Ting!
Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel pintar milikku. Namun, aku tak membukanya karena tengah sibuk bermain game. Tak berapa lama, kudengar teriakan kakakku dari ruang tengah.
"Ikut, ya! Ayo, daftar bareng!"
Sontak keningku bertaut bingung. Apa maksudnya itu? Ikut apa? Daftar apa? Bukannya kita sudah mendaftarkan kuliah? Lalu apa lagi yang perlu didaftar?
"Ish ... kamu gak baca chat aku, ya?" tuduhnya dengan tampang kesal. Entah kapan dia berdiri tepat di depanku, aku tak tahu.
Aku hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. Kemudian layar laptop menjadi hitam. Aku mengangkat kepalaku dan mendapati Dinar—kakakku—tersenyum puas.
"Apa?" semburku galak. Kesal karena acara bermainku harus diganggu dengan hal tak jelas.
Dinar menyodorkan ponsel pintarnya tepat di depan wajahku hingga membuatku mundur beberapa senti. Mataku meneliti huruf demi huruf yang ditampilkan layar persegi panjang itu dengan cepat.
"Hah?! Kamu gila? Gak mau lah! Nulis juga baru beberapa kali, masa udah mau ikut lomba aja? Mana lombanya dari penerbitan lagi?" tolakku mentah-mentah setelah selesai membaca.
Di sana, terpampang pengumuman bahwa salah satu penerbitan tengah mengadakan lomba membuat cerpen dengan tema 'Topeng' dan syarat cerpen tersebut memang tak begitu sulit—hanya maksimal 750 kata saja dan tak mengandung SARA.
Akan tetapi, aku punya alasan kuat untuk menolaknya. Bisa-bisanya dia menyuruhku yang tak begitu fasih berbahasa Indonesia dan baru belajar menulis ini mengikuti lomba yang diselenggarakan penerbitan.
"Pokoknya ikut aja lah. Ya?" paksanya dengan mata berbinar. "Ini satu lagi," ucapnya enteng sembari menyerahkan ponselnya yang masih menginformasikan lomba dari penerbit yang sama dengan tema yang berbeda, yaitu 'Cinta Pertama'.
"Gila! Gak mau lah! Kalau kamu mau, kamu aja. Aku gak mau," tolakku kesekian kalinya.
Namun ternyata, bukan hanya aku yang kekeh. Dia juga tak kalah kekeh. Terbukti dengan komentarnya yang dilontarkan dengan santai, tetapi mampu memancing diriku yang pantang ditantang. "Ah, payah! Masa gitu aja gak bisa? Padahal deadline-nya masih lama. Toh, di toko juga gak gitu sibuk pas anak sekolah pada masuk. Masa gak bisa sih? Cemen banget! Ke mana ilmu kepenulisan yang kamu pelajari dua bulan terakhir ini? Lagian nih, ya. Kalau menang kan lumayan. Gak bayar juga, 'kan? Jadi gak rugi dong!"
"Oke! Dua ya! Kamu yang bilang, loh! Ayo, daftar! Aku udah dapat idenya.” Sial! Mulutku lebih cepat rupanya daripada kerja otakku. Bisa-bisanya aku masuk kembali ke dalam perangkapnya. Memang diriku ini sungguh bodoh dan hal itu sangat menyebalkan. Dan memiliki kakak yang sangat mengerti cara memancingku juga tak kalah menyebalkan.
Beberapa minggu pun berlalu, deadline dari lomba cerpen tersebut sudah di depan mata. Waktu yang ada hanya tersisa tiga hari lagi. Akan tetapi, karyaku untuk tema ‘Topeng’ masih belum bisa kurampungkan karena terkendala dengan akhir ceritanya.
“Kamu udah siap?”
Aku mendongak dan mendapati Dinar menunduk memandang layar laptop. Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. “Sisa yang ‘Topeng’, kalau yang ‘Cinta Pertama’ udah kelar dari minggu lalu. Kenapa? Kamu udah?”
Dinar mencomot keripik singkong yang menjadi teman berpikirku untuk menyelesaikan karyaku ini. Dia menggelengkan kepalanya santai dan terkekeh pelan. “Belum, tapi kayaknya malam ini bisa kelar, deh.”
Aku mengangguk paham, lalu mengabaikannya kembali. Sudah lima belas menit berlalu, tetapi tak ada tambahan huruf dalam karya yang kutulis itu. Aku pun menyerah dan memutuskan untuk mematikkan laptop saja. Lebih bagus aku menonton kartun daripada berpusing ria dengan karya yang tak jelas itu.
------
“Kamu udah kumpul belum?” tanya Dinar, tepat sebelum aku jatuh ke dalam dunia seberang.
Kumpul? Apa yang harus kukumpulkan? Data-data pendaftaran kuliah? Bukankah itu nanti di bulan September? Aku pun memutuskan untuk bertanya saja daripada berpusing sendirian. “Kumpul apa?”
