Cerbung Zulfa Heart's Problem part5

 Hola! Baca dulu part sebelumnya biar gak bingung, ya. Selamat membaca!


Zulfa bersenandung riang sembari memotong bawang. Selesai memotong bawang, ia beralih pada cabai, lalu pada kentang dan tempe. Menu makan siang hari ini adalah sambel tempe. Zulfa tersenyum manis sembari memotong dadu tempe dan kentang.

“Hayo! Kak Zulfa habis dapat apa, nih?” seru Gina mengagetkan Zulfa hingga terlonjak dari kursinya dan tanpa sengaja mengiris telunjuknya.

Zulfa memandang adiknya itu dengan kesal. “Gina! Bisa gak sih kalau datang gak usah ngagetin?” hardiknya sebal. Ia menghisap darah yang mengalir dari jarinya.

“Kak Zulfa berdarah!” seru Chelsea panik hingga anak-anak lain berdatangan dan menatap Zulfa dengan cemas.

Selang beberapa menit, Zulfa masih belum bisa meredakan kehebohan tersebut. Ia menggaruk kepalanya frustasi saat beberapa adik-adiknya menangis melihat darah yang terus menetes dari telunjuknya. Sementara itu, Gina pun ikut menangis akibat merasa bersalah.

“Zulfa, obatin dulu tangan kamu. Baru kamu tenangin adik-adik kamu,” titah Nayla—nenek mereka—lembut hingga membuat Zulfa menyadari kesalahannya. Bisa-bisanya ia menenangkan adik-adiknya yang cemas akibat ia terluka dengan tangan yang berlumuran darah.

Zulfa bergerak menuju wastafel dan mencuci darah tersebut hingga bersih. Kemudian ia mengambil kotak obat dan melumuri tangannya dengan obat merah. Setelahnya, ia menempelkan perban di tangannya.

“Nah! Selesai! Lihat! Kakak sudah gak berdarah lagi!” serunya riang sembari memamerkan tangannya pada adik-adiknya. Ia mengalihkan padangannya pada Gina yang terlihat bersalah.

“Maaf, ya, Gin. Kakak gak maksud buat membentak kamu. Kamu mau ‘kan maafin kakak?” tanya Zulfa lembut seraya mengusap air mata yang mengalir dari kedua sudut mata gadis kecil itu.

Gina mengangguk pelan. Ia menatang Zulfa sungkan dan memeluk Zulfa. “Gina juga minta maaf sudah bikin kakak terluka,” ucap gadis kecil itu menyesal.

Zulfa tersenyum lebar. Ia membalas pelukan itu dan mengelus puncak kepala Gina dengan sayang. Melihat Zulfa yang memeluk Gina, anak-anak lain pun tak mau kalah. Mereka berbondong-bondong menyerang Zulfa dengan pelukan hingga gadis itu tertawa senang.

“Nenek!” Zulfa merentangkan kedua lengannya lebar dan menatap Nayla yang tengah menatap cucu-cucunya dengan pandangan senang. Nayla mengerti permintaan Zulfa. Ia mendekati cucunya dan memeluk Zulfa hangat. Tak hanya Zulfa, ia juga memeluk cucu-cucunya yang lain.

Selepasnya, Zulfa bisa memasak dengan tenang. Gina, Chelsea, dan Randy membantunya memasak. Kerja sama tim yang dipimpin oleh Zulfa sukses besar menghasilkan makan siang lezat. Siang itu, mereka makan siang dengan suasana hangat dan riang.

“Habis ini gimana kalau kita main bareng?” ajak Zulfa menatap adik-adiknya dengan antusias.

“Kakak gak kerja?” tanya Angga pada Zulfa heran. Biasanya, setiap hari minggu seperti ini, Zulfa lebih sering menghabiskan waktunya di dalam kamar berkutat dengan laptop. Dan adik-adiknya menganggap ia tengah bekerja.

Zulfa meringis kecil. Ia tak tahu bahwa ternyata di mata adik-adiknya ia adalah seorang workaholic. Ia tersenyum dan menggeleng mantap. “Gak. Hari ini kakak bakalan main sama kalian sampai kalian bosan sama kakak.”

Ya. Hari ini, ia ingin menghabiskan waktunya yang berharga dengan adik-adiknya. Setelah percakapannya dengan Dhinar kemarin. Ia teringat bahwa ia sudah lama tak bermain dan berbincang dengan adik-adiknya. Walau mereka bukanlah saudara kandung, mereka semua tetaplah keluarganya. Keluarga kecilnya yang hangat dan bahagia.

Tanpa mereka, ia juga tak akan bisa tumbuh dengan ceria dan kuat seperti ini. Maka dari itu, untuk berterima kasih pada mereka. Ia juga ingin memperlakukan adik-adiknya dengan baik. Mungkin, itu juga yang ingin ayahnya lakukan pada anak-anak ini.

“Oke! Ayo kita main petak umpet. Kak Zulfa yang jaga. Kalau dalam waktu setengah jam Kak Zulfa gak bisa nemuin kita. Kak Zulfa kalah. Dan kakak harus terima hukuman dari kita semua. Setuju?” tanya Randy yang segera saja diamini oleh saudara-saudaranya.

Dengan itu, semua berpencar mencari tempat persembunyian masing-masing. Zulfa pun mulai menghitung mundur dari angka 50. Setelah selesai menghitung, ia berdiri dan memindai sekelilingnya dengan cermat. Mencari tanda-tanda di mana kemungkinan adik-adiknya bersembunyi.

Zulfa masuk ke dalam rumah dan memulai pencariannya di dapur. Di sana, ia menemukan Gina yang tengah bersembunyi di kolong meja. Gadis kecil itu serta merta memprotes apa yang Zulfa lakukan. Akan tetapi, Zulfa hanya tertawa puas dan mengabaikan segala macam protes yang disuarakan oleh adiknya itu.

Zulfa pun bergerak menuju perpustakaan mini yang didirikan oleh neneknya. Matanya menelisik setiap sudut ruangan. Di sela-sela lemari, ia menemukan Randy. Sama halnya dengan Gina, Randy pun memprotes jika ia ditemukan terlalu cepat. Lagi-lagi, Zulfa hanya tertawa dan mengabaikan segala protes yang disuarakan adiknya itu.

Ia kemudian bergerak menuju pintu depan. Di sana, ia melihat tamu tak diundang. Tangannya terkepal kuat. Dengan nada dingin dia berucap, “Anda tidak diterima di rumah ini. Silakan keluar dari sini dengan kaki Anda sendiri.”

Gina dan Randy yang setelah ditemukan selalu mengekorinya menatap Zulfa heran. Mereka tak pernah mendapati kakak tertua mereka bersikap sedemikian tidak sopannya. Apalagi dengan orang tua. “Kak? Kata nenek gak boleh ngusir tamu,” sela Gina pelan.

Zulfa menghela napas lelah. Ia menatap Gina dan Randy sejenak sebelum akhirnya memijat pangkal hidungnya lelah. “Kalian cari yang lain dulu, ya. Lalu pergi ke halaman belakang. Dan jangan kasih tahu nenek kalau ada orang yang datang. Kakak yang akan mengurusnya sendiri. Mengerti?”

Setelah mengangguk paham. Kedua bocah kecil itu beranjak pergi dari sana. Zulfa menatap wanita itu tajam, lalu berdecih pelan. Dalam hati, ia mengumpati wanita yang hanya bisa mengacaukan hidupnya saja.


[bersambung]

0 comments:

Posting Komentar