Biar gak bingung bisa
baca part sebelumnya ya. Selamat membaca
“Ah! Tunggu!” seru Zulfa kelabakan. Namun, begitu menyadari
bahwa apa yang baru saja dilakukannya itu tak sopan. Zulfa buru-buru
menambahkan, “Maaf. Maksudnya sebentar dulu, Bu.”
Wanita anggun yang baru saja Zulfa ketahui namanya Dhinar
itu tersenyum keibuan. “Kok ‘Bu’, sih? Kayak ngomong sama atasan aja,” celutuk
Dhinar lembut.
Zulfa terdiam. Memang benar Dhinar bukan atasannya, tetapi
ibu dari atasannya. Kalau dia tidak memanggilnya ‘Ibu’, lantas bagaimana dia
harus memanggil wanita itu?
“Tan ... te?” ucapnya tak yakin.
Dhinar menepuk pelan lengan Zulfa sembari tersenyum hangat. “Mama
aja, Zul.”
Rahang Zulfa hampir terlepas dari tempatnya mendengar hal
itu. Ia menatap Noah dengan tatapan memohon. Namun, pria itu langsung
menghindari tatapannya begitu mata mereka bersirobok. Tahu bahwa atasannya itu
tak bisa diharapkan lagi, Zulfa memilih untuk mengatasi hal ini sendiri.
“Eh? Eum ... begini, Tante,” ucapnya bingung. Ia memilih
untuk menutup mata atas ketidaksukaan Dhinar terhadap panggilan darinya. “Jadi
... sebelum itu ... saya mau jelasin dulu, nih, Tan. Jadi, saya itu—.”
Belum selesai Zulfa mengutarakan protesnya. Noah terlebih
dahulu memotong. “Ma, kita ke restorannya aja dulu, yuk. Gak enak ‘kan ngobrol
sambil berdiri.”
“Loh? Pak?” geram Zulfa saat digiring oleh Noah dengan
senyum manisnya. Zulfa menggeram rendah. Atasannya ini sepertinya ingin kabur
dari sesuatu dengan cara menjerumuskannya ke dalam kandang harimau.
“Tolong saya, ya? Nanti saya loloskan permintaan cuti kamu deh setelah kamu dinas ke luar kota
minggu depan.” Noah berbisik pelan di telinga Zulfa sembari mendorong Zulfa
agar tetap maju ke depan.
Zulfa menoleh ke belakang dan berusaha agar memantapkan
kakinya agar dia tak bergeser. Akan tetapi, tenanga Noah jauh lebih kuat
darinya. Ia butuh penjelasan. Selain itu, ia juga butuh protesnya didengar.
Namun, ketika mendengar tawaran Noah, sebagian dari dirinya tergiur.
“Oke. Tugas saya sekarang apa?” Zulfa mengiakan tawaran Noah
tanpa berpikir dua kali. Noah tersenyum puas mendengarnya.
“Gampang, kok. Kamu cukup berperan sebagai pacar saya saja
di depan Mama. Kamu bisa ‘kan?” tanya Noah senang.
Zulfa menjentikkan jemarinya dan tersenyum lebar. “Gampang,
Pak. Yang penting tawaran bapak tadi bukan bohongan aja,” balasnya dengan nada
riang. Ia butuh liburan saat ini dan tawaran untuk meloloskan izin cuti itu
sangat langka. Tentu saja ia akan menerimanya dengan senang hati.
“Iya, tenang saja kamu. Nah! Mulai aktingnya. Terus jangan
panggil saya bapak, ya, di depan Mama. Nanti beliau jadi curiga.” Noah menarik
kursi untuk Dhinar duduk, lalu setelahnya ia menarik kursi untuk dirinya duduk
tepat di sebelah Zulfa.
“Jadi ... Zulfa sudah berapa lama kenal sama Noah?” Dhinar
memulai sesi interogasinya dengan pertanyaan ringan.
“Sudah hampir 3 tahun, Tante,” jawab Zulfa sopan. Ia tak
berbohong, memang benar adanya dia sudah mengenal atasannya itu hampir 3 tahun
lamanya. Ia cukup bangga pada dirinya yang bisa bertahan dengan atasan
seperfeksionis Noah selama 3 tahun lamanya. Padahal karyawan Noah yang lain
kabur setelah melewati 3 bulan percobaan. Diam-diam, ia merasa bangga pada dirinya
sendiri.
“Kok tante, sih? Mama, dong,” protes Dhinar seraya melarikan
matanya pada buku menu.
Zulfa meringis. Ia memang sudah sepakat pada Noah untuk
membantunya menjadi pacar. Akan tetapi, jika harus memanggil ibu atasannya itu
dengan panggilan mama. Sepertinya itu sudah kelewat batas. Maka dari itu, ia
melirik Noah sejenak dan langsung mendapatkan anggukan setuju dari pria itu.
“Kenapa? Wajar, dong. Kalau kamu manggil mama aku mama. Kan
bentar lagi kita mau nikah,” ucap Noah semesra mungkin. Pria itu bahkan
merangkul bahu Zulfa dengan mesra.
Zulfa merasa ada yang tengah konser di dalam tubuhnya hingga
jantungnya bertalu dengan cepat. Ia menelan salivanya susah payah. Dan sebisa
mungkin memamerkan senyum sempurna. Walau yang bisa ia suguhkan hanyalah senyum
kikuk.
“Mama perhatikan, kamu kikuk banget, ya, Zul? Kamu gugup,
ya? Jangan gugup, dong! Anggap aja lagi makan malam sama mama sendiri.” Dhinar
menggapai tangan Zulfa dan menepuknya lembut. Demi apapun, Zulfa ingin langsung
menarik tangannya dari genggaman Dhinar karena tangannya sekarang sedang
basah-basahnya lantaran gugup.
“Eh? Iya, Ma.” Dengan tidak kentara, Zulfa menarik tangannya
untuk menyelipkan anak rambutnya ke balik telinganya.
“Ma? Mama?” tanya seorang wanita paruh baya kaget.
Zulfa yang mendengar suara tersebut pun tak kalah kagetnya.
Untuk kesekian kalinya, ia merasakan jantungnya terlepas dari tempatnya. Ia
merasa dirinya sungguh-sungguh sial hari ini. Dari sekian banyak tempat,
mengapa harus di tempat ini? Dan dari sekian banyak keadaan, mengapa harus
sekarang ia dan wanita itu bertemu?
Hayoo sapa tuh? Bukan Marcela kan?
BalasHapusHayoo??
HapusSiapa hayo??