“Kei?” panggil Raka sembari melambaikan kedua tangannya di depan wajah Keira. Kening pemuda itu berkerut tak suka. Keira selalu seperti ini. Setiap kali mereka berbicara, Keira akan selalu terjun ke dunianya sendiri dan tak acuh lagi padanya.
Raka menjentikkan jarinya dengan keras dan cepat beberapa
kali di depan wajah Keira. Akan tetapi, gadis itu masih bergeming di
hadapannya. Pandangan matanya kosong terarah lurus ke depan. Tak mendapat hasil
apapun dari jentikan jarinya, Raka menepuk kedua telapak tangannya keras di
depan wajah Keira hingga gadis itu terlonjak dari tempatnya. Bahkan hampir
terjengkang.
“Apa?” tanya gadis itu setengah linglung.
Raka menghela napas panjang. Lelah dengan keadaan ini. “Kamu
kenapa? Ada masalah? Kalau ada cerita. Jangan dipendam sendirian. Nanti
lama-lama bisa jadi penyakit, lho,” guraunya sembari tersenyum tipis.
Keira tersenyum ceria, walau senyum itu tak mencapai
matanya. Sebuah gelengan tegas ia berikan pada Raka. “Gak, aku gak ada masalah.
Kamu ada apa ngajak aku keluar?” tanyanya berusaha untuk fokus seutuhnya pada
sahabatnya itu.
Raka menghela napas panjang. Selalu seperti ini. Keira
terlalu tertutup. Ketika ada yang mencoba memasuki ruangnya, ia akan segera
membangun tembok setinggi dan setebal mungkin. Sepertinya, mereka bersahabat
hanya di mulut saja. Yang ia lihat, selama ini Keira selalu mendengarkan semua
keluh kesahnya dan selalu menenangkannya.
Hubungan mereka tak sehat. Di sisi Raka, ia hanya selalu
menerima, tanpa diberikan kesempatan untuk memberi. Dari sisi Keira, gadis itu
selalu memberi, tanpa memberikan kesempatan untuk menerima. Hubungan tersebut
sangatlah berat sebelah menurut Raka. Akan tetapi, ia akan tetap berusaha agar
Keira akan membuka hatinya hingga hubungan mereka menjadi stabil.
Sekali lagi, Raka menghela napas panjang dan langsung
ditegur oleh Keira, “Rak, gak bagus tau hela napas panjang mulu. Mitosnya bisa
memperpendek umur.”
Raka menggeleng pelan dan terkekeh. Ia mengacak rambut Keira
ringan. “Mitos aja, Kei. Dasar! Kamu tuh, simpan semua sendirian yang
memperpendek umur,” balas Raka sembari tersenyum mengejek. Ia lantas menarik
gadis itu berdiri dan menyeretnya menuju tempat parkir.
“Ayo, senang-senang! Kita teriak-teriak sampai puas,” ajak
Raka sembari menyeringai lebar.
Seulas senyum manis terbit di wajah Keira. Ia sangat
bersyukur mendapatkan teman seperti Raka. Raka selalu tahu saat dia sedang
mumet dan tanpa bertanya pemuda itu tau harus melakukan apa. Baginya, Raka
adalah sahabatnya yang paling berharga.
Senyum puas tak hilang dari wajah Keira setelah menghabiskan
waktu 3 jam penuh menaiki wahana yang memacu adrenalin hingga mereka bisa
berteriak sampai puas. Tenggorokan Keira dan Raka terasa sakit lantaran terlalu
lama berteriak. Walau begitu, keduanya terlihat puas dan bahagia.
Raka memacu motornya menuju rumah Keira dengan kecepatan
sedang. Sesampainya di depan rumah Keira, Raka menghentikan motornya. Ia
menatap Keira dalam dan menghadiahi gadis itu seulas senyum.
