat ini. Namun, baru saja waktu berjalan selama tiga puluh menit, adiknya meneleponnya dan memintanya pulang.
"Kamu bisa gak sih hemat sedikit?!"
Jasmine mematung, tangannya yang hendak memutar kenop pintu menggantung di udara. Ia mengenali suara tersebut bahkan amat sangat kenal.
Prang!
Terdengar suara barang pecah dari dalam serta raungan penuh kemarahan. Jasmine membuka pintu dengan kasar dan mendapati adiknya meringkuk ketakutan di sudut ruang tamu. Sementara kedua orang tuanya beradu mulut dengan hebatnya.
"Kalau menurut kamu aku boros lantas kamu itu apa?! Hah?!" balas sang Papa tak mau kalah.
"Diam! Berhenti!" bentak Jasmine murka. Sepasang suami istri paruh baya itu terpatung sejenak. Jasmine merangsek maju dan membawa adiknya masuk ke pelukannya.
"Bisa gak? Kalian berdua jangan egois. Kenapa kalian gak pisah aja daripada berantem begini terus?" sinis Jasmine membuat kedua orang tuanya kaget.
"Jasmine! Dasar anak kurang ajar! Kamu pikir kamu siapa berhak memutuskan seenaknya begini?" bentak sang mama murka dan langsung melayangkan tamparan pada pipi putri keduanya itu.
Jasmine diam. Ia menatap tajam kedua orang tuanya. Dan langsung masuk ke kamar tanpa kata. Ia juga membawa serta adik bungsunya.
"Kak? Kalau mama dan papa pisah, kita harus gimana?" tanya Raya sembari memangis sesenggukan.
Jasmine menghela napas panjang. "Kakak gak tau, Dek. Nanti kita tanya Kak Daun dulu, ya?"
Raya hanya mengangguk patuh. Keduanya berdiam diri di kamar. Bahkan ketika kedua orang tuanya keluar dari rumah setelah saling memaki kasar pun, mereka masih diam di sana. Mereka keluar saat mendengar kepulangan kakak sulung mereka.
"Kak, Jasmine mau bicara," todong Jasmine begitu sang kakak keluar dari kamar mandi selepas bersih-bersih.
"Besok aja, ya, Jas. Kakak capek. Mau tidur." Sebuah usapan lembut mendarat di puncak kepala Jasmine.
Lagi-lagi, ia harus menelan kecewanya akibat tak didengarkan. Ia mengajak adiknya masuk ke kamar dan meminta adiknya agar tidur saja.
Pagi harinya, seisi rumah geger akibat tangisan kencang Raya. Ia menangis histeris sambil memanggil dan mengguncang tubuh kakak keduanya yang sudah mendingin.
Orang tua Jasmine serta kakak sulungnya segera menerobos ke kamar mandi untuk mencari tahu apa yang terjadi. Kaki ketiganya melemas begitu masuk ke dalam kamar mandi.
Di dalam bath up, terbaring tubuh Jasmine yang sudah tak bernyawa. Air yang memenuhi bath up pun sudah berubah warna menjadi merah akibat darah yang mengalir dari pergelangan tangan yang telah disayat oleh gadis itu.
"Kakak! Kakak jangan tinggalin Raya. Raya hanya punya Kak Jasmine," tangis Raya pecah saat Daun mengeluarkan tubuh Jasmine dari bath up.
Awalnya, orang tua Jasmine saling menyalahkan akibat kematian sang anak. Namun, ketika menemukan catatan kecil yang ditinggalkan oleh gadis itu. Keduanya hanya bisa menyesal.
Dear Mama, Papa, dan Kak Daun.
Sesusah itukah kalian meluangkan waktu untuk mendengarku? Apakah dengan begini kalian baru bisa mendengarku? Aku harap, kalian tak menyesal. Karena percuma jika kalian menyesal. Aku harap, setelah ini kalian akan mendengarku.
Aku sudah capek. Aku ingin kalian sedikit lebih peduli padaku dan juga Raya. Apa kalian tahu seberapa menyesakkannya di dalam rumah ini bagiku dan Raya? Tak bisakah kalian hanya fokus pada apa yang kalian miliki dan bahagia karenanya?
Dengarkan tangisan Raya. Hibur dia dan hilangkan ketakutannya. Bisakah kalian melakukan hal itu? Aku senang jika kalian mendengarkanku kali ini. Aku harap, kejadian yang sama tak akan terulang lagi pada Raya.
Aku menyayangi kalian semua.
Aku sampai nangis baca endingnya. Jadi inget cerpen yang pernah aku baca jaman SMP dulu. Seorang gadis mati bunuh diri di kamar mandi sekolah karena capek liat orangtuanya berantem, & dianya dibully di sekolah.
BalasHapusJangan nangis, Kak
HapusHehe..
BalasHapusBisa .... tapi tak kudengar ... duch sesek.rasanya
BalasHapusNano nano pas baca cerpen ini. Bingung harus respon gimana. Kadang yg dibutuhkan seseorang itu cuma telinga untuk mendengarkan.
BalasHapusTapi lbh banyak org yg mau didengarkan, bukan mendengarkan :(
HapusJasmiiinš«
BalasHapusHere, Kakak :)
HapusDuuh.. Endingnya sedih sekalii
BalasHapusIya :)
HapusEndingnya menyedihkan...memang keberadaan orang tua, sangat menentukan kebahagiaan anak.
BalasHapusIya, tp terkadang orang tua kurang mengerti(?)
HapusEnggak nyangka endingnya begini.
BalasHapusAku pikir Jasmine mau bilang ke temannya kalau dia suka Kak Elang
Hehe..
HapusBukan dong, Kak