Day18 of 30DJC

 

Sebuah pulpen dan beberapa lembar kertas jatuh tepat di hadapanku. Aku pun berencana mendongakkan kepala untuk mencari tahu dari mana asal barang-barang tersebut. Ternyata, belum sempat kulakukan, suara tersebut telah mengumumkan alasan benda-benda itu hinggap di depanku.

“Bantuin aku tulis surat, dong,” pinta sebuah suara lembut nan manis. Tanpa mendongak pun, aku tahu siapa dia. Sebuah helaan napas panjang lolos begitu saja dari bibirku.

Aku mengontrol ekspresi wajahku agar terlihat malas-malasan terlebih dahulu sebelum mendongak. “Tulis surat apa? Untuk siapa?”

Sebuah senyum manis terukir di wajah cantiknya. “Buat aku.”

Sontak dahiku berkerut dalam. Sepertinya gadis ini sudah sinting. Buat apa dia meminta bantuanku untuk menulis surat untuk dirinya sendiri.

“Aku gak sinting! Sembarangan!” keluhnya kelas.

Oh! Sepertinya aku menyuarakannya dengan keras.

“Bukan, tampangmu yang bilang begitu,” jelasnya tanpa kuminta. Aku bahkan tak mengatakan atau melakukan apapun. Apakah ia bisa membaca pikiranku? Hebat sekali. Sekaligus mengerikan.

“Aku gak bisa baca pikiran. Semuanya tercetak jelas dari mimik wajahmu. Dasar menyebalkan! Berhenti berpikir yang aneh-aneh. Bantu saja aku tulis surat untuk diriku sendiri,” omelnya gemas.

Ah! Ternyata seperti itu. Apakah mimikku terlalu jelas? Entahlah, aku tak tahu bagaimana mimikku sekarang ini. Akan tetapi, mungkin saja aku menunjukkannya sejelas itu tanpa kusadari. Sudahlah! Sebaiknya aku singkirkan dulu pemikiranku yang tak berguna ini dan fokus padanya sebelum ia menyemburkan api dari mulutnya. “Kenapa buat diri sendiri?” tanyaku pada akhirnya setelah tak tahan ditatap tajam olehnya.

Ia menggigit pantat pulpennya sembari menatap ke atas. “Kenapa, ya?” gumamnya pelan pada dirinya sendiri. Sesaat kemudian, ia tersenyum riang dan menatapku dengan mata polosnya yang berbinar. “Pengen aja. Aku pengen nulis surat buat aku di masa lalu biar aku yang di masa sekarang merasa lebih baik. Selain itu, aku ingin mengurangi rasa bersalahku pada diriku sendiri,” ocehnya riang.

Sesaat kemudian, mimiknya berubah galak. “Kenapa? Kamu mau bilang aku gila lagi?” cecarnya kesal.

Aku segera menggeleng. Kemudian menatapnya penuh pertimbangan. Ia pun balas menatapku balik dengan penuh pertimbangan. Firasatku tak enak saat melihat senyum puas mengembang di wajahnya.

“Kamu juga ikut tulis sini,” ucapku menyuarakan pemikiran jelekku dengan jelas. Ingin rasanya aku menggeleng, tetapi begitu melihat tatapan memaksanya. Aku tahu bahwa aku sudah kalah. Aku pun menerima kertas tersebut dalam diam. Kuintip dia yang sudah mulai fokus pada suratnya. Sementara aku masih tak tahu apa yang harus kulakukan.

Kubolak-balik kertas tersebut tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Namun saat aku menyontek sedikit isi miliknya, apalagi melihat senyum tulusnya. Sebuah perasaan menggelitik perutku. Sepertinya menyenangkan. Maka aku pun mulai merangkai huruf demi huruf di kertas putih itu.

 

Dear me,

Hai! Kamu  apa kabar? Apa kamu baik-baik saja saat ini? Ah! Sepertinya ini terlalu basi, ya? Maaf. Padahal seharusnya aku tahu kabar pasti kamu bagaimana. Maaf, tapi aku sama sekali tak tau.

Hei! Apa kamu bahagia saat itu? Pasti sangat bahagia, ya? Walau perjalanan hidupmu mungkin tak selancar yang lainnya. Tapi aku yakin kamu bahagia. Karena aku pun begitu di sini.

Hei! Ayo kita lupakan semua dan bersenang-senang saja sekarang. Jangan menyesali yang sudah terjadi. Ayo bantu aku berjuang agar menjadi lebih baik.

Ah! Aku juga ingin berterima kasih padamu. Jika saja dulu kamu menyerah, mungkin saja tak ada aku yang sekarang. Terima kasih karena tak menyerah pada keadaan dan selalu maju apapun yang terjadi. Aku tahu bahwa kerikil saat itu sangatlah tajam, begitu pun kerikil yang ada di saat ini maupun masa depan. Jadi, maukah kamu membantuku melewatinya? Aku yakin kamu bisa karena kamu sudah pernah melewatinya.

Kumohon, bantulah aku melewati ini agar kamu, aku, dan masa depan kita bisa melewatinya dengan baik. Tanpa kamu, aku bukan siapa-siapa. Terima kasih dan maaf jika aku menyusahkanmu di masa lalu.

 

Love.

2 komentar:

  1. Kak Ael semmangattttttttt, jangan sad. Makin G elitz gitu lohhhhhh. Udah berjuang sejauh ini, berarti Kak Ael terdabes ☺☺

    BalasHapus