Deringan ponsel membuat fokusku
buyar seketika. Aku pun menyentuh tombol hijau yang ada di layar ponselku—tepat
di bawah sederetan angka nomor tak dikenal.
“Ya? Halo!” ucapku pelan, merasa
tak enak karena takut mengganggu seisi angkutan umum yang sedang aku naiki.
“Halo, Mbak. Saya dari tiki, mau
tanya ini alamat tepatnya di mana, ya?” tanya suara berat di ujung sana.
Aku menarik napas sebal. Selalu
seperti ini, saat ditunggu, paketnya tak datang. Saat aku keluar, paketnya baru
datang. “Mas sekarang posisinya ada di mana?” tanyaku dengan suara setenang
yang aku bisa.
Terdapat jeda selama beberapa saat
sebelum si kurir menjawab dengan suara bingung. “Saya ini lagi di jalan
tembaga. Di samping-sampingnya ada rumah, Mbak. Dari kayu,” jelasnya membuatku
dongkol setengah mati.
Aku menarik napas panjang dan
mengembuskannya secara perlahan. “Mas, di sana rumahnya dari kayu semua. Maksud
saya, di sekitar Mas ada apa aja sekarang?”
Walau aku tak melihatnya, aku
yakin saat ini ia sedang tersenyum malu sembari melihat-lihat sekeliling dengan
saksama. Tak lama, ia menjawab, “Di sini ada rumah makan, Mbak. Rumah Mbak yang
mana, ya?”
Aku pun menepuk jidat gemas.
Padahal, sudah kutambahkan catatan khusus di alamatnya kalau rumahku dekat
dengan puskesmas—hanya berjarak 2 rumah saja. Namun, tempat yang sekarang
didatangi oleh kurir itu sudah melewati rumahku cukup jauh.
“Sekarang Mas putar balik,”
pintaku sembari menunggunya putar balik. Lalu, aku pun melanjutkan, “Nah, Mas
jalan lurus aja. Tadi waktu Mas ke arah sana, Mas lihat ada puskesmas gak?”
Kurir itu terdiam sejenak sebelum
menjawab, “Ada, Mbak. Ada.”
Aku pun bisa tersenyum lega
mendengarnya. Ternyata ia memperhatikan sekitarnya juga. “Nah, rumah saya
berarti kalau dari arah Mas sekarang, 2 rumah setelah puskesmas itu. Yang
bagian halamannya luas dan terasnya pakai keramik,” jelasku.
“Oh, iya, Mbak. Baik,” balasnya
sopan.
Sebelum ia memutuskan sambungan,
buru-buru aku menyelanya. “Mas, sekarang saya gak di rumah. Mas tunggu
sebentar, ya. Biar saya minta ibu saya untuk keluar dan terima paketnya.” Aku
pun memutus sambungan saat ia mengatakan ‘iya’.
Aku langsung mendial nomor Mama
dan menunggu hingga dering ketiga. Lalu, suara Mama pun terdengar, “Halo?”
“Ma, Mama lagi di mana sekarang?”
tanyaku tanpa mengucapkan salam lagi.
“Mama lagi di rumah temen. Ini
siapa, ya?”
Gubrak! Hampir saja ponselku
terlepas dari genggaman. Bisa-bisanya mama menjawab seperti itu padaku!
Keterlaluan! Padahal anak mama cuma tiga. Dan Mama masih bisa bertanya ini
siapa padaku yang sudah jelas-jelas memanggilnya ‘Mama’?
“Ini aku, Ma. Anak mama, masa
Mama tanya ini siapa, sih?” sungutku sebal. Namun, bukan itu yang penting
sekarang. Aku harus mengutarakan maksudku secepat mungkin karena pasti kurir
tersebut sudah menunggu di depan pintu. “Ma, aku beli barang. Itu Mas kurirnya
udah di depan, ya. Mama tolong ambilin, dong. Makasih, Ma.”
Aku langsung memutuskan sambungan
sebelum nyonya besarku marah-marah. Beliau sangat tak suka bila aku belanja
online. Hari ini pasti hari sialku karena ketahuan belanja online oleh Mama.
#jurnalhydramate
#jurnal_hm_januari
#jurnal_hm_minggu_ke4
0 comments:
Posting Komentar