Dinar bangkit dari posisi tidurannya. “Loh? Kamu lupa? Satu jam lagi deadline tau?” Melihat tampangku yang kaget dan bingung membuat Dinar berteriak histeris. “Kamu beneran lupa? Dasar! Seharusnya aku sudah tahu. Kamu memang payah!”
Aku segera melompat dari tempat tidur dan menyambar ponselku, kubuka draft tulisan yang masih belum selesai itu dan segera mengetikkan apa saja yang terlintas di dalam pikiranku. Dua puluh menit kemudian, karya akhirnya selesai juga. Aku segera mengumpulkan kedua karya dengan tema berbeda tersebut pada penanggung jawabnya masing-masing.
Beberapa minggu sudah berlalu, hari pengumuman pemenang pun tiba. Dinar terlihat begitu antusias, berbeda denganku yang bahkan sudah melupakan kedua karyaku yang lumayan kacau itu.
“Elisa! Kenapa belum mandi juga sih? Udah dipesen juga hari ini mandi cepet. Kamu kan harus temenin Papa kamu ke pesta,” omel Mama begitu masuk rumah. Didorong rasa jengkel dan malas berdebat, aku pun bergerak cepat menuju kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, aku sudah keluar dari kamar mandi dan mendapati Mama tengah memilah baju pesta.
“Aku ga mau pakai rok,” ucapku kesal saat melihat mata Mama yang berbinar menatap rok.
Mama melotot. Aku tak peduli, masih tetap kekeh pada pendirianku. Aku tak akan memakai rok. “Mama keluar saja. Aku yang pilih pakaianku sendiri. Aku pakai celana. Naik motor susah pakai rok. Untuk sepatu, Mama boleh pilih. Nanti aku juga akan bedakan.”
Mama memilih untuk keluar. Entah karena nada suaraku yang terdengar tak senang. Atau memang menyetujui usul yang kuberikan. Apapun itu, terserah saja. Aku tak begitu peduli selama tak ada pertengkaran yang melelahkan. Pergi ke pesta pernikahan seseorang sudah cukup melelahkan tanpa harus ditambah dengan perdebatan tak berarti.
Aku dan papa berangkat pukul 6 kurang. Sesampainya di sana, tak banyak hal yang istimewa. Bahkan siapa pengantinnya saja aku tak kenal. Walau kata papa yang menikah itu adalah anak dari kakaknya. Kami duduk di meja yang isinya tak kukenali sama sekali, walau mereka mengenali papa.
“Main HP aja kalau bosan,” bisik Papa di telingaku membuatku menoleh dan tersenyum senang. Papa memang yang terbaik dan selalu mengerti aku.
Tanpa rasa sungkan lagi, aku mengeluarkan ponsel dan mulai berselancar di dunia maya. Membuka ruang chat Phoenix—salah satu grup kepenulisan yang aku masuki—selalu menjadi sebuah hiburan tersendiri untukku. Tak lama setelah aku mengirim sebuah stiker ke dalam ruang chat tersebut. Sebuah notifikasi masuk, dari Dinar.
Dinar : U udh liat pengumuman?
Me : pengumuman apa?
Dinar : Lmba cerpen itu lah.
Me : Blm lah. Buat apa? G bakal menang juga.
Dinar : Payah. U msk kontributor tau, yg topeng.
Aku meninggalkan ruang chatku dengan Dinar sejenak untuk mengecek kebenaran informasi yang dia berikan barusan. Dan benar saja, namaku masuk sebagai salah satu kontributor dalam cerpen yang akan dibukukan. Tanpa sadar aku memekik senang hingga membuat seisi meja menatapku heran. Malu, aku pun segera meminta maaf. Aku pun kembali menekuri ponselku dan mencari pengumuman lomba tema ‘Cinta Pertama’.
Setelah bolak-balik menekuri daftar nama tersebut, tak ada namaku dan hanya ada nama Dinar. Perasaan senang melingkupiku. Aku tak tahu kenapa, tetapi aku memang sudah punya firasat bahwa karyaku yang bertemakan ‘Cinta Pertama’ memang tak akan menang ataupun masuk kontributor. Kembali kubuka ruang chat pribadi antara aku dan Dinar.
Me : Congrats! Msk kontributor yg Cinta Pertama, tp jangan nyerah walau g msk kontributor yang Topeng y.
Dinar : Thanks.
Cerita di atas adalah karya fiksi. Pengalaman pertama mengikuti perlombaan menulis yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku. Lomba pertama dan terakhir untukku. Omong-omong, aku mau berterima kasih pada kakakku yang sudah menerjunkan aku di dunia yang menyenangkan ini. Kuharap kamu juga akan terus tetap menulis sepertiku. Thank you.
#OneDayOnePost
#ODOP
#ODOPchallenge3
0 comments:
Posting Komentar