Day 8 - Saat Tersulit

"Kak, aku lapar," rengek adikku sambil menatap memohon padaku.

 

Aku tahu. Aku juga lapar. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? Kita memang tak memiliki persediaan makanan sama sekali. Mama dan Papa sedang mengalami kesulitan uang. Sudah beberapa minggu terakhir ini kami harus mengikat perut erat-erat.

 

Ini semua berawal dari kedatangan tiba-tiba seorang pria kasar untuk mengambil mobil yang biasa Mama gunakan untuk usaha kecilnya. Aku saat itu—bahkan sampai saat ini—tak mengerti sama sekali sebenarnya apa yang tengah terjadi. Yang kutahu hanyalah keadaan ekonomi kami sedang sulit.

 

“Kamu makan ini aja, Dek.” Ana menyodorkan sebungkus roti membuatku menatapnya dengan kening berkerut. Ana yang mengerti kebingunganku pun menjawab sekedarnya, “Tadi aku beli. Pake uang tabungan aku.”

 

Ya, mengorek tabungan bukan lagi hal yang aneh untuk kami berdua. Keadaan ini sudah berlangsung selama tiga minggu, makanya aku sudah tak kaget lagi. Akan tetapi, mau sampai kapan? Tabungan dari hasil mengumpulkan uang jajan yang tak seberapa pun sudah mulai menipis.

 

“Kalau nanti tiba-tiba mau beli buku atau keperluan praktik gimana?” Membeli keperluan praktik di sekolah kami adalah hal yang lumrah. Walau kami masih kelas 4 SD, tetapi terkadang kami melakukan praktik.

 

Ana mengangkat bahunya tanda tak tahu. “Itu masih belum pasti. Kalau emang perlu, nanti baru pikirin lagi aja. Yang penting kan sekarang, bukan nanti,” jelasnya membuatku mengangguk-anguk. Benar katanya, lagipula kita hidup sekarang, bukan nanti. Jadi, tentu saja saat ini lebih penting daripada nanti yang masih tak jelas.

 

“Dek, sini, makan,” titah Mama membuat kami serentak berjalan menuju ruang makan. “Maaf, ya, cuma ada nasi keras sama mie instan kuah,” lanjut Mama tersenyum sendu.

 

“Gak apa, kok, Ma. Lagian ini enak.” Aku menggeleng pelan seraya menyeruput kuah mie dan melahap nasi keras itu. “Terus kalau pakai kuah, nasinya jadi gak keras lagi,” jelasku seraya melahap sesuap nasi lagi.  

 

 “Mama berencana jual rumah ini. Gak apa, ‘kan?” tanya Mama tiba-tiba.

 

“Jual aja, Ma. Gak apa, kok. Lagian rumahnya ‘kan emang terlalu besar buat lima orang. Kita bisa pindah ke rumah yang lebih kecil kayak rumah nenek,” dukungku setelah sempat terdiam selama beberapa detik untuk mencerna pertanyaan Mama. Aku menatap Ana yang mengangguk setuju.

 

“Bener, Ma. Jual aja,” dukungnya juga seraya tersenyum.

 

Mama tersenyum sendu. Aku mengerti, pasti sedih menjual rumah sendiri setelah bertahun-tahun berusaha membelinya. Kalau saja itu aku, aku pun pasti tak akan rela. Namun, untuk saat ini kita memang tak punya pilihan lain. Mama mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. Walau senyum manis menghiasi wajahnya, di kedua pipinya terdapat sungai kecil yang mengalir deras.

 

“Maaf, ya, Sayang. Nanti kalau usaha Mama sama Papa udah kembali seperti semula, kita beli rumah yang lebih bagus lagi, ya?” janjinya membuat kami hanya mengangguk patuh.

 

“Kenapa, ya? Orang yang katanya temen itu malah nusuk Mama dari belakang? Kenapa dia limpahin semua utang dia ke Mama dan kabur? Kenapa dia jahat banget?” celutuk Ana.

 

Mama mengelus puncak kepala Ara penuh sayang. “Biarkan saja, Sayang. Gak apa, kok. Yang penting sekarang kita masih sama-sama, ‘kan? Kita pasti bisa lewatin ini semua.”

 

***

 

Satu minggu berlalu sejak hari itu, kami pun benar-benar pindah di rumah yang baru. Rumah yang dikontrak oleh Mama menggunakan sebagian uang hasil menjual rumah yang lama.

 

“Kalian suka?” tanya Mama saat kami sedang membereskan kamar.

 

Ana mengangguk pelan. “Suka. Terus ini juga dekat sama rumah nenek. Jadi, lebih enak,” balasnya seraya mengulas sebuah senyum.

 

Benar katanya, tak sepenuhnya bohong. Walau rumah ini jauh lebih kecil dan bukan rumah sendiri. Rumah ini nyaman untuk ditinggali. Dan juga, dekat dengan rumah nenek.

2 komentar:

  1. Hayooooo, keceplosan tuh. Nulisnya Ara 😁😁😁 Btw, dunia sudah jauh lebih baik Kak. Eh, ga tahu sudah atau belum, yg penting masa itu akan menjadi kenangan manis karena mampu telewati dan sudah sampai di titik yang sekarang. Kalian hebat.

    Tapi boong 😛😛😛

    Eh, tapi boongnya candaan doang. Jangan timpuk saya 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. padahal saan udh diedit semua..
      ya sudahlah..
      apa boleh baut..
      dunia gak jd lbh baik, Fel..
      sama aja..
      cuma keadaan sekarang udh berubah aja

      Hapus