Sedetik kemudian, senyum tersebut luntur. Mereka berdua
terlonjak akibat mendengar suara pecahan keramik yang berasal dari dalam rumah
berlantai tiga itu. Keira tersenyum tipis dan bergumam. “Harap maklum, ya. Udah
biasa, ‘kan?” gurau gadis itu lembut.
Raka mengangguk paham. Ya, suara tersebut memang sudah menjadi
makanan sehari-hari Keira seolah sudah menjadi soundtrack dalam kesehariannya. Keira menunjuk ke pintu di
belakangnya, mengisyaratkan bahwa ia akan masuk duluan. Raka mengangguk,
mempersilakan gadis itu masuk. Setelah yakin gadis itu masuk dengan selamat,
Raka menghidupkan mesin motornya dan meninggalkan keriuhan yang berasal dari
rumah tersebut.
Keira memasang wajah datar melihat kekacauan yang terjadi
saat ini. Begitu banyak barang pecah belah di mana-mana. Keramik dan kaca
bertebaran di seluruh lantai, tetapi ia tak peduli. Ia melangkahkan kakinya
dengan gontai menuju kamarnya yang ada di lantai 2. Ia bahkan tak menunjukkan
reaksi apapun saat menginjak pecahan beling tersebut. Teriakan histeris Mamanya
bahkan tak ia acuhkan.
“Kei, kaki kamu!” teriak Sofia heboh sembari mendekati putri
semata wayangnya.
Keira menoleh dan menatap Sofia datar. “Ini kan perbuatan
kalian. Kalau aku kena dan terluka berarti salah kalian. Kenapa harus heboh
seperti itu?” tanyanya tanpa emosi apapun.
Sofia yang sudah terbiasa dengan nada bicara putrinya itu
hanya bisa menatap putrinya menyesal. Ia tak bisa membantah perkataan putrinya.
Hanya diam yang menyambut tanya Keira hingga ia pun memilih melanjutkan
perjalanannya menuju kamar.
Di dalam kamar, Keira langsung merebahkan tubuhnya di atas
kasur. Ia menutupi matanya dengan lengan. Sebuah helaan napas panjang meluncur
dari bibir tipisnya. Ia lelah, sungguh lelah. Ia tertekan karena kelakuan orang
tuanya. Akan tetapi, sepertinya orang tuanya tak tahu dan tak akan pernah tahu.
Ia lantas menyambar ponselnya dan langsung melakukan panggilan cepat nomer satu—nomor
telepon Raka.
“Kenapa, Kei? Mau keluar lagi?” sambut Raka begitu telepon
tersambung.
Keira menggeleng pelan. Beberapa detik berlalu, ia sadar
Raka tak bisa melihatnya. “Gak. Aku hanya ingin bilang makasih. Kamu teman yang
paling baik untuk aku yang buruk ini. Kamu tau gak? Kadang aku merasa malu
karena hanya menerima hal baik dari kamu dan tak bisa memberikan hal baik
apapun. Aku sungguh berterima kasih. Sungguh. Kamu yang terbaik. Terima kasih
untuk semuanya. Aku sayang sama kamu,” ucapnya dalam satu tarikan napas.
Raka terkekeh. “Justru kamu teman yang paling baik. Kamu
selalu menjadi kuping untukku. Aku malah merasa aku bukan teman yang baik
karena tak bisa menjadi kuping yang baik untukmu. Kamu selalu memberi saran
untuk semua masalahku. Kamu juga selalu ada untukku. Bagiku, itu sudah cukup.
Bahkan lebih dari cukup. Sangat amat cukup. Aku juga sayang kamu, Kei,” balas
Raka dari ujung sana.
Sebulir bening kristal meluncur dari sudut mata Keira. Ia
terisak, tak menyangka bahwa di mata Raka ia juga sahabat yang berharga. Ia
sangat bersyukur dan berterima kasih karenanya. Keira merasa itu sudah cukup.
Mengetahui bahwa ada satu orang yang menyayanginya itu sudah cukup untuknya
melanjutkan hidup yang melelahkan ini.
0 comments:
Posting Komentar