Day17 of 30DJC

 

“Hal apa yang membuatmu bangga?” tanya seseorang padaku.

Aku terdiam dan menatapnya penuh tanya. Lalu sebuah gelengan kuhadiahkan padanya. “Tak ada. Tak ada yang bisa kubanggakan dalam hidup ini … kurasa.”

Orang itu terdiam. Entah paham maksudku atau tidak, aku tak tahu. Aku menatap wajahnya yang terlihat tenang dan berucap pelan, “Aku belum mencapai apapun yang bisa dibanggakan ke khalayak umum. Jadi, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu barusan.”

Orang tersebut terdiam. Sedetik kemudian mengangguk paham. Seulas senyum ia hadiahkan padaku dan segera saja kubalas demi kesopanan. Ia mengusap dagunya pelan dengan ibu jarinya dan berdeham beberapa kali.

“Lalu, bagaimana jika aku mengganti pertanyaanku?” tanyanya dengan senyum misterius, “apakah kamu masih saja bisa menjawab tidak ada?”

Aku terdiam. Merenungi apa maksud dari pertanyaannya. Pertanyaannya tak bisa kutebak, maka aku pun tak bisa memberikan jawaban pasti padanya. “Tergantung,” balasku tenang pada akhirnya. Ya, hanya itu yang bisa keberikan sebagai jawaban. Semuanya tergantung apa pertanyaannya. Baru bisa  aku memutuskan jawaban apa yang bisa kuberikan, ‘kan?

Dia mengulas senyum tipis. Matanya menyipit menatapku seolah tengah berusaha membaca pikiranku. Entahlah, aku tak begitu tertarik. “Tergantung? Maksudmu?” tanyanya dengan nada heran yang dibuat-buat. Aku yakin sekali ia tahu apa maksud dari jawabanku barusan. Ia hanya ingin mempermainkanku dengan pertanyaannya saja.

Aku mengangguk mantap demi meladeninya. “Ya, tergantung apa pertanyaanmu. Jika memang pertanyaan yang kamu ajukan hanya bisa kuberikan jawaban tidak, aku akan menjawabnya dengan tidak. Namun, jika ada, aku akan menjawabmu ada. Sesimpel itu dan tak ada maksud lainnya.”

Tawanya mengalun lembut membelai telingaku hangat. Ia mengangguk-angguk seolah sangat puas dengan pernyataanku barusan. “Baiklah,”—Ia menepuk tangannya sekali lumayan keras hingga membuatku sedikit kaget—“Bagaimana jika pertanyaannya aku ganti menjadi apa yang membuatmu bahagia?”

Kini gantian aku yang tertawa hingga membuat keningnya berkerut samar. Mimiknya menunjukkan ketidakpercayaan dan ketidaksukaannya dengan jelas. “Jangan bilang jawabannya tak ada!” tuduhnya kesal.

Aku yang tak menyangka akan mendapatkan serangan seperti itu pun hanya bisa terdiam.

“Kamu tak boleh hidup seperti itu! Kamu tahu tidak? Kalau mencari kebahagian itu sangatlah mudah. Kenapa kamu hidup seperti itu? Hidupmu sungguh suram. Semua orang bisa bahagia dan berhak untuk bahagia, kenapa kamu malah menyiksa diri kamu sendiri seperti orang bodoh? Hah?!” Tangannya terangkat tinggi mungkin saja untuk melayangkan pukulan pada orang bodoh sepertiku ini.

 

Aku segera mengangkat kedua tanganku tanda menyerah. “Wah! Wah! Wah! Sabar dulu! Kamu belum mendengar jawabanku, ‘kan? Kenapa kamu mengambil kesimpulan secepat itu? Tenanglah. Ada! Ada hal yang membuatku berbahagia.”

Mendengar jawabanku, ia menghela napas lega. Ia kemudian menatapku tajam, tatapan yang menuntut jawaban yang harus memuaskan dahaga penasarannya.

Aku menarik napas panjang dan mulai bercerita, “Hal yang membuatku bahagia sederhana saja. Jika aku bisa melihat kedua orang tuaku puas dengan hasil kerjaku, aku akan merasa bahagia. Jika aku bisa membelikan makanan untuk kedua orang tuaku dari hasil kerjaku, aku pun akan merasakan bahagia. Ah, kalau makanan … tentu saja bukan hanya untuk kedua orang tuaku saja. Tetapi untuk keluarga kecilku, mama, papa, kakak, dan adik. Jika aku mendapatkan gaji di akhir bulan, aku pun merasa senang karena hasil kerja kerasku sudah keluar. Lalu, ketika aku bisa memberikan kepada orang yang membutuhkan dan orang tersebut senang dengan uluran tanganku, aku pun ikut merasakan kebahagiannya.”

“Ah! Benar. Kamu harus hidup seperti itu. Lalu, cobalah pikirkan sesuatu yang bisa membuatmu merasa bangga pada dirimu sendiri. Sekecil apapun itu, untuk dirimu sendiri,” ucapnya sembari mengangguk puas.

Aku terdiam. Kira-kira apa yang bisa membuatku bangga? Hmm? Ah, sepertinya ada.

“Sepertinya kamu sudah mendapatkan jawabannya, ya?” tanyanya sambil tersenyum senang. Senyum yang menular padaku tanpa bisa kucegah. Aku pun hanya bisa mengangguk pelan menjawab pertanyaannya.

Sebelum ia bertanya dengan nada menyebalkan, aku segera memotongnya. “Jika aku bisa menyelesaikan sesuatu yang aku mulai. Ada sedikit rasa bangga pada diriku sendiri karena sudah berhasil melewatinya. Lalu, saat aku berhasil membeli sesuatu yang aku idam-idamkan, juga ada sedikit rasa bangga pada diriku ini.”

Sebuah senyum puas terlukis di wajahnya yang tenang. “Bagus! Hiduplah seperti itu. Banggalah pada dirimu sendiri saat kamu berhasil mencapai sesuatu yang tengah kamu kerjakan. Dan berbahagialah ketika kamu bisa melakukan sesuatu yang kamu suka.”

 

#30daysjournalingchallenge
#day17

0 comments:

Posting Komentar