Cerbung Zulfa Heart's Problem part3

 Biar gak bingung bisa baca part sebelumnya ya. Selamat membaca

 

“Ah! Tunggu!” seru Zulfa kelabakan. Namun, begitu menyadari bahwa apa yang baru saja dilakukannya itu tak sopan. Zulfa buru-buru menambahkan, “Maaf. Maksudnya sebentar dulu, Bu.”

Wanita anggun yang baru saja Zulfa ketahui namanya Dhinar itu tersenyum keibuan. “Kok ‘Bu’, sih? Kayak ngomong sama atasan aja,” celutuk Dhinar lembut.

Zulfa terdiam. Memang benar Dhinar bukan atasannya, tetapi ibu dari atasannya. Kalau dia tidak memanggilnya ‘Ibu’, lantas bagaimana dia harus memanggil wanita itu?

“Tan ... te?” ucapnya tak yakin.

Dhinar menepuk pelan lengan Zulfa sembari tersenyum hangat. “Mama aja, Zul.”

Rahang Zulfa hampir terlepas dari tempatnya mendengar hal itu. Ia menatap Noah dengan tatapan memohon. Namun, pria itu langsung menghindari tatapannya begitu mata mereka bersirobok. Tahu bahwa atasannya itu tak bisa diharapkan lagi, Zulfa memilih untuk mengatasi hal ini sendiri.

“Eh? Eum ... begini, Tante,” ucapnya bingung. Ia memilih untuk menutup mata atas ketidaksukaan Dhinar terhadap panggilan darinya. “Jadi ... sebelum itu ... saya mau jelasin dulu, nih, Tan. Jadi, saya itu—.”

Belum selesai Zulfa mengutarakan protesnya. Noah terlebih dahulu memotong. “Ma, kita ke restorannya aja dulu, yuk. Gak enak ‘kan ngobrol sambil berdiri.”

“Loh? Pak?” geram Zulfa saat digiring oleh Noah dengan senyum manisnya. Zulfa menggeram rendah. Atasannya ini sepertinya ingin kabur dari sesuatu dengan cara menjerumuskannya ke dalam kandang harimau.

“Tolong saya, ya? Nanti saya loloskan permintaan cuti  kamu deh setelah kamu dinas ke luar kota minggu depan.” Noah berbisik pelan di telinga Zulfa sembari mendorong Zulfa agar tetap maju ke depan.

Zulfa menoleh ke belakang dan berusaha agar memantapkan kakinya agar dia tak bergeser. Akan tetapi, tenanga Noah jauh lebih kuat darinya. Ia butuh penjelasan. Selain itu, ia juga butuh protesnya didengar. Namun, ketika mendengar tawaran Noah, sebagian dari dirinya tergiur.

“Oke. Tugas saya sekarang apa?” Zulfa mengiakan tawaran Noah tanpa berpikir dua kali. Noah tersenyum puas mendengarnya.

“Gampang, kok. Kamu cukup berperan sebagai pacar saya saja di depan Mama. Kamu bisa ‘kan?” tanya Noah senang.

Zulfa menjentikkan jemarinya dan tersenyum lebar. “Gampang, Pak. Yang penting tawaran bapak tadi bukan bohongan aja,” balasnya dengan nada riang. Ia butuh liburan saat ini dan tawaran untuk meloloskan izin cuti itu sangat langka. Tentu saja ia akan menerimanya dengan senang hati.

“Iya, tenang saja kamu. Nah! Mulai aktingnya. Terus jangan panggil saya bapak, ya, di depan Mama. Nanti beliau jadi curiga.” Noah menarik kursi untuk Dhinar duduk, lalu setelahnya ia menarik kursi untuk dirinya duduk tepat di sebelah Zulfa.

“Jadi ... Zulfa sudah berapa lama kenal sama Noah?” Dhinar memulai sesi interogasinya dengan pertanyaan ringan.

“Sudah hampir 3 tahun, Tante,” jawab Zulfa sopan. Ia tak berbohong, memang benar adanya dia sudah mengenal atasannya itu hampir 3 tahun lamanya. Ia cukup bangga pada dirinya yang bisa bertahan dengan atasan seperfeksionis Noah selama 3 tahun lamanya. Padahal karyawan Noah yang lain kabur setelah melewati 3 bulan percobaan. Diam-diam, ia merasa bangga pada dirinya sendiri.

“Kok tante, sih? Mama, dong,” protes Dhinar seraya melarikan matanya pada buku menu.

Zulfa meringis. Ia memang sudah sepakat pada Noah untuk membantunya menjadi pacar. Akan tetapi, jika harus memanggil ibu atasannya itu dengan panggilan mama. Sepertinya itu sudah kelewat batas. Maka dari itu, ia melirik Noah sejenak dan langsung mendapatkan anggukan setuju dari pria itu.

“Kenapa? Wajar, dong. Kalau kamu manggil mama aku mama. Kan bentar lagi kita mau nikah,” ucap Noah semesra mungkin. Pria itu bahkan merangkul bahu Zulfa dengan mesra.

Zulfa merasa ada yang tengah konser di dalam tubuhnya hingga jantungnya bertalu dengan cepat. Ia menelan salivanya susah payah. Dan sebisa mungkin memamerkan senyum sempurna. Walau yang bisa ia suguhkan hanyalah senyum kikuk.

“Mama perhatikan, kamu kikuk banget, ya, Zul? Kamu gugup, ya? Jangan gugup, dong! Anggap aja lagi makan malam sama mama sendiri.” Dhinar menggapai tangan Zulfa dan menepuknya lembut. Demi apapun, Zulfa ingin langsung menarik tangannya dari genggaman Dhinar karena tangannya sekarang sedang basah-basahnya lantaran gugup.

“Eh? Iya, Ma.” Dengan tidak kentara, Zulfa menarik tangannya untuk menyelipkan anak rambutnya ke balik telinganya.

“Ma? Mama?” tanya seorang wanita paruh baya kaget.

Zulfa yang mendengar suara tersebut pun tak kalah kagetnya. Untuk kesekian kalinya, ia merasakan jantungnya terlepas dari tempatnya. Ia merasa dirinya sungguh-sungguh sial hari ini. Dari sekian banyak tempat, mengapa harus di tempat ini? Dan dari sekian banyak keadaan, mengapa harus sekarang ia dan wanita itu bertemu?

 

[bersambung

2 komentar: