Sebuah tepukan pelan kurasakan di pundakku hingga membuatku terlompat dari dudukku. Meski pelan tepukan itu berhasil menarikku dari duniaku sendiri kembali ke dunia nyata. Belum sempat aku menoleh, dia sudah berjalan ke hadapanku dan duduk di depanku.
Senyum manisnya terkembang dan menular padaku tanpa bisa dicegah. "Sedang bersedih," komentarnya lesu, nada yang ia gunakan juga sedikit aneh—antara bertanya atau menyampaikan.
Sebelah alisku naik lantaran tak paham maksud perkataannya. Siapa yang tengah bersedih di sini? Aku? Atau dia? Apakah ia tengah bertanya padaku atau dia mengumumkan ia tengah bersedih? Dasar orang aneh! Seharusnya aku abaikan saja ia daripada membuatku pusing tujuh keliling seperti ini.
“Aku,” teriaknya kesal. Aku yang kaget pun menoleh dan menatapnya aneh. Ia membalas tatapanku dengan tajam. Napasnya memburu dan wajahnya mulai memerah.
Oh! Ow! Aku sudah membangunkan macan tidur rupanya. Sebelum ia memuntahkan rentetan peluru penuh amarah, aku segera kabur ke dapur, menuang segelas air putih dingin dan kembali ke hadapannya. Berlagak tenang dan tak terpengaruh sedikitpun oleh emosinya.
“Minum dulu.” Kusodorkan minuman tersebut dan dihabiskannya dalam sekali teguk. Aku menatapnya dengan perasaan sedikit ngeri saat melihatnnya mencengkram gelas dengan kuat. Amarah di dalam matanya masih membara panas. Sementara ia sudah terlihat sedikit tenang.
“Sudah tenang?” tanyaku pelan membuatnya mengangguk pelan. “Apa yang membuatmu begitu marah? Hmm?” lanjutku lagi sembari duduk di hapadannya dengan tenang.
“Aku kesal,” geramnya. Tangannya mengepal dengan kuat. Ia menatapku dengan wajah serius. “Coba katakan, di mana salahku?” tanyanya membuatku menyerngit bingung.
“Coba jelaskan dulu duduk permasalahannya dengan jelas. Dan secara singkat dan padat. Agar aku bisa menjawab pertanyaanmu barusan,” pintaku mencoba tetap tenang.
Ia menghembuskan napas kesal. Tatapan tajam itu ia arahkan ke arah pintu. Aku yakin sekali, jika ia bisa tatapan matanya bisa mengeluarkan laser, pintu tersebut pasti sudah terbelah dua sekarang.
“Sudahlah! Kamu juga tak akan mengerti kalau aku ceritakan,” kesalnya. Ia lalu menghembuskan napas pasrah.
Demi apa? Gadis ini! Benar-benar! Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Rasanya ingin sekali aku menempeleng kepala gadis menyebalkan ini. Bukan hanya itu saja, aku pun amat sangat ingin melemparkan amarahku dalam bentuk rentetan kata-kata. Akan tetapi, apa daya jika tak ada kosa kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hatiku saat ini. Ah! Dasar menyebalkan!
“Pulang saja sana!” ucapnya tiba-tiba dengan nada sedikit tinggi.
Apa lagi ini? Kenapa malah dia yang mengusirku dari rumahku sendiri? Dasar gadis kurang ajar yang tak tahu diuntung. Apa sebaiknya aku pukul saja kepalanya? Eh, tunggu dulu. Dari mana dia tahu aku ingin sekali mengusir dirinya? Aku kan tak pernah menyuarakannya dengan lantang.
“Ekspresi wajahmu. Semuanya tertulis dengan jelas. Bahkan saat ini pun begitu. Amat. Sangat. Jelas,” ucapnya tenang sembari terkikik pelan.
“Kalau sudah tahu pergi sana saja. Untuk apa masih di sini?” Aku bangkit dari kursiku dan meninggalkannya menuju ruang pribadiku. Aku sudah capai berurusan dengannya. Aku tak ingin berurusan dengannya lagi—setidaknya untuk hari ini.
“Gak mau!” ucapnya tegas memaksaku memutar badan dan berbalik menatapnya dengan alis terangkat.
“Aku ke sini untuk mencari penghiburan,” jelasnya membuatku semakin jengkel.
