Yo! Masih ingat part sebelumnya, kan?
"Malam, Ma." Zulfa memeluk dan
mencium kedua pipi Dhinar dengan canggung.
Senyum Dhinar
mengembang mendapat perlakuan seperti itu. Ia mengelus punggung Zulfa dengan
lembut. "Apa kabar kamu, Sayang?" tanyanya lembut seraya mengurai
pekukannya.
Zulfa tersenyum
manis. "Baik, Ma. Mama sendiri apa kabar?" tanyanya lembut. Walau di
dalam hatinya ia dongkol setengah mati karena ini adalah kejadian yang begitu
mendadak.
Satu jam yang
lalu, Noah tiba-tiba menariknya dari parkiran dan menyeretnya menuju rumah
orang tua pria itu. Jika tak ingat di sini adalah rumah kedua orang tua
atasannya serta tak ingat bahwa Noah adalah atasannya, Zulfa pasti akan
memukuli pria itu hingga jengkelnya hilang. Bisa-bisanya pria itu menyeretnya
ke sini tanpa pemberitahuan apapun. Beruntung dirinya pintar beradaptasi.
"Pak!
Bapak ini, ya! Kenapa sih suka banget yang mendadak?" omel Zulfa dengan
suara tertahan saat Dhinar dan suaminya sudah berjalan ke ruang makan terlebih
dahulu.
Noah menoleh
sejenak menatap Zulfa dengan mimik datar. Sejenak, ia terlihat berpikir akan
menjawab apa. Beberapa detik berlalu, keluarlah jawaban yang membuat Zulfa
ingin memutilasi atasannya saat itu juga. "Saya ingat kamu pintar
beradaptasi. Jadi saya yakin kamu pasti bisa melakukan hal segampang ini,"
jawab pria itu kalem.
Zulfa melongo.
Demi apa Noah memberikan jawaban seperti itu? Pria itu ... benar-benar! Zulfa
mengepalkan tangannya kuat guna meredam emosinya. Ia mengayunkan langkahnya
menyusul atasannya yang menyebalkan itu. Baru tiga langkah, ia terpaksa
menghentikan langkahnya akibat ponselnya yang berbunyi.
"Ya, Nek?
Ada apa? Apa ada masalah lagi? Angga belum pulang?" berondong Zulfa begitu
mengangkat telepon.
Zulfa mendengus
begitu mendengar kekehan neneknya di ujung sana. Ia mengangguk-anggukkan
kepalanya tanda mengerti dengan apa yang disampaikan oleh neneknya.
"Siap,
Nyonya. Hamba akan melaksanakan perintah Anda dengan sempurna," candanya
seraya meletakkan tangannya di kening memberi hormat ala militer. Dari ruang
makan, tiga pasang mata menonton tingkah lucunya.
Zulfa
memutuskan hubungan dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Senyum riang
terpasang di wajahnya, luntur dengan suksesnya ketika matanya bersirobok dengan
ketiga pasang mata yang menatapnya jenaka. Dalam hati, Zulfa merutuki kebiasaannya
meledek neneknya itu.
Bisa-bisanya ia
melakukan kebiasaan itu di hadapan atasannya dan juga kedua orang tua
atasannya. Ia pasti sudah gila! Zulfa menggigit bibirnya salah tingkah dan
tersenyum canggung.
"Kamu
lucu," komentar Noah yang sangat sukses membuat wajah Zulfa semerah tomat.
Ingin rasanya
gadis itu menabok mulut yang seenaknya memberikan komentar memalukan itu.
Namun, ia harus menahan dirinya sekuat tenaga. Akhirnya, ia menganggap itu
sebuah pujian dan bergumam kecil. "Terima kasih, Kak."
Dhinar menaruh daging sate ke dalam piring Zulfa
membuat Zulfa tersenyum canggung. “Makan yang banyak, ya, Sayang,” pesan
Dhinar. Zulfa hanya bisa mengangguk sembari menggumamkan terima kasih.
Sementara
itu, Johan, suami Dhinar, menunjukkan mimik cemburu. “Kayaknya kamu lebih
sayang sama Zulfa ketimbang suamimu ini, ya?” rajuknya membuat Zulfa tersedak
akibat merasa malu akibat kemesraan kedua pasangan paruh baya itu.
Noah
segera menuangkan air putih dan menyodorkan pada Zulfa. “Pelan-pelan,” ujarnya
seraya memukul-mukul punggung Zulfa lembut.
Zulfa
mengangguk sambil terbatuk-batuk. Saat batuknya sudah mereda, ia menangkap
tangan Noah yang menepuknya dan mendorong tangan itu menjauh. Seulas senyum
tipis ia hadiahkan untuk Noah. “Terima kasih, Kak. Saya sudah tidak apa-apa.”
