Hola! Baca dulu part sebelumnya biar gak bingung, ya. Selamat membaca!
Zulfa bersenandung riang sembari memotong bawang. Selesai
memotong bawang, ia beralih pada cabai, lalu pada kentang dan tempe. Menu makan
siang hari ini adalah sambel tempe. Zulfa tersenyum manis sembari memotong dadu
tempe dan kentang.
“Hayo! Kak Zulfa habis dapat apa, nih?” seru Gina
mengagetkan Zulfa hingga terlonjak dari kursinya dan tanpa sengaja mengiris
telunjuknya.
Zulfa memandang adiknya itu dengan kesal. “Gina! Bisa gak
sih kalau datang gak usah ngagetin?” hardiknya sebal. Ia menghisap darah yang
mengalir dari jarinya.
“Kak Zulfa berdarah!” seru Chelsea panik hingga anak-anak
lain berdatangan dan menatap Zulfa dengan cemas.
Selang beberapa menit, Zulfa masih belum bisa meredakan
kehebohan tersebut. Ia menggaruk kepalanya frustasi saat beberapa adik-adiknya
menangis melihat darah yang terus menetes dari telunjuknya. Sementara itu, Gina
pun ikut menangis akibat merasa bersalah.
“Zulfa, obatin dulu tangan kamu. Baru kamu tenangin
adik-adik kamu,” titah Nayla—nenek mereka—lembut hingga membuat Zulfa menyadari
kesalahannya. Bisa-bisanya ia menenangkan adik-adiknya yang cemas akibat ia
terluka dengan tangan yang berlumuran darah.
Zulfa bergerak menuju wastafel dan mencuci darah tersebut
hingga bersih. Kemudian ia mengambil kotak obat dan melumuri tangannya dengan
obat merah. Setelahnya, ia menempelkan perban di tangannya.
“Nah! Selesai! Lihat! Kakak sudah gak berdarah lagi!”
serunya riang sembari memamerkan tangannya pada adik-adiknya. Ia mengalihkan
padangannya pada Gina yang terlihat bersalah.
“Maaf, ya, Gin. Kakak gak maksud buat membentak kamu. Kamu
mau ‘kan maafin kakak?” tanya Zulfa lembut seraya mengusap air mata yang
mengalir dari kedua sudut mata gadis kecil itu.
Gina mengangguk pelan. Ia menatang Zulfa sungkan dan memeluk
Zulfa. “Gina juga minta maaf sudah bikin kakak terluka,” ucap gadis kecil itu
menyesal.
Zulfa tersenyum lebar. Ia membalas pelukan itu dan mengelus
puncak kepala Gina dengan sayang. Melihat Zulfa yang memeluk Gina, anak-anak
lain pun tak mau kalah. Mereka berbondong-bondong menyerang Zulfa dengan
pelukan hingga gadis itu tertawa senang.
“Nenek!” Zulfa merentangkan kedua lengannya lebar dan
menatap Nayla yang tengah menatap cucu-cucunya dengan pandangan senang. Nayla
mengerti permintaan Zulfa. Ia mendekati cucunya dan memeluk Zulfa hangat. Tak
hanya Zulfa, ia juga memeluk cucu-cucunya yang lain.
Selepasnya, Zulfa bisa memasak dengan tenang. Gina, Chelsea,
dan Randy membantunya memasak. Kerja sama tim yang dipimpin oleh Zulfa sukses
besar menghasilkan makan siang lezat. Siang itu, mereka makan siang dengan
suasana hangat dan riang.
“Habis ini gimana kalau kita main bareng?” ajak Zulfa menatap
adik-adiknya dengan antusias.
“Kakak gak kerja?” tanya Angga pada Zulfa heran. Biasanya,
setiap hari minggu seperti ini, Zulfa lebih sering menghabiskan waktunya di
dalam kamar berkutat dengan laptop. Dan adik-adiknya menganggap ia tengah
bekerja.
Zulfa meringis kecil. Ia tak tahu bahwa ternyata di mata
adik-adiknya ia adalah seorang workaholic.
Ia tersenyum dan menggeleng mantap. “Gak. Hari ini kakak bakalan main sama
kalian sampai kalian bosan sama kakak.”
Ya. Hari ini, ia ingin menghabiskan waktunya yang berharga
dengan adik-adiknya. Setelah percakapannya dengan Dhinar kemarin. Ia teringat
bahwa ia sudah lama tak bermain dan berbincang dengan adik-adiknya. Walau mereka
bukanlah saudara kandung, mereka semua tetaplah keluarganya. Keluarga kecilnya
yang hangat dan bahagia.
Tanpa mereka, ia juga tak akan bisa tumbuh dengan ceria dan
kuat seperti ini. Maka dari itu, untuk berterima kasih pada mereka. Ia juga
ingin memperlakukan adik-adiknya dengan baik. Mungkin, itu juga yang ingin
ayahnya lakukan pada anak-anak ini.
“Oke! Ayo kita main petak umpet. Kak Zulfa yang jaga. Kalau
dalam waktu setengah jam Kak Zulfa gak bisa nemuin kita. Kak Zulfa kalah. Dan
kakak harus terima hukuman dari kita semua. Setuju?” tanya Randy yang segera
saja diamini oleh saudara-saudaranya.
Dengan itu, semua berpencar mencari tempat persembunyian
masing-masing. Zulfa pun mulai menghitung mundur dari angka 50. Setelah selesai
menghitung, ia berdiri dan memindai sekelilingnya dengan cermat. Mencari
tanda-tanda di mana kemungkinan adik-adiknya bersembunyi.
Zulfa masuk ke dalam rumah dan memulai pencariannya di
dapur. Di sana, ia menemukan Gina yang tengah bersembunyi di kolong meja. Gadis
kecil itu serta merta memprotes apa yang Zulfa lakukan. Akan tetapi, Zulfa
hanya tertawa puas dan mengabaikan segala macam protes yang disuarakan oleh
adiknya itu.
Zulfa pun bergerak menuju perpustakaan mini yang didirikan
oleh neneknya. Matanya menelisik setiap sudut ruangan. Di sela-sela lemari, ia
menemukan Randy. Sama halnya dengan Gina, Randy pun memprotes jika ia ditemukan
terlalu cepat. Lagi-lagi, Zulfa hanya tertawa dan mengabaikan segala protes
yang disuarakan adiknya itu.
Ia kemudian bergerak menuju pintu depan. Di sana, ia melihat
tamu tak diundang. Tangannya terkepal kuat. Dengan nada dingin dia berucap, “Anda
tidak diterima di rumah ini. Silakan keluar dari sini dengan kaki Anda sendiri.”
Gina dan Randy yang setelah ditemukan selalu mengekorinya
menatap Zulfa heran. Mereka tak pernah mendapati kakak tertua mereka bersikap
sedemikian tidak sopannya. Apalagi dengan orang tua. “Kak? Kata nenek gak boleh
ngusir tamu,” sela Gina pelan.
Zulfa menghela napas lelah. Ia menatap Gina dan Randy
sejenak sebelum akhirnya memijat pangkal hidungnya lelah. “Kalian cari yang
lain dulu, ya. Lalu pergi ke halaman belakang. Dan jangan kasih tahu nenek
kalau ada orang yang datang. Kakak yang akan mengurusnya sendiri. Mengerti?”
Setelah mengangguk paham. Kedua bocah kecil itu beranjak
pergi dari sana. Zulfa menatap wanita itu tajam, lalu berdecih pelan. Dalam
hati, ia mengumpati wanita yang hanya bisa mengacaukan hidupnya saja.
0 comments:
Posting Komentar