“Apa? Memangnya kamu kira aku ini badut?” tanyaku tanpa berusaha menutupi nada jengkelku. Aku berjalan cepat ke arahnya dan menatapnya tajam. Hatiku memerintahku untuk melayangkan sebuah pukulan pada gadis itu, tetapi otakku melarangnya.
Ya, sabar, sabar. Kamu harus sabar menghadapi orang gila. Tak akan ada untungnya juga kalau kamu emosi menghadapinya. Hanya akan merugikan dirimu saja. Sabar! Sabar!
Ia tersenyum senang. “Sudah kuduga. Reaksimu yang menyegarkan itu dapat menghiburku. Bukan hanya sedikit, tetapi banyak. Terima kasih, ya. Aku menyayangimu.” Sebuah kekehan kecil ia keluarkan dan entah mengapa mendengar ucapan terima kasihnya membuat semua amarahku lenyap tak bersisa.
“Hei! Aku mau tanya dong,” ucapnya tiba-tiba setelah kami berdiam diri cukup lama. Aku juga sudah tak kesal lagi dengannya. Selain itu, ia juga sudah kembali ke mood baiknya. Menanggapi pertanyaannya aku hanya bisa mengangguk pelan sembari menaikkan sebelah alis.
“Siapa orang yang bisa membuatmu termotivasi untuk bangkit kembali ketika kamu merasa jatuh?” tanyanya membuatku tersedak ludahku sendiri. Hah! Pertanyaan aneh macam apa lagi ini? Aku menggelengkan kepala tak percaya. Tanpa bisa kucegah, sebuah kekehan geli meluncur bebas dari bibirku.
“Kenapa ketawa?” tanyanya bingung.
Aku berusaha menghentikan tawaku dengan menahan napas selama beberapa detik. Kemudian, sebuah gelengan aku berikan untuknya. “Tidak, tak apa. Hanya perntanyaan kamu terdengar aneh.”
Dia menggebrak meja kesal. Tatapan tajamnya menembus mataku tanpa bisa kucegah. “Jawab aja pertanyaanku yang aneh ini. Tak usah kamu tertawakan.”
“Baik. Baik.” Aku menganggukkan kepala tanda mengerti. “Hmm ….” Aku mengusap daguku sembari menyelam ke dalam kedalaman otakku. Mencari data tentang siapa orang yang bisa memotivasiku. “Hmm … sepertinya kisah seorang artis. Atau bisa juga kisah seorang tokoh dalam sebuah novel atau komik. Motivasi bisa didapat dari siapa saja. Tidak perlu satu orang khusus kurasa.”
Kutolehkan kepalaku hanya demi menatap tatapan tak percayanya. Ah! Sungguh! Dasar! Jika tak percaya, buat apa dia bertanya coba? Mengesalkan sekali. “Apa?” semburku galak.
Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali dengan kuat. Mungkin berusaha menyingkirkan ketidakpercayaannya atau menyingkirkan pertanyaan bodoh nan aneh dari otaknya.
“Tidak. Hanya tak bisa dipercaya saja,” gumamnya pelan. Ia menatapku dengan pandangan penuh tanya membuat hatiku kembali menjadi risau. Entah apa lagi kali ini. Aku sudah tak ingin menebaknya lagi. Terserah padanya sajalah.
“Lalu, apa ada benda yang memotivasi dirimu? Bukan harus yang benar-benar benda juga, sih,” tanyanya lagi.
Ah! Ternyata kali ini pertanyaannya tak jauh lebih aneh daripada yang tadi. “Lagu,” jawabku dengan tegas. Tentu saja. Dengan mendengarkan lirik lagu yang pas, aku bisa menjadi termotivasi kembali. Bisa bangkit kembali walaupun dalam keadaan berdarah-darah dan penuh dengan luka. Sahabat terbaik yang pernah ada di dunia ini kan hanya lagu.
Ia terdiam dan mengangguk setuju dengan jawaban singkatku. Ia tersenyum dan menyampirkan tas selempangnya. Kemudian, pergi dengan wajah riang. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, aku tak tahu. Namun, satu hal yang aku tahu dengan pasti bahwa aku lega atas kepergiannya ini.
#30daysjournalingchallenge
#day19
0 comments:
Posting Komentar