Yang sebelumnya jangan lupa baca dulu, ya.
“Wah! Ada angin apa nih Tom dan Jerry berangkat bareng ke kantor?” tanya Anggi pada kedua rekannya yang baru saja sampai.
Zulfa memandang Rio cuek. Tadi pagi, mereka sudah sempat berantem karena masalah kemeja dan celana yang dipakai oleh Rio. Pria itu ingin memakai kembali kemejanya yang kemarin, tentu saja Zullfa melarang hal itu dengan tegas. Beruntung, di antara semua baju peninggalan ayahnya, masih ada kemeja dan celana kerja.
Sebuah gedikkan bahu tak acuh Zulfa berikan pada Anggi. “Kenapa, Gi? Gak boleh aku bareng sama Rio?”
Anggi tersenyum misterius. Ia kemudian menoleh pada Rio yang rautnya kusut bak cucian kotor dan basah. “Kamu kenapa, Yo? Pagi-pagi udah lecek aja tuh muka. Tadi pagi lupa kamu setrika mukanya?” ledek Anggi seraya menghidupkan komputernya.
Zulfa terkekeh mendengar itu. Sementara Rio hanya bisa mendecih pelan. Rio menyalakan komputernya, lalu memilih untuk bekerja saja daripada harus meladeni dua rekan kerjanya itu. Ketiganya bekerja dalam tenang. Tak ada lagi olokan yang saling terlempar ke sana-sini.
“Ah! Akhirnya jam makan siang!” keluh Rio sembari merenggangkan otot-ototnya yang kaku akibat terlalu lama duduk. Pria itu mengajak dua rekannya menuju ke kantin dan langsung disetujui oleh kedua rekannya.
“Tadi malam kamu menginap di rumah Zulfa?” seru Anggi kaget dengan suara yang terlalu keras hingga beberapa pasang mata mulai menatap mereka penasaran.
“Siapa yang menginap di rumah siapa?” Belum sempat Rio menjawab, sebuah suara bariton menyela hingga membuat mereka membelalakkan matanya kaget.
“Eh? Oh? Rio yang nginap di rumah saya, Pak,” balas Zulfa sopan setelah berhasil menetralkan kekagetannya.
Noah menganggukkan kepalanya tanda mengerti. “Di panti asuhan itu?” tanya Noah penasaran.
“Iya, Pak. Tidurnya sekamar dengan Angga,” jawab Zulfa santai. Noah hanya mengangguk paham, lalu ia berlalu dari sana tanpa menoleh sama sekali.
“Kok Pak Noah tahu kamu tinggal di panti asuhan?” tanya Rio kaget. Tentu saja, ia saja baru tahu kalau Zulfa tinggal di panti asuhan setelah lima tahun lamanya menjalin pertemanan. Dan juga, padahal statusnya sebagai rekan kerja harusnya lebih dekat dibandingkan atasan.
Anggi yang sedari tadi hanya bisa melongo bingung. Mulai menyuarakan keheranannya. “Tunggu! Tunggu! Apa maksud kamu Zulfa tinggal di panti asuhan? Kenapa aku gak tahu?”
Zulfa menghela napas memandang kehebohan itu. Ia terlalu malas untuk menjawab, jadi ia lebih memilih untuk melahap makannya dalam diam saja. Sementara itu, Rio dicecar begitu banyak pertanyaan oleh Anggi dan hanya bisa pasrah menjawab sebanyak yang ia tahu saja.
“Aku juga baru tahu kemarin. Aku antar Zulfa pulang. Aku kaget pas dia bilang rumah itu ternyata panti asuhan,” jelas Rio sembari menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
Anggi mengangguk paham. Ia menelan makannya terlebih dahulu sebelum memperdalam sesi interogasinya. “Kenapa kamu nganter Zulfa pulang?”
Gerakan tangan Zulfa terhenti. Jika Anggi tahu apa yang semalam terjadi, Anggi pasti akan mengomelinya hingga Zulfa berdoa lebih baik telinganya tuli saja. “Kemarin aku lembur. Terus Rio juga lembur. Jadi sekalian karena rupanya udah jam delapan lewat,” potong Zulfa cepat sebelum Rio menjelaskan kejadian yang hampir melayangkan nyawanya itu.
