Ketinggalan

 “Ma, Pa, jalan-jalan, yuk!” ajak Putri sambil mengunyah nasi goreng yang telah disediakan sang mama.

Anita menatap putrinya dengan alis terangkat,begitu pulang Tomy. Tak biasanya anak gadis mereka yang malas itu mengajak mereka jalan-jalan.

“Lo kenapa, Dek? Kesambet?” tanya Angga bingung.

Putri mendelik kesal. Ia menyambar lap meja dan melemparkannya pada sang abang. “Sembarangan aja lo, Bang. Gak kesambet gue. Enak aja lo kalau ngomong.”

Angga terkekeh pelan. Ia menyesap jus jeruknya dan menatap adiknya penuh tanya. “Terus kenapa tiba-tiba orang yang doyannya nempel mulu di kasur minta jalan? Lo gak sakit keras atau apa, ‘kan?”

Sontak Anita menjewer telinga putranya gemas. Mulut Angga memang tak bisa diajak kompromi jika tengah bercanda. Sementara itu, Putri menatap Tomy memelas dan mulai mengadu, “Pa, lihat tuh si abang. Ngeselin banget masa.”

“Abang! Gak boleh gitu sama adeknya,” tegur Tomy tenang sambil menyesap jus jeruknya. Kemudian, matanya beralih menatap Putri. “Kamu mau ke mana memangnya, Dek?” tanyanya.

Senyum cerah melekat di wajah Putri. Ia pun berseru senang, “Yeay! Papa emang yang terbaik, deh! Putri sayang papa.” Putri segera berlari menuju Tomy dan mengecup pipinya cepat. Tangannya melingkar di sekitar pundak Tomy dengan santai.

“Papa gak percaya, ah. Habis kamu ngomong sayangnya cuma ada maunya aja,” ledek Tomy pada Putri yang langsung menggeleng dengan semangat.

“Gak, kok! Putri gak gitu. Putri kan sayang sama papa tiap hari,” jelas Putri cepat.

Anita bersedekap dan menatap putrinya cemburu. “Papanya aja nih yang disayang? Mamanya gak?”

Putri dengan cepat berjalan dan memeluk sang mama dan tersenyum manja. “Sayang mama juga dong. Masa gak?” Putri mengecup pipi Anita berulang kali, saat dilihatnya Angga menatapnya datar. Ia langsung membuka suara, “Sama Abang gak. Abang ngeselin. Suka gangguin Putri. Jadi Putri gak sayang Abang.”

Gelak tawa memenuhi ruang makan di pagi itu. Mereka memutuskan untuk berlibur ke daerah Berastagi dan menginap selama satu malam. Mereka berempat akan berangkat di pagi hari akhir minggu ini.

Pada Jumat malam itu, saat mereka berkumpul di ruang tamu. Anita yang tengah mengupas buah apel untuk keluarganya memandang kedua buah hatinya lembut. “Barang-barang yang harus kalian bawa besok, udah disiapkan?”

“Udah dong, Ma,” balas Putri semangat sembari memasukkan sepotong apel ke dalam mulutnya.

Angga mengangguk pelan. “Udah, Ma. Besok berangkat jam berapa?”

Anita mengerling pada Tomy yang segera menelan apelnya. “Besok sekitar jam dua lewat aja, ya. Kan Papa pulang kerja jam 1 dan adek pulang sekolah jam 12, ‘kan?”

Angga mengangguk mengiakan, lalu memasukkan sepotong apel ke dalam mulutnya. “Oke, deh. Ma, besok pagi aku mau ke kampus bentar, ya. Mau cari dosen.”

“Oke. Baliknya jangan lama-lama ya, Bang. Biar gak ketinggalan kamunya.” Anita meletakkan pisaunya dan mulai memasukkan sepotong apel ke dalam mulutnya.

Angga bangkit dari duduknya dan mencuci tangan. Sebelum masuk ke dalam kamarnya, ia pamit pada orang tuanya terlebih dahulu. “Ma, Pa, aku tidur dulu, ya.”

****

“Loh? Ma? Adek mana? Belum kelar siap-siapnya?” tanya Tomy begitu sampai di rumah pukul 13.25.

Anita menatap Tomy gelisah. “Gak tau nih, Pa. Belum pulang dari tadi. Padahal harusnya kan udah sampe rumah dari satu jam yang lalu. Ke mana ya itu anak?” Anita meremas kedua tangannya dengan cemas.

“Kita tunggu dulu aja, Ma. Ini Angga juga sambil telepon ke ponselnya dia kok. Nyambung, tapi belum diangkat.” Angga berusaha menenangkan Anita sembari mendial nomer ponsel adiknya itu.

“Kalau gitu Papa mandi dulu, ya. Abang, kalau setengah jam lagi adik kamu belum sampe rumah. Kamu coba ke sekolahnya cari, ya,” pinta Tomy, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

Tak sampai setengah jam berlalu, terdengar teriakan menyesal milik Putri. “Mama … maaf. Tadi mendadak ada tugas kelompok. Jadi harus dikerjakan dulu. Putri mau mandi dulu, ya.”

Angga yang tadinya hendak mengambil kunci motor untuk mencari adiknya itu sontak menghela napas lega mendengarnya. “Untung aja lo balik sekarang. Gue udah mau lapor anak hilang nih ke kantor polisi,” canda Angga membuat Putri menginjak kakinya kesal.

“Sudah, ‘kan? Gak ada yang ketinggalan?” tanya Tomy sembar memasang seatbelt-nya. Ia melirik ke belakang lewat kaca spion dan menatap puas pada barang bawaan mereka. Ada dua buah ransel besar yang berisikan baju mereka berempat dan juga ada satu buah kotak styrofoam yang berisikan ikan dan ayam yang telah dilumuri bumbu—siap panggang.

“Gak ada kok, Pa. Jalan aja,” balas Angga santai sembari men-scroll layar smartphone-nya.

Setelah mobil keluar dari komplek perumahan. Tomy mengintip ke belakang lewat kaca spionnya dan bertanya, “Dek? Kamu yang ngajak jalan kok malah diam?”

Selang satu menit, tak ada jawaban dari yang bersangkutan hingga membuat seisi mobil merasa aneh. Tomy segera menghentikan mobilnya dan memutar kepalanya menghadap belakang. “Loh? Adek mana, Bang?”

“Waduh! Abang lupa, Pa. Tadi adek kan turun bentar. Katanya kelupaan bawa charger.” Angga menepuk jidatnya keras.

0 comments:

Posting Komentar