Joseph menghindari lemparan botol minum dari Jenny. Jenny menggeram marah dan langsung menerjang Joseph hingga keduanya jatuh dan berguling ke lantai.
“Apa yang kamu lakukan?” geram Jenny tak senang. Kini, Jenny tengah menindih tubuh Joseph dan memberikan kuncian di tangannya.
Joseph berusaha melepaskan diri. “Memangnya apa yang sudah kulakukan?” tanyanya tak mengerti sembari berusaha menangkis pukulan membabi buta dari Jenny.
“Kamu! Masih pura-pura tidak tahu?” raung Jenny murka. Ia memukul Joseph dengan brutal.
Joseph menggeram marah. Ia tak mengerti apa yang sudah menyebabkan kakaknya sebegitu marahnya padanya. Ia yang tadinya hanya sibuk menangkis, kini mulai menangkap tangan sang kakak dan menguncinya.
Tak tinggal diam, Jenny pun menyerang menggunakan kepalanya. Ia jedutkan kepalanya sekeras mungkin ke wajah Joseph hingga hidung Joseph berdarah lantaran tak sempat menghindar.
Geram dan kesal. Joseph berusaha mengambil alih keadaan dan berhasil. Kini, posisi mereka berdua tertukar—Joseph di atas dan Jenny di bawah. Joseph mengunci kedua tangan Jenny di belakang tubuhnya.
“Jelaskan dulu! Jangan hanya tau menyerang. Kalau mau bicara, pakai mulut. Bukan pakai otot,” sinis Joseph pada kakaknya.
Jenny memberontak. Ia berusaha melepaskan kuncian Joseph pada lengannya. Namun, tak berhasil lantaran kekuatan mereka berbeda jauh.
“Lepas! Lepasin aku!” geram Jenny. Ia menoleh ke arah belakang tubuhnya dan menatap Joseph murka.
“Jangan pura-pura gak tau kamu! Kamu ‘kan yang laporin aku ke Papa?” tuduh Jenny tak senang.
Alis Joseph berkerut dalam. Lapor? Apa hal yang harus ia laporkan pada sang papa? Sungguh, ia tak mengerti. Dan dari mana pula asal kesimpulan yang diambil oleh Jenny ini? Dasar, gadis keras kepala dan suka seenaknya.
“Jangan sembarangan kalau ngomong, Jen,” nasihat Joseph tenang. Ia membantu Jenny berdiri. Walau begitu, ia masih tetap mengunci pergerakan Jenny agar kakaknya itu tak menyerangnya lagi.
“Kata siapa aku sembarangan ngomong? Yang tahu aku keluar tadi malam kan cuma kamu! Padahal tadi malam kamu sudah janji kalau gak bakal bilang apa-apa. Terus kenapa kamu bilang ke Papa?” tanya Jenny tak terima.
Joseph menghela napas panjang. Ia kemudian menggiring kakaknya menuju kamarnya dan menguncinya dari luar. “Mandi dulu dan tenangin diri. Jangan lupa siram tuh kepala, ya!” titahnya tak ingin dibantah.
Joseph segera meninggalkan Jenny dan segera menuju ke kamarnya dan melakukan apa yang ia perintahkannya pada kakaknya. Setelah selesai, ia berjalan menuju kamar Jenny dan mengetuk pintunya. “Jen? Udah tenang belom? Kalau udah, ayo bicara.”
Tak ada sahutan dari kamar Jenny. Joseph memutuskan untuk menempelkan telinganya di daun pintu. Samar-samar, ia mendengar suara guyuran air, sepertinya Jenny tengah mandi. Joseph pun masuk ke dalam dan tiduran di tas ranjang menunggu sang kakak.
“Udah?” tanyanya begitu melihat Jenny keluar dari kamar mandi.
Jenny mengangguk pelan. Kini, ia sudah lebih tenang dibandingkan tadi. “Gimana hidung kamu? Sakit?” tanyanya menyesal.
Joseph menyentuh hidungnya dan mengangguk pelan. “Yah, lumayan,” ucapnya, lalu terkekeh pelan sedetik kemudian.
“Sorry,” sesal Jenny. Ia menatap adik kembarnya itu dengan pandangan bertanya, “Kamu tau kenapa papa bisa tau aku keluar tadi malam?”
Joseph menggeleng tak percaya. “Kamu gak ingat?” tanyanya.
Sebuah gelengan pelan dihadiahkan Jenny. Joseph menghela napas lelah.
“Dini hari tadi tepatnya, kamu jalan sambil tidur. Terus di tengah ruang tamu, kamu nangis-nangis dan ungkapin semuanya sendirian. Dan di depan Papa. Kamu bilang ‘Aku udah diem-diem keluar rumah demi nemuin Axel, tapi nyatanya apa? Aku malah nemuin dia selingkuh sama Elisa, sobat aku sendiri. Aku emang sial banget.’ Kamu beneran gak ingat?” tanya Joseph tak percaya.
Wajah Jenny semakin terlihat tak enak. Ia sudah sembarangan menuduh adik kembarnya. Ia pula sudah melukai adik kembarnya karena kelakuannya sendiri. Seharusnya ia tak menuruti amarahnya dan membicarakan semua ini baik-baik. Dia benar-benar bodoh.
0 comments:
Posting Komentar