Rio mendapati Zulfa yang memelototinya galak. Ia pun lebih memilih untuk menutup mulutnya rapat-rapat dan hanya mengangguk setuju sesuai keinginan Zulfa. “Iya, begitu. Jadi semalem aku anterin Zulfa pulang.”
Anggi meneliti mimik kedua rekannya dengan tatapan curiga. Ia tahu ada yang disembunyikan oleh kedua manusia itu. Akan tetapi, ia rasa itu bukan hal yang terlalu penting saat ini. “Terus kenapa kamu gak pulang dan malah menginap?”
“Sesuatu terjadi. Adiknya belum pulang padahal itu sudah hampir jam 9 malam. Kami mencarinya sampai hampir jam 10 malam. Neneknya memintaku untuk makan terlebih dahulu, lalu pulang. Kalau bisa menginap kata beliau. Jadi aku turuti saja. Aku tak sanggup menolak permintaan tulus neneknya Zulfa,” jelas Rio singkat tanpa membeberkan kejadian detilnya. Ia yakin, Zulfa tak ingin masalahnya diketahui oleh banyak orang.
“Oh, gitu,” gumam Anggi. Lalu ketiganya mengangkat piring mereka dan meletakkannya di tempat cuci piring. Kemudian berjalan beriringan menuju ruangan mereka.
“Gimana kandungan kamu, Gi?” tanya Zulfa saat mereka sudah hampir sampai di ruangan.
Ayunan langkah Anggi terhenti. Kepalanya berputar menatap Zulfa heran. Bagaimana bisa gadis itu tahu bahwa ia sedang hamil? Ia ‘kan belum sempat cerita pada kedua rekannya itu.
“Gak usah heran. Kamu gak tahu peramal yang satu ini hebat?” gurau Rio seraya merangkul Zulfa dan ditepis Zulfa kasar.
Rona bahagia meliputi wajah Anggi. Senyum hangat ia lukiskan di wajahnya yang manis itu. “Kata dokter, dia sehat. Udah jalan 6 minggu. Sebentar lagi aku bakal jadi seorang ibu.” Tangan Anggi mengelus lembut perutnya yang masih rata dengan perasaan hangat yang membuncah.
Ia senang sekali. Sangat amat senang. Zulfa dan juga Rio turut bahagia karenanya. Senyum bahagia terlukis di wajah ketiga sahabat itu.
“Zul, pulang bareng, yuk! Aku kan harus ngambil bajuku lagi,” ajak Rio setelah jam pulang berlalu setengah jam.
Zulfa mendongakkan kepalanya dan mengangguk. Ia lantas mematikan komputernya dan membereskan mejanya. Setelah semuanya rapi, Zulfa dan Rio turun bersama-sama. Keduanya berjalan beriringan menuju tempat parkir.
Rio menyodorkan helmnya pada Zulfa dan diterima gadis itu dengan baik. Saat hendak memakai helm, gerakan Zulfa terhenti karena ada yang menggenggam lengannya.
“Ikut saya,” titah Noah membuat hanya bisa berdiri bingung. Begitu pula dengan Noah yang hanya bergeming di tempatnya.
Sebuah tarikan lembut membuat Zulfa tersadar dari kebingungannya. “Eh? Ke mana, Pak?” tanya Zulfa heran.
“Ikut saja,” titah Noah tak ingin dibantah.
Zulfa kelabakan. Dengan linglung, ia menyerahkan helm kembali pada Rio. Sementara itu, Rio hanya bisa melongo bak orang bodoh di parkiran. Setelah Zulfa sudah menjauh, ia baru tersadar.
“Loh? Zul? Aku gimana?” tanyanya bingung. Tentu saja tak ada jawaban apapun yang ia dapatkan karena bahkan Zulfa sudah tak mendengar pertanyaannya. Akhirnya, ia hanya bisa menghela napas pasrah. Baru saja ia menyalakan motornya, ia merasakan ponselnya bergetar. Segera ia buka ponsel tersebut dan hanya bisa bersungut begitu mendapati chat Zulfa.
Zulfa : Yo, ntar baju km aku baru ksh aja ya.
0 comments:
Posting Komentar