Cerbung Zulfa Heart's Problem Part16

 Yo! Masih ingat part sebelumnya, kan?


"Malam, Ma." Zulfa memeluk dan mencium kedua pipi Dhinar dengan canggung.

Senyum Dhinar mengembang mendapat perlakuan seperti itu. Ia mengelus punggung Zulfa dengan lembut. "Apa kabar kamu, Sayang?" tanyanya lembut seraya mengurai pekukannya.

Zulfa tersenyum manis. "Baik, Ma. Mama sendiri apa kabar?" tanyanya lembut. Walau di dalam hatinya ia dongkol setengah mati karena ini adalah kejadian yang begitu mendadak.

Satu jam yang lalu, Noah tiba-tiba menariknya dari parkiran dan menyeretnya menuju rumah orang tua pria itu. Jika tak ingat di sini adalah rumah kedua orang tua atasannya serta tak ingat bahwa Noah adalah atasannya, Zulfa pasti akan memukuli pria itu hingga jengkelnya hilang. Bisa-bisanya pria itu menyeretnya ke sini tanpa pemberitahuan apapun. Beruntung dirinya pintar beradaptasi.

"Pak! Bapak ini, ya! Kenapa sih suka banget yang mendadak?" omel Zulfa dengan suara tertahan saat Dhinar dan suaminya sudah berjalan ke ruang makan terlebih dahulu.

Noah menoleh sejenak menatap Zulfa dengan mimik datar. Sejenak, ia terlihat berpikir akan menjawab apa. Beberapa detik berlalu, keluarlah jawaban yang membuat Zulfa ingin memutilasi atasannya saat itu juga. "Saya ingat kamu pintar beradaptasi. Jadi saya yakin kamu pasti bisa melakukan hal segampang ini," jawab pria itu kalem.

Zulfa melongo. Demi apa Noah memberikan jawaban seperti itu? Pria itu ... benar-benar! Zulfa mengepalkan tangannya kuat guna meredam emosinya. Ia mengayunkan langkahnya menyusul atasannya yang menyebalkan itu. Baru tiga langkah, ia terpaksa menghentikan langkahnya akibat ponselnya yang berbunyi.

"Ya, Nek? Ada apa? Apa ada masalah lagi? Angga belum pulang?" berondong Zulfa begitu mengangkat telepon.

Zulfa mendengus begitu mendengar kekehan neneknya di ujung sana. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti dengan apa yang disampaikan oleh neneknya.

"Siap, Nyonya. Hamba akan melaksanakan perintah Anda dengan sempurna," candanya seraya meletakkan tangannya di kening memberi hormat ala militer. Dari ruang makan, tiga pasang mata menonton tingkah lucunya.

Zulfa memutuskan hubungan dan memasukkan ponselnya ke dalam tas. Senyum riang terpasang di wajahnya, luntur dengan suksesnya ketika matanya bersirobok dengan ketiga pasang mata yang menatapnya jenaka. Dalam hati, Zulfa merutuki kebiasaannya meledek neneknya itu.

Bisa-bisanya ia melakukan kebiasaan itu di hadapan atasannya dan juga kedua orang tua atasannya. Ia pasti sudah gila! Zulfa menggigit bibirnya salah tingkah dan tersenyum canggung.

"Kamu lucu," komentar Noah yang sangat sukses membuat wajah Zulfa semerah tomat.

Ingin rasanya gadis itu menabok mulut yang seenaknya memberikan komentar memalukan itu. Namun, ia harus menahan dirinya sekuat tenaga. Akhirnya, ia menganggap itu sebuah pujian dan bergumam kecil. "Terima kasih, Kak."

Dhinar menaruh daging sate ke dalam piring Zulfa membuat Zulfa tersenyum canggung. “Makan yang banyak, ya, Sayang,” pesan Dhinar. Zulfa hanya bisa mengangguk sembari menggumamkan terima kasih.

Sementara itu, Johan, suami Dhinar, menunjukkan mimik cemburu. “Kayaknya kamu lebih sayang sama Zulfa ketimbang suamimu ini, ya?” rajuknya membuat Zulfa tersedak akibat merasa malu akibat kemesraan kedua pasangan paruh baya itu.

Noah segera menuangkan air putih dan menyodorkan pada Zulfa. “Pelan-pelan,” ujarnya seraya memukul-mukul punggung Zulfa lembut.

Zulfa mengangguk sambil terbatuk-batuk. Saat batuknya sudah mereda, ia menangkap tangan Noah yang menepuknya dan mendorong tangan itu menjauh. Seulas senyum tipis ia hadiahkan untuk Noah. “Terima kasih, Kak. Saya sudah tidak apa-apa.”

