Halo, biar ga bingung boleh baca part 1-nya dulu, ya. Selamat membaca!
"Eh? Bapak?" Zulfa tersenyum kikuk menatap Noah yang menahan pergelangan lengannya.
"Saya tahu kamu ceroboh dalam beberapa hal, tapi tolong kalau kamu lagi jalan lihat-lihat sekitar," titah Noah seraya menarik Zulfa menyingkir ke samping.
Zulfa menatap ke depannya, ternyata ada beberapa staf yang hendak mengangkat barang-barang tamu masuk ke dalam hotel. Zulfa tersenyum miris. Ia tak menyangka ia hampir melakukan kekonyolan yang bisa saja membuatnya malu seumur hidup. "Terima kasih, Pak," ucapnya tulus.
"Zulfa! Tunggu! Aku bisa jelasin," teriak Rangga panik. Pria itu baru saja sampai di lobby hotel dan matanya menangkap Zulfa berdiri di samping pintu masuk akibat terhalang oleh staf yang mengangkat barang-barang tamu.
Zulfa menegak salivanya susah payah. Ia berusaha memamerkan mimik seangkuh mungkin dan bersidekap. "Tidak ada yang perlu kamu jelaskan lagi. Aku mengerti dengan sangat amat jelas." Nada suaranya terdengar dingin hingga Rangga terkaget.
"Zul, kamu ...." Seorang gadis yang tadinya menyusul di belakang Rangga menatap Zulfa takut-takut.
Zulfa terkekeh pelan. Rasa jijik meremas dirinya dengan kuat saat melihat sepasang manusia itu tengah berusaha meluluhkan dirinya lagi. Ia bahkan tak repot-repot untuk menyembunyikan perasaannya. "Apa? Aku kenapa? Aku bego? Iya?" tanya Zulfa dingin membuat kedua insan itu terkesiap.
"Iya, aku bego. Selamat, ya. Udah berhasil ngebegoin aku. Nanti kadonya aku kirim ke rumah kalian masing-masing, deh," cerocos Zulfa tajam. Ia bahkan sudah tak memedulikan fakta bahwa atasannya masih berada di samping dirinya dan tercengang menatapnya.
"Bukan. Bukan begitu maksud aku, Zul," bantah gadis itu hampir menangis.
"Bukan, Chel? Kalau bukan itu lalu apa? Hah?" Zulfa menghembuskan napas lelah. Kedua tangannya sudah terkulai lemas di masing-masing sisi tubuhnya. Kedinginan itu masih tetap ada walau gadis itu berubah sendu.
Michele terdiam. Sebulir bening meluncur dari sudut matanya hingga membuat Zulfa mendengus sebal. Michele membuatnya seolah menjadi orang jahat. Beberapa saat, keheningan memeluk mereka. Mendadak, Zulfa teringat tatapan aneh rekan kerja Rangga dan juga Michele padanya. Ternyata, ini alasannya. Mereka tahu bahwa Michele dan Rangga bermain di belakangnya. Semua orang tahu, tetapi dia tak tahu. Hanya dia seorang saja yang bodoh.
"Sudah, ya. Aku capek. Kita sudahi saja sampai di sini. Aku harap kita gak akan ketemu lagi ke depannya. Tidak sebagai orang asing sekalipun," ucap Zulfa datar. Kemudian, ia melangkah pergi. Namun, lagi-lagi, langkahnya harus tertahan akibat ada yang menahan lengannya.
Zulfa memutar bola matanya malas. "Pak? Saya sudah bisa lewat, loh. Mereka udah mindahin barang-barangnya ke dalam semua," jelas gadis itu tenang. Nada suaranya tak sedingin saat ia berbicara pada Michele-mantan sahabat baiknya—dan Rangga—mantan kekasih yang hampir menjadi tunangannya.
"Zul, pertunangan kita gimana?" tanya Rangga tiba-tiba.
Amarah Zulfa memuncak. Wajahnya memerah dan tangannya mengepal kuat. Pertunangan? Rangga masih berani membahas pertunangan dengannya? Benar-benar lelaki berengsek satu ini! Tanpa sepatah kata pun, Zulfa melayangkan bogeman tepat di perut Rangga hingga pria itu tersungkur.
"Pertunangan?" salaknya marah. Zulfa mendengus keras. "Kamu sadar gak sih? Hah? Kamu ini tolol atau idiot? Atau apa? Hah? Setelah kepergok ciuman sama mantan sahabat aku ini kamu masih berani bahas pertunangan? Kamu cari mati? Hah?"
Zulfa merangsek maju dan menarik kerah baju Rangga. Ia menatap tajam mantan kekasihnya itu. Tangannya terangkat tinggi hendak mendaratkan sebuah pukulan untuk meluruskan kembali otak miring pria tersebut.
"Zulfa, saya rasa sudah cukup. Sebaiknya kamu berhenti," interupsi Noah dengan tenang. Walau ia tak tahu apa yang tepatnya tengah terjadi saat ini. Namun, ia bisa menyimpulkan bahwa telah terjadi sesuatu di antara mereka bertiga.
"Saya rasa sebaiknya kamu ajak mereka mengobrol di tempat lain," saran Noah yang ditolak mentah-mentah oleh Zulfa.
"Enak aja, Pak. Saya menolak dengan tegas. Pembicaraan saya dengan mereka berdua sudah selesai. Saya sudah tak ada hubungan apapun dengan pengkhianat seperti mereka." Napas Zulfa terengah lantaran mengucapkan hal tersebut dalam satu tarikan napas.
Baru saja Noah membuka mulutnya hendak meminta Zulfa agar tenang. Sebuah suara lembut menyela. "Noah? Kamu sudah sampai, Nak?" Seorang wanita paruh baya berjalan ke arah Noah dengan anggun. Zulfa pun sampai terpana melihat keanggunan wanita itu.
"Ma," panggil Noah seraya mencium kedua belah pipi wanita itu.
Mendengar itu, Zulfa tak bisa menahan dirinya untuk menilai wanita tersebut. Wanita itu sangatlah cantik dan terlihat sangat muda. Zulfa menaksir bahwa usia ibunda dari atasannya itu sudah lebih dari lima puluh tahun mengingat atasannya itu sudah berumur 31 tahun.
"Ini siapa, Nak? Ini calon istri yang ingin kamu kenalkan ke Mama, ya?" Wanita anggun itu menoleh pada Zulfa dan langsung memeluknya akrab. Mata Zulfa membelalak lebar untuk kesekian kalinya.
Zulfa menatap Noah panik. Ia membuka mulutnya hendak membantah, tetapi bantahan tersebut tertahan akibat ucapan Noah.
0 comments:
Posting Komentar