Dhinar
memukul pelan lengan suaminya dan melotot galak. “Lihat. Anakku jadi tersedak, ‘kan?”
omelnya tanpa bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.
Noah
menatap Dhinar kaget. “Anakku?” gumamnya heran. “Sejak kapan Zulfa jadi anaknya
mama?” tanyanya bingung.
Dhinar
tersenyum senang. “Tentu saja sejak hari pertama kami bertemu. Sejak malam itu,
Zulfa sudah jadi anaknya mama. Kamu gak tahu?” tanya Dhinar tak percaya.
Noah
menatap sang mama tak terima. “Kenapa bisa jadi anaknya mama? Zulfa bukan anak
mama, dia itu menantu mama,” ucap Noah tegas seraya menekankan kata menantu.
Cukup sudah!
Zulfa sudah lelah membohongi Dhinar yang begitu hangat padanya. Bagaimana bisa
atasannya itu sampai hati membohongi mamanya sampai sejauh itu. Ia menginjak
kaki Noah dengan keras dan melotot tajam. “Maaf, Ma, Om. Saya boleh pinjam Kak
Noah sebentar?”
Zulfa
menyeret Noah menjauh dari meja makan setelah mendapat anggukan persetujuan
dari kedua orang tua Noah. Walau ia harus merasa jengah akibat tatapan penuh
harap itu. Ia harus menarik Noah menjauh dan menyadarkan atasannya itu untuk
menghentikan sandiwara gila ini.
“Bapak
sudah gila?” omel Zulfa begitu sampai di halaman belakang rumah Noah.
Suasana
di sini sangat adem. Tak ada satu pun nyamuk di sini. Lampu-lampu hias ditempel
sempurna di dinding menambah suasana indah di sana. Banyak pohon hias di taman
tersebut. Bahkan ada tanaman rambat yang melilit di ayunan membuat suasana
taman tersebut menjadi romantis.
Akan
tetapi, ini bukan saat yang tepat bagi Zulfa untuk mengagumi dekorasi indah nan
romantis taman belakang rumah atasannya itu. Ia menatap atasannya galak.
Sementara Noah menatapnya datar seolah tak merasa ada yang salah sama sekali.
“Bapak
sudah gila?” ulangnya marah.
Noah
menghela napas panjang, ditatapnya Zulfa dengan pandangan bingung. “Kamu
kenapa? Dan aku belum gila.” Nada tenang pria itu membuat Zulfa mengerang
frustrasi.
“Bapak
gila!” sergahnya geram. Ia menarik rambutnya frustrasi dan kembali memelototi
atasannya itu. “Kenapa bapak bilang kayak gitu tadi?” salaknya marah.
Napas
Zulfa memburu. Wajah gadis itu memerah hingga ke telinga lantaran marah. Ia
menatap nyalang pada atasannya. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya.
“Memangnya
apa yang salah dengan ucapanku, Zul?” tanya pria itu kalem. Ia membalas tatapan
nyalang itu dengan hangat.
Zulfa
menggeram. “Tentu saja salah! Kita sedang sandiwara! Sandiwara! Bapak gila, ya?
Kepala Bapak terbentur baru-baru ini?” cecar gadis itu kesal.
Noah
menyentuh kedua bahu Zulfa lembut dan menatap gadis itu dalam. Zulfa membalas
tatapan tersebut dengan tajam. Perlahan, ia mulai tenggelam di dalam netra
hazel itu. Zulfa bahkan tak menyadari bahwa kepala Noah sudah semakin mendekat.
Noah
masih menatap netra coklat gelap milik Zulfa lembut. Gerakan kepalanya terhenti
tepat 1 cm di depan wajah Zulfa. Hidungnya menyentuh hidung Zulfa. Embusan
napasnya menerpa wajah Zulfa dengan lembut. Zulfa mengerjapkan kedua matanya
sembari berusaha mencerna apa yang tengah terjadi saat bibir lembut itu
menyentuh bibirnya.
Tubuh
Zulfa sekaku batu begitu ciuman itu lepas. Ia menatap kosong pada Noah yang
tersenyum senang. “Mulai sekarang, kita sudah bukan pasangan sandiwara lagi,”
ucapnya seraya berjalan menjauh. Meninggalkan Zulfa dengan jantung yang berpacu
cepat.
Zulfa
memegang dadanya. Ia bisa merasakan jantungnya bekerja ekstra. Tangannya
meremas dada atas kirinya kuat. Kakinya melemas hingga ia jatuh terduduk di
atas rumput.
0 comments:
Posting Komentar