Dhinar memukul pelan lengan suaminya dan melotot galak. “Lihat. Anakku jadi tersedak, ‘kan?” omelnya tanpa bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.

Noah menatap Dhinar kaget. “Anakku?” gumamnya heran. “Sejak kapan Zulfa jadi anaknya mama?” tanyanya bingung.

Dhinar tersenyum senang. “Tentu saja sejak hari pertama kami bertemu. Sejak malam itu, Zulfa sudah jadi anaknya mama. Kamu gak tahu?” tanya Dhinar tak percaya.

Noah menatap sang mama tak terima. “Kenapa bisa jadi anaknya mama? Zulfa bukan anak mama, dia itu menantu mama,” ucap Noah tegas seraya menekankan kata menantu.

Cukup sudah! Zulfa sudah lelah membohongi Dhinar yang begitu hangat padanya. Bagaimana bisa atasannya itu sampai hati membohongi mamanya sampai sejauh itu. Ia menginjak kaki Noah dengan keras dan melotot tajam. “Maaf, Ma, Om. Saya boleh pinjam Kak Noah sebentar?”

Zulfa menyeret Noah menjauh dari meja makan setelah mendapat anggukan persetujuan dari kedua orang tua Noah. Walau ia harus merasa jengah akibat tatapan penuh harap itu. Ia harus menarik Noah menjauh dan menyadarkan atasannya itu untuk menghentikan sandiwara gila ini.

“Bapak sudah gila?” omel Zulfa begitu sampai di halaman belakang rumah Noah.

Suasana di sini sangat adem. Tak ada satu pun nyamuk di sini. Lampu-lampu hias ditempel sempurna di dinding menambah suasana indah di sana. Banyak pohon hias di taman tersebut. Bahkan ada tanaman rambat yang melilit di ayunan membuat suasana taman tersebut menjadi romantis.

Akan tetapi, ini bukan saat yang tepat bagi Zulfa untuk mengagumi dekorasi indah nan romantis taman belakang rumah atasannya itu. Ia menatap atasannya galak. Sementara Noah menatapnya datar seolah tak merasa ada yang salah sama sekali.

“Bapak sudah gila?” ulangnya marah.

Noah menghela napas panjang, ditatapnya Zulfa dengan pandangan bingung. “Kamu kenapa? Dan aku belum gila.” Nada tenang pria itu membuat Zulfa mengerang frustrasi.

“Bapak gila!” sergahnya geram. Ia menarik rambutnya frustrasi dan kembali memelototi atasannya itu. “Kenapa bapak bilang kayak gitu tadi?” salaknya marah.

Napas Zulfa memburu. Wajah gadis itu memerah hingga ke telinga lantaran marah. Ia menatap nyalang pada atasannya. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya.

“Memangnya apa yang salah dengan ucapanku, Zul?” tanya pria itu kalem. Ia membalas tatapan nyalang itu dengan hangat.

Zulfa menggeram. “Tentu saja salah! Kita sedang sandiwara! Sandiwara! Bapak gila, ya? Kepala Bapak terbentur baru-baru ini?” cecar gadis itu kesal.

Noah menyentuh kedua bahu Zulfa lembut dan menatap gadis itu dalam. Zulfa membalas tatapan tersebut dengan tajam. Perlahan, ia mulai tenggelam di dalam netra hazel itu. Zulfa bahkan tak menyadari bahwa kepala Noah sudah semakin mendekat.

Noah masih menatap netra coklat gelap milik Zulfa lembut. Gerakan kepalanya terhenti tepat 1 cm di depan wajah Zulfa. Hidungnya menyentuh hidung Zulfa. Embusan napasnya menerpa wajah Zulfa dengan lembut. Zulfa mengerjapkan kedua matanya sembari berusaha mencerna apa yang tengah terjadi saat bibir lembut itu menyentuh bibirnya.

Tubuh Zulfa sekaku batu begitu ciuman itu lepas. Ia menatap kosong pada Noah yang tersenyum senang. “Mulai sekarang, kita sudah bukan pasangan sandiwara lagi,” ucapnya seraya berjalan menjauh. Meninggalkan Zulfa dengan jantung yang berpacu cepat.

Zulfa memegang dadanya. Ia bisa merasakan jantungnya bekerja ekstra. Tangannya meremas dada atas kirinya kuat. Kakinya melemas hingga ia jatuh terduduk di atas rumput.


[bersambung]

0 comments:

Posting Komentar