“Zulfa!”
Zulfa yang tengah berada di kolong meja lantaran mengambil berkas-berkasnya yang terjatuh pun kaget. Ia buru-buru berdiri dan mengakibatkan kepalanya terbentur bawah meja dengan keras. Seisi ruangan meringis mendengarnya, kecuali pria yang berteriak memanggil namanya itu, Noah.
Walau ingin sekali rasanya menangis, Zulfa tetap menahannya. Ia berdiri tegak dan menggelengkan kepalanya beberapa kali, mengusir pening yang menghantamnya. Ia menatap Noah—atasannya—dengan padangan takut-takut.
“Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Zulfa sesopan mungkin.
Noah menghela napas lelah. Bawahannya yang satu ini memang cerobohnya tak ketolongan. “Apa ini?” Noah melempar sebuah berkas ke atas meja Zulfa.
Mata Zulfa membulat. Gawat! Dia salah memberikan berkas. Pantas saja bos tampannya itu marah besar. Gila! Apa yang sudah dia lakukan? Benar-benar gila! Seharusnya ia memberikan laporan keuangan bulan ini dan bulan lalu, tetapi ia malah memberikan jurnal pribadi yang berisikan kegiatan hariannya.
“Kenapa itu bisa sama Bapak? Pantes saya cari-cari dari tadi gak ada,” tanyanya sepolos mungkin demi menutupi kesalahannya.
Noah menggeram. Ia tak percaya apa yang baru saja keluar dari mulut bawahannya itu. “Zulfa! Kamu! Benar-benar!” Noah kehabisan kata-kata. Ia memijit pelipisnya yang mendadak berdenyut.
“Maaf, Pak!” Zulfa menunduk dalam dan membungkukkan badannya sebesar 45˚. Dengan gerakan cepat, Zulfa menyambar jurnal pribadinya dan menyembunyikannya di balik punggungnya. Lantas, ia menyerahkan laporan keuangan yang benar pada atasannya itu disertai dengan seringai tipis.
Noah masuk ke dalam ruangannya dengan langkah cepat. Ia pusing menghadapi bawahannya yang satu itu. Ia ingin memarahi gadis itu habis-habisan, tetapi tidak bisa karena takut gadis itu akan kabur. Walau gadis itu ceroboh, tetapi hasil kerjanya sangat bagus dan rapi. Biasanya, ia hanya perlu memeriksa ulang tanpa membuat perbaikan pada laporannya lagi.
“Hah …,” desah Noah begitu pantatnya menyentuh kursi empuknya. Ia menutupi kedua matanya dengan lengannya. Memikirkan bagaimana harusnya ia menghadapi bawahannya yang satu itu.
Sementara itu, di ruangannya, Zulfa tengah menghentakkan kepalanya mengikuti alunan musik yang didengarkannya lewat earphone. Ia menyambar sebuah berkas dan memasukkannya ke dalam tas ransel miliknya tanpa melihat apa berkas yang baru saja disambarnya.
Begitu jam pulang, Zulfa segera membereskan barang-barangnya dan meninggalkan kubikelnya. Ia terlihat buru-buru lantaran ingin memberikan kejutan pada kekasih hatinya yang tengah berulang tahun. Dengan hati riang nan senang, ia melangkah ringan keluar dari kantor dan menuju tempat kerja kekasihnya.
Hotel Main Hati, tempat di mana Rangga bekerja. Senyum manis mengembang di bibir Zulfa. Ia sudah siap dengan blackforest kesukaan Rangga dan juga jam tangan merek G-Shock yang sudah lama diidam-idamkan oleh kekasihnya itu.
Zulfa segera menuju ke lantai atas. Ia singgah dulu ke ruangan staf dan menyapa beberapa orang yang ada di sana. Semua mata memandang Zulfa heran dengan kentara, walau begitu Zulfa tak mengacuhkannya karena tak begitu sadar. Ia masih tetap menyapa dengan ramah.
“Halo! Rangga ada di ruangannya, ‘kan? Kalian semua udah pada makan belum? Kalau belum, ini makan dulu.” Zulfa menyiapkan lilin dan menancapkannya di atas blackforest yang ia bawa dan menyodorkan beberapa bungkus plastik berisi makanan pada staf yang ada di sana.
Dengan langkah mantap gadis itu menuju ruangan kekasihnya. Di sepanjang perjalanannya, ia membayangkan wajah terkejut sang kekasih. Senyumnya terkembang membayangkannya. Ia menerka-nerka apa yang akan disampaikan oleh Rangga padanya nanti.
Begitu sampai di depan ruangan Rangga, ia berhenti sejenak untuk menyalakan lilin yang sudah ia tancapkan. Setelah beberapa menit berkutat dengan korek api dan lilin, ia berhasil menyalakan semua lilin yang ada. Kemudian, dengan gerakan mantap ia membuka pintu dan menarik napas dalam hendak menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’.
Akan tetapi, lagu yang sudah berada di ujung lidah, tak kunjung meluncur dari bibir tipisnya. Mulutnya hanya terbuka tanpa suara. Tangannya gemetar lantaran rasa terkejut. Jantungnya seakan terjun bebas. Bibirnya bergetar dan air matanya luruh. Blackforest yang ada di tangannya jatuh dan hancur berantakan begitu mencium lantai.
Zulfa berusaha keras mengendalikan dirinya. Menelan keterjutannya dan menampilkan senyum sempurna. “Terima kasih surprise-nya. Aku kaget banget, loh! Semoga hubungan kalian langgeng, ya,” ucapnya lalu berjalan gontai keluar dari ruangan tersebut.
Hatinya hancur berkeping-keping karena dua orang kepercayaannya. Ia sungguh tak menyangka ia akan dikhianati sedemikian rupa. Sungguh, ia tak mengerti di mana letak kesalahannya hingga bisa diperlakukan dengan sebegitu hinanya.
Zulfa menggigit bibirnya, menahan isak yang semakin kuat mendesak keluar. Dengan kasar, ia mengusap air matanya. Langkahnya cepat dan tegas meninggalkan hotel tesebut. Tepat di depan pintu keluar, sebuah tangan besar menahan pergerakannya.
“Dasar berengsek! Mau apa lagi kamu?” Zulfa tak mampu menahan dirinya untuk tidak mengumpat. Ia pun melayangkan tangannya menuju wajah pria yang menahan lengannya. Sekali lagi, matanya terbelalak lebar dan ia merasakan jantungnya terjun bebas ke dalam perutnya.
Duh, kok telodornya kaya aku? Hehe
BalasHapusWkwkwkwk..
HapusLain kali lebih hati", Kak