Biar gak bingung silakan baca part sebelumnya dulu, ya. Selamat membaca.
Tubuh Zulfa mematung. Ia mengenali suara tersebut walau ia
baru pernah mendengar suara tersebut beberapa kali.
“Kamu manggil orang lain mama tapi gak mau manggil mama kamu
sendiri mama?” tanya wanita itu tersinggung.
Zulfa mencibir pelan. Ia menarik napas dalam dan
menghembuskannya dengan perlahan. “Maaf, Anda siapa, ya?” tanyanya sopan.
“Zulfa! Kurang ajar kamu, ya?” hardik wanita itu sembari
melangkah maju ke depan.
Zulfa membalas tatapan tajam tersebut dengan tenang. Ia
berusaha agar emosi wanita itu tak mempengaruhinya sama sekali. Senyum sopan ia
lemparkan pada wanita itu. “Maaf, Bu. Tapi saya benar-benar tidak tahu ibu
siapa.”
Wanita itu memandang Zulfa geram. Ia melayangkan tangannya
dan hendak mendaratkan pada pipi Zulfa. Zulfa tentu tak diam saja menerima
perlakuan tak menyenangkan tersebut. Ia berhasil menahan lengan kurus wanita
itu.
Tatapannya berubah tajam dan dingin. Ia menarik wanita itu
agar lebih dekat padanya. “Jangan melakukan sesuatu yang akan Anda sesali
nantinya,” bisik Zulfa tenang. Kemudian, ia melepaskan lengan wanita itu.
Wajah wanita itu memerah. Napasnya memburu. Tangannya
terkepal di sisi tubuhnya. Ia menatap Zulfa tajam. “Maaf, sepertinya saya salah
orang,” ucap wanita itu tak terima.
Zulfa tersenyum ramah. Seberkas sinar puas bersarang di matanya
selama beberapa detik dan ditangkap oleh wanita itu. “Tidak apa-apa. Saya bisa
mengerti, kok, Bu. Wajah saya memang agak pasaran,” aku Zulfa dengan nada
sopan.
Noah memperhatikan Zulfa yang tak biasa dengan pandangan
heran. Malam ini, ia melihat sisi lain dari Zulfa. Sisi yang amat sangat
berbeda dengan Zulfa yang biasanya. Tak ia sangka, Zulfa yang selalu ceroboh
ternyata bisa sedingin itu.
Begitu Zulfa duduk kembali. Dhinar memandangnya cemas. “Kamu
gak apa-apa, Zul?”
Zulfa tersenyum tipis seraya menggeleng pelan. “Gak apa, Ma.
Lebih baik kita makan aja. Kalau makanannya dingin nanti malah gak enak,” ucap
Zulfa mengalihkan topik. Makanan mereka sampai saat wanita tadi menginterupsi
acara bincang mereka.
Diam-diam, Zulfa merasa lega lantaran berhasil berkelit
dengan menggunakan makanan. Ia merasa sedikit beruntung karena Dhinar dan Noah
ternyata adalah tipe yang diam saat sedang makan. Ia jadi bisa mempunyai waktu
untuk mengatur kembali emosinya.
Setelah selesai makan, mereka berbincang sejenak. Berbincang
hal-hal yang menurut orang-orang ringan, tetapi tidak bagi Zulfa.
“Zulfa ada berapa bersaudara?” Sekali lagi, Dhinar memulai
acara interogasinya.
Zulfa tersenyum kikuk dan menggaruk belakang kepalanya
bingung. “Eum ... saudara Zulfa banyak, Ma. Tapi bukan saudara kandung. Zulfa
selama ini tinggal di panti asuhan.”
Mata Dhinar melebar tak percaya. Ia menutup mulutnya seraya
berseru kaget. Sesaat kemudian, tatapan matanya melembut. Ia menarik tangan
Zulfa dan meremasnya lembut. “Pasti berat, ya? Kamu hebat, Sayang.”
Zulfa tersenyum tipis. Ia menggeleng pelan hingga sudut
matanya menangkap tatapan tak percaya dari atasannya. “Gak kok, Ma. Di panti
enak. Nenek sayang sama kita semua. Dan kami juga akur,” jelasnya seraya
tersenyum tulus.
“Nenek?” tanya Dhinar heran. Ia tak menyangka yang menjalani
panti asuhan tersebut adalah seorang nenek-nenek. Biasanya pasti ada wanita
yang usianya belum mencapai atau mungkin lebih sedikit dari setengah abad yang
menjalankan panti. Namun, kali ini ia mendengar bahwa seorang nenek yang
menjaga anak asuh di panti? Luar biasa!
Zulfa terkekeh pelan. Ia sudah sering mendapati respon
seperti ini. Ia mengangguk mantap sebelum bersuara, “Iya, Ma. Nenek yang ngurus
panti. Sebenarnya, itu panti almarhum papa yang mendirikan. Tapi sejak papa
meninggal, nenek yang ngurus panti itu.”
Sekali lagi Dhinar memamerkan mimik heran. Seorang pria yang
mendirikan panti? Luar biasa. Pria tersebut pastilah seorang pria yang sangat
baik dan hangat. “Wah! Luar biasa sekali.”
Zulfa tersenyum bangga. “Papa memang hebat,” pujinya tanpa
menutupi rasa bangganya sama sekali. Jika saja diizinkan, ia akan sangat
bersedia untuk membeberkan kehebatan almarhum papanya itu.
Dhinar mengelus lembut punggung tangan Zulfa. Ia tersenyum
hangat dan menatap gadis itu lembut. “Papa kamu benar-benar hebat. Apakah dia
ayah angkat?”
Zulfa menggeleng. “Bukan, Ma. Papa kandung Zulfa, kok. Jadi,
ceritanya. Zulfa ini anak di luar nikah. Satu hari setelah Zulfa lahir, Ibu
Zulfa membuang Zulfa ke ladang orang-orang karena malu punya anak. Lalu,
beberapa hari setelahnya, Papa kandung Zulfa berhasil nemuin Zulfa yang hampir
aja dijual ke orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sejak saat itu, Papa
mutusin buat mendirikan panti karena gak mau ada anak lain yang merasakan nasib
yang sama kayak Zulfa. Dibuang dan gak dijual demi keuntungan pribadi.”
Mendengar itu hati Dhinar seolah teriris. Ia tak menyangka
calon menantunya itu memiliki kisah yang begitu pahit. Ibunya Zulfa benar-benar
seorang wanita yang tak memiliki hati. Bisa-bisanya ia membuang bayi yang baru
lahir. Ia menarik Zulfa ke dalam pelukannya. Ia bahkan tak kuasa menahan air
matanya yang mengalir dengan deras hingga membuat Zulfa kebingungan.
“Ma? Kok nangis? Jangan nangis, dong!” pinta Zulfa panik. Ia
paling tidak bisa melihat orang-orang menangis. Hal itu akan membuat otaknya
menjadi kosong dan tidak berfungsi.
Keren, jadi kepikiran buat adain fitur subscribe buat cerbung di blog nih, biar ga ketinggalan. Bisa ga ya? Hehee...
BalasHapusKurang tau sih, Kak..
Hapustp kalau bisa kayaknya keren
wah..lanjutannya kapan nih, Bagus ceritanya. Suka dengan karakter Zulfa yang santai namun mampu mengendalikan emosi. Pemilihan diksi dialog Zulfa juga menarik. di tunggu lanjutannya ya Kak...
BalasHapusPart selanjutnya sudah ada, Kak..
HapusKalau gak keseling sama tugas wajib..
Mudah"an posting tiap hari sampai tamat..
Terima kasih, Kak
Masya Allah keren kakak, tulisannya menarik :-)
BalasHapusTerima kasih, Kak..
HapusMasya Allah keren kakak, tulisannya menarik :-)
BalasHapuskeren tulisannya kak menarik buat ku baca
BalasHapusTerima kasih, Kak